Sukses

Perangi Resistensi Antibiotik, Perlu Inovasi Obat dan Diagnostik

Inovasi obat dan diagnostik dibutuhkan untuk memerangi resistensi antibiotik akibat mikroba.

Liputan6.com, Bali Resistensi antimikroba atau resistensi antibiotik akibat mikroba (antimicrobial resistance/AMR) yang mengancam kesehatan, perlu dihadapi dengan adanya inovasi obat, vaksin, terapeutik dan diagnostik yang berkualitas. Resistensi antimikroba ternyata diam-diam lebih berbahaya atau yang disebut ‘silent pandemic’ atau pandemi senyap.

Saat ini terdapat 1,27 juta orang meninggal setiap tahun karena infeksi akibat resisten terhadap obat antibiotik. Para ahli memperkirakan resistensi antimikroba dapat menyebabkan Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan global turun sebesar 3,8 persen pada tahun 2050. 

Menilik dampak di atas, Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia Dante Saksono Harbuwono mengajak kolaborasi antarnegara, khususnya anggota G20 untuk mencegah penyebaran kasus resistensi antibiotik akibat mikroba.

Ajakan ini sejalan dengan agenda Presidensi G20 Indonesia dalam ‘Health Working Group’ dengan tema utama “Memperkuat Arsitektur Kesehatan Global.”

“Kita harus mencegah hal ini (penyebaran resistensi antibiotik) terjadi (lebih luas) dan membuat perubahan yang berkelanjutan,” ajak Dante saat membuka pertemuan Side Event Tackling Antimicrobial Resistance: Curbing The AMR Pandemic di Hilton Resort, Nusa Dua Bali, ditulis Senin (29/8/2022).

“Dalam semangat memperkuat Arsitektur Kesehatan Global, kita harus memfokuskan kembali upaya mengatasi AMR. Sebagai pemimpin kesehatan dari ekonomi terbesar, bersama-sama, kita bisa mengelola AMR.”

Wamenkes Dante menyebut terobosan pengembangan obat dan penelitian harus dilakukan segera. Selain itu, peningkatan investasi dan dana berkelanjutan dalam bidang penelitian dan teknologi turut menjadi upaya yang dapat dilakukan.

“Upaya kita dapat bersama-sama meningkatkan penelitian dan pengembangan AMR. Tentang obat-obatan baru, alat Vaksin, Terapi, dan Diagnostik (VTD), termasuk layanan diagnostik antimikroba yang terjamin kualitasnya, tindakan pencegahan dan inisiatif Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) yang lebih luas,” jelasnya.

“Kemudian meningkatkan investasi di bidang penelitian, peningkatan kapasitas, dan transfer teknologi. AMR mengancam kesehatan, ekonomi, dan pencapaian SDGs. Untuk menumbuhkan kapasitas penelitian dan pengembangan global, kita harus mengamankan dan pendanaan berkelanjutan.”

2 dari 4 halaman

Larangan Antibiotic Growth Promoter

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memaparkan, Kementerian Pertanian (Kementan) ikut aktif memerangi laju resistensi antibiotik akibat mikroba dari sisi kesehatan hewan. Kementan dan kementerian/lembaga pemangku kepentingan terkait menyusun rencana strategis serta peta jalan upaya pengendalian resistensi antimikroba.

“Kami berharap langkah-langkah kita ke depan akan semakin kuat dan terpadu dalam rangka kerja sama,” terang Syahrul Yasin dalam kesempatan yang sama secara virtual.

Upaya menghadapi resistensi antimikroba telah dilakukan dengan peraturan penggunaan antibiotik di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang melarang penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pangan atau antibiotic growth promoter. Ini sebagai upaya kami dalam mendukung kesehatan manusia.”

Kementan juga telah mengeluarkan peraturan terkait pelarangan penggunaan colistin pada ternak untuk konsumsi manusia melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 9736 Tahun 2020. Ini dilakukan karena antibiotik termasuk dalam pilihan terakhir bagi kesehatan hewan atau kesehatan manusia.

“Untuk kepentingan kesehatan manusia, segala upaya yang dirancang dan direncanakan tidak akan optimal dalam implementasinya tanpa dukungan dan peran seluruh pemangku kepentingan dalam memerangi laju resistensi antimikroba,” imbuh Syahrul Yasin.

“Mari kita senantiasa berupaya meningkatkan kompetensi profesional untuk menjaga agar efektivitas antimikroba tetap memberi manfaat bagi kehidupan secara lestari dengan menggunakannya secara bijak, tentunya bertanggung jawab.”

Adapun colistin yang termasuk antibiotik golongan obat keras digunakan untuk membantu mengobati infeksi yang terjadi pada saluran cerna, juga membantu mengobati disentri basiler (peradangan usus yang bisa menyebabkan diare disertai darah atau lendir). 

Efek samping penggunaan colistin yang mungkin terjadi, antara lain:

  • Superinfeksi 
  • Kerusakan ginjal
  • Gangguan penglihatan
  • Gangguan saluran pencernaan
  • Pusing
  • Mual, muntah
  • Insufisiensi pernapasan dan kelemahan otot
  • Berpotensi Fatal: Kolitis parah
3 dari 4 halaman

Efek Antibiotik dari Pangan Ternak

Ada ancaman resistensi antibiotik akibat mikroba dari segi kesehatan hewan ternak. Penggunaan antibiotik pada pangan ternak sebagai antibiotik imbuhan pakan (Antibiotic Growth Promoter/AGP) dapat pula memengaruhi kesehatan manusia yang mengonsumsi daging hewan ternak.

Penggunaan antibiotik sebagai growth promoter seiring perkembangan industri hewan ternak untuk pangan. Bakteri penyebab infeksi pada hewan ternak dapat mengurangi hasil produksi, sehingga penggunaan antibiotika tampak efektif untuk memperbaiki hasil produksi.

Merujuk studi berjudul, Industrial food animal production, antimicrobial resistance, and human health, dampak langsung maupun tidak langsung dari penggunaan tidak tepat antibiotika sebagai AGP pada hewan ternak. Dikatakan, efek samping antibiotik yang digunakan pada hewan dapat menyebar ke manusia. 

Contohnya, penggunaan antibiotik jenis kloramfenikol pada hewan dapat membawa efek samping anemia aplastik pada manusia yang memakan daging hewan tersebut. Namun, hipotesis efek samping residu antibiotika pada daging hewan seperti ini dianggap tidak bermakna.

Efek berbahaya penggunaan AGP terhadap kesehatan manusia, menurut studi yang ditulis peneliti Silbergeld, Graham, dan Price tahun 2008,  saat ini terutama akibat timbulnya koloni bakteri resisten antibiotika. Penggunaan AGP pada hewan ternak akan berdampak seleksi terhadap bakteri yang berakibat timbulnya kelompok bakteri resisten antibiotika yang bisa menyebar ke manusia.

Selanjutnya, menimbulkan masalah resistensi di manusia. Maka, akan semakin sedikit pilihan antibiotik yang dapat dipakai untuk mengatasi infeksi yang berat dan mengancam nyawa. 

Apalagi banyak muncul bakteri yang kebal terhadap sebagian besar, bahkan semua jenis antibiotika yang ada di pasaran. Akibatnya, membawa dampak besar bagi manusia yang membutuhkan antibiotik untuk mengatasi penyakit infeksi.

4 dari 4 halaman

Resistensi Antimikroba Butuh Perhatian

Dalam beberapa dekade terakhir, pelaporan di berbagai negara yang dihimpun Kementan mencatat, adanya peningkatan laju resistensi antimikroba. Sayangnya, di sisi lain penemuan dan jenis antibiotik atau antimikroba baru berjalan sangat lambat.

“Dengan kata lain, pola peningkatan laju resistensi berbanding terbalik dengan penemuan obat antimikroba baru,” Mentan Syahrul Yasin Limpo menegaskan.

“Hal inilah yang mendasari isu resistensi antimikroba berkembang menjadi tantangan global yang sangat penting dibahas dalam berbagai forum internasional dan dipandang sebagai salah satu ancaman serius untuk segera ditangani bagi sektor peternakan dan kesehatan hewan.”

Disebutkan pula oleh Secretary of State for Health and Social Care Inggris periode 2018 - 2021, Hon Matt Hancock, sebelum COVID-19 yang menjadi ancaman baru bagi kesehatan dunia, ada resistensi antimikroba yang membutuhkan perhatian.

Silent pandemic AMR bisa memiliki konsekuensi yang jauh lebih mematikan daripada COVID-19. Dalam pandangan saya, ini adalah ancaman eksistensial yang sama besarnya dengan perubahan iklim,” kata Matt Hancock saat menghadiri United Nations high-level interactive dialogue on antimicrobial resistance (AMR) pada 29 April 2021.

“Kita harus mengingatkan diri sendiri, bagaimana rasanya menghadapi penyakit yang tidak dapat diobati dan tidak pernah melupakan perasaan itu, sehingga kita tidak perlu menghadapinya lagi. Kita membutuhkan pemerintah untuk menyadari hal ini dan bertindak sekarang.”

Matt Hancock menekankan, perlu lebih baik menggunakan antibiotik yang ada, baik untuk manusia atau hewan. Perlu pula mengembangkan antibiotik baru dan harus selalu berpikir interaksi One Health antara manusia, hewan, dan lingkungan kita alami bersama.

“Kita perlu memastikan rantai pasokan aman dan dibagikan, dengan standar global bersama. Seperti pandemi COVID-19 ini telah mengingatkan kita bahwa ketika kita tidak melakukannya dengan benar, kita semua rentan. Jadi, kita harus bertindak bersama,” tutupnya.