Liputan6.com, Jakarta - Indonesia berkeinginan menjadi salah satu center uji klinik fase 3 Vaksin Tuberkulosis (TB) terbaru. Vaksin TB baru yang dimaksud adalah Tuberculosis Vaccine Candidate besutan GlaxoSmithKline (GSK), perusahaan bio farma global yang berpusat di Inggris.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, strategi vaksinasi untuk TB harus digencarkan lebih masif, utamanya pemberian vaksin TB yang lebih terbaru lagi.
Baca Juga
Vaksin TB yang biasa diberikan di Indonesia adalah BCG, dalam perkembangan terkini ada perusahaan global yang sedang mengembangkan vaksin TB baru.
Advertisement
“Vaksinasi TB jaman dulu kan Bacillus Calmette–Guérin (BCG). (Lama-lama) efikasi rendah, sekarang ada perusahaan sudah bikin yang baru, udah uji klinik tahap 2. Kita, Indonesia pengen sebagai salah satu center vaksin TB baru itu,” terang Budi Gunadi saat diskusi bersama wartawan beberapa waktu lalu di Gedung Kementerian Kesehatan RI Jakarta, ditulis Senin (29/8/2022).
“Indonesia akan mengajukan diri sebagai salah satu center untuk clinical trial tahap 3 untuk vaksin TB baru yang dikembangkan oleh GlaxoSmithKline (GSK). Mudah-mudahan bisa terwujud.”
GlaxoSmithKline mengembangkan vaksin Tuberkulosis, yakni Candidate Tuberculosis (TB) Vaccine GSK 692342. Merujuk data US National Library of Medicine, ClinicalTrials.gov per 28 Juli 2022, vaksin TB GSK ini sudah mencapai uji klinik fase 2.
Lokasi uji klinik fase 2 Candidate Tuberculosis (TB) Vaccine GSK 692342 dilakukan di sejumlah negara di antaranya, Belgia, Estonia, Taiwan, Afrika Selatan, Filipina, India, dan Amerika Serikat (AS). Hasil uji klinik fase 2 yang diunggah di ClinicalTrials.gov terpampang ada yang dilaporkan sudah lengkap (completed) dan ada yang masih berlangsung (terminated).
Penemuan Vaksin TB Lambat
Titik cerah vaksin tuberkulosis baru yang dikembangkan GlaxoSmithKline (GSK) sangat dinantikan dunia. Terlebih, penemuan dan pengembangan vaksin TB baru bisa dibilang sangat lambat. Padahal, dalam masa pandemi COVID-19, vaksin COVID-19 dengan beragam platform dan teknologi begitu cepat berkembang.
Hal di atas disampaikan Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono. Terlambatnya penemuan vaksin TB terbarukan diperkirakan karena resisten obat. Resisten obat juga menjadi momok karena pengobatan yang tidak selesai, sehingga membuat bakteri bermutasi.
"Dengan mutasi tersebut, akhirnya vaksinnya menjadi tidak efektif lagi," kata Dante di Yogyakarta pada 31 Maret 2022. “Karena itu kita menetapkan protokol pengobatan yang benar, protokol pengobatan yang baik, agar resistennya tidak meningkat.”
Dante berharap angka pasien TB yang resisten obat tidak naik. "Sehingga kita bisa menghasilkan vaksin yang benar-benar baru dan ampuh daripada replikasi bakteri itu sendiri," sambungnya.
Pulmonologist and Board of Stop TB Partnership Indonesia, Erlina Burhan menambahkan, vaksin TB faktanya sudah mandek sejak 94 tahun lalu. Sebab, belum ada lagi penemuan vaksin baru.
"Bayangkan saja, vaksin COVID-19 ditemukan hanya dalam waktu satu tahun, sementara vaksin TB masih sangat lambat. Selama 94 tahun belum ada penemuan vaksin baru," tambahnya dalam Side Event Tuberkulosis G20 Indonesia 2022 di Yogyakarta, Rabu (30/3/2022).
Advertisement
Surveilans Masih Kalah dengan COVID-19
Penanganan tuberkulosis, menurut Budi Gunadi Sadikin, serupa dengan COVID-19. Utamanya, dalam menjaring temuan kasus baru dengan surveilans. Upaya ini demi mengurangi sekaligus menekan penularan dan tingkat perawatan pasien TB di rumah sakit.
“Kita melakukan langkah unuk menurunkan tingkat penularan dan hospitalisasi dan kematian. Beruntungnya dengan adanya COVID-19, kita sudah membangun infrastruktur yang baik. Karena TB sama COVID-19 kan nyerang pernapasan,” tuturnya.
“Nah, kita juga lebih sistematis, untuk penanganan penyakit menular itu semua sama. Pertama, kita mesti jaga protokol kesehatan (prokes), karena penularannya beda-beda. Misalnya, hepatitis B penularannya ibu ke anak, jadi harus dijaga, jangan sampai ibunya kena hepatitis B kalau misalnya hepatitis C dari suntikan kan, ya prokesnya jarum suntik disterilisasi dulu.”
Dari sisi pelacakan kasus, lanjut Menkes Budi Gunadi, surveilans TB masih kalah dengan COVID-19. Surveilans COVID-19 dilakukan secara by name by address sehingga bisa tahu berapa dan di mana orang yang berkontak langsung dengan individu yang positif COVID-19.
“Kita perlu perbaiki surveilans TB. Ya, memang cara deteksi beda, kalau COVID-19 pakai PCR, sedangkan TB pakai tes rontgen, Tes Cepat Molekuler (TCM). Beda-beda sih, tapi logikanya sama, mesti testing abis itu tracing dan isolasi,” terangnya.
“Ini konsep yang kita gunakan. Kalau kita udah catet by name by address, (datanya) mesti masuk New All Record (NAR) buat tracing, biasanya sekeluarga, satu kena TB, seharusnya sekeluarga cepet-cepet dites, dikasih obat dan terapeutik, lalu isolasi.”
Surveilans Harus 90 Persen pada 2024
Perbaikan surveilans tuberkulosis juga harus ditingkatkan. Pada tahun 2024, diharapkan surveilans tuberkulosis mencapai 90 persen.
“Surveilans harus diperbaiki, targetnya 824.000 kasus (per tahun). Kalau enggak salah tahun lalu ada 300.000-an kasus. Paling tinggi 500.000-an kasus. Saya minta tahun depan 50 persen dari 824.000 yang diperkirakan. Tahun 2024 pas saya pensiun harus 90 persen minimal. Dan itu harus by name by address,” Budi Gunadi Sadikin menerangkan.
“Jadi, kita bisa tahu gimana tracing dan isolasi. Saya harapkan bisa jalan.”
Fasilitas surveilans untuk TB, terang Menkes Budi Gunadi, lumayan luas dan mumpuni yang dilengkap TCM. Selanjutnya, sebagai penguat pemeriksaan TB juga memperbanyak alat rontgen.
“Sekarang kita mau memperbanyak rontgen, karena kita butuh rontgen juga biar kelihatan (deteksi TB). Kalau dia TB, nanti diperiksa lagi dengan TCM untuk konfirm, karena rontgen kan buat identifikasi secara mata, tapi secara biologis virusnya ada atau enggak ya pakai TCM,” jelasnya.
“TCM mirip PCR, itu bakteri yang diidentifikasi. Kalau lulus TCM, pasti ada bakterinya.”
Advertisement