Sukses

Tak Ada Kenaikan Rawat Inap, Kemenkes: COVID-19 di RI Masih Aman

Juru Bicara Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Mohammad Syahril menyampaikan terkait parameter COVID-19.

Liputan6.com, Jakarta Juru Bicara Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Mohammad Syahril menyampaikan bahwa COVID-19 di Indonesia masih aman. Hal ini dilihat dari tak ada peningkatan pasien rawat inap.

“Parameter COVID itu banyak ya kalau saat ini yang paling berpengaruh adalah angka hospitality dan angka kematian. Kalau banyak kasus tapi tidak ada yang dirawat di rumah sakit dan kematian, itu kita aman,” kata Syahril saat ditemui di Jakarta Pusat, Selasa (30/8/2022).

Sementara, kasus COVID-19 yang sempat melandai juga menimbulkan tanya. Menurut Syahril ini karena tidak ada lagi testing massal dan angka peningkatan.

“Kita kan masih di bawah 2/3 persen (fatality).”

Terkait puncak gelombang COVID-19, ia mengatakan bahwa tidak semua penyakit di semua negara ada puncaknya. Kasus bisa naik kemudian turun, dulu memang sempat ada prediksi pencapaian puncak di bulan-bulan ini. Namun, kondisi di lapangan menunjukkan kasus tidak bisa disebut mencapai puncak karena masih di 3-4 ribuan kasus.

Sementara, protokol kesehatan yang diterapkan untuk COVID-19 saat ini juga bisa meminimalisasi terjadinya penularan cacar monyet atau monkeypox, tambah Syahril.

“Kalau cacar monyet itu kan harus kontak langsung, itu tidak perlu menggunakan lengan panjang (baju). Karena harus adanya kontak langsung. Jadi, prokesnya sama dengan COVID-19, intinya menghindari kontak langsung.“

Selain protokol kesehatan, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) juga terus diterapkan meski tidak seketat dulu.

2 dari 4 halaman

Mengejar Capaian Booster

Menurut Syahril, PPKM merupakan alat perlindungan. PPKM level 1 dan 2 menunjukkan bahwa masyarakat tidak sepenuhnya dibebaskan dari aturan-aturan pencegahan COVID yang berlaku.

“Orang harus pakai terus (masker) sampai pandemi terkendali betul.”

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia kini tengah mengejar target vaksinasi dosis ketiga atau booster. Saat ini, capaian booster pertama masih belum maksimal karena memang lebih lambat ketimbang capaian vaksinasi dosis pertama dan kedua.

“Ini harus kita kejar karena ini masih pandemi, belum ada pencabutan status pandemi.”

Booster merupakan bentuk perlindungan bagi masyarakat, lanjutnya. Saat ini vaksin sudah tersedia begitu pula aksesnya.

“Sekarang bagaimana caranya kita dorong masyarakat agar mau divaksinasi booster.”

Selain booster pertama, kini ada booster kedua bagi tenaga kesehatan. Meski saat ini dikhususkan untuk tenaga kesehatan, bukan tidak mungkin vaksinasi booster kedua akan diberikan juga pada masyarakat luas.

3 dari 4 halaman

Kemungkinan Booster Kedua untuk Masyarakat Umum

Kemungkinan pemberian booster kedua bagi masyarakat umum mengingat bahwa efektivitas vaksin akan menurun setelah 6 bulan.

“Selama pandemi masih berlangsung maka yang menjadi suatu bagian perlindungan diri kita adalah vaksin.”

Adib juga menyinggung soal testing yang turun. Menurutnya, penurunan tes COVID dapat disebabkan berbagai faktor.

“Bukan masalah tidak mau dites atau sengaja menghindar, tapi yang kita lihat sekarang ada kesadaran dari masyarakat, mereka tahu cara melindungi diri dan keluarga. Saat ada gejala ya mereka istirahat.”

Meski demikian, surveilans harus tetap berjalan dan tidak ditinggalkan. Tim surveilans yang dibentuk tidak hanya bertugas di masa-masa genting tapi harus tetap berjalan hingga pandemi usai.

“Belum lagi tidak menutup kemungkinan ada penyakit-penyakit lain yang butuh surveilans seperti monkeypox dan yang lainnya. Jadi kemampuan surveilans epidemiologi ini menjadi satu dasar penguatan kita di dalam bagian preventif dan promotif.”

“Masyarakat harus tetap waspada, tidak panik tapi tetap waspada. Kalau sakit, batuk, pilek ya harus istirahat, kalau memang ada riwayat kontak erat ya tes PCR,” kata Adib Khumaidi.

4 dari 4 halaman

Terkait Cacar Monyet

Di kesempatan yang sama, Syahril mengungkapkan kondisi pasien pertama cacar monyet (monkeypox) di Indonesia sudah membaik.

"Alhamdulillah sudah membaik tetapi tetap isolasi," kata Syahril.

Syahril mengatakan seseorang yang terkena cacar monyet dinyatakan sembuh jika gejala klinisnya membaik lalu bintil-bintil mengelupas, mengering dan diganti kulit baru, tidak ada gejala lain, dan tidak diperlukan PCR ulang.

Keluarga pasien pertama cacar monyet yang asal DKI Jakarta sudah menjalani tracing. Kontak erat yang terdiri dari 5 orang sudah jalani tes dan tidak ada yang positif cacar monyet.

"Ini yang memeriksa dinas kesehatan," lanjut Syahril.

Ia juga menyinggung soal kasus suspek yang ada di Sulawesi Selatan. Syahril mengatakan semua kasus suspek dinyatakan negatif cacar monyet.

"Kenapa disebut suspek karena gejalanya mirip cacar monyet, tetapi bukan."

Sejauh ini, Kemenkes sudah melakukan berbagai antisipasi bahkan sebelum kasus pertama terdeteksi.

"Kita sudah siap sejak awal dengan kewaspadaan edukasi dan sosialisasi di masyarakat, waspada untuk menghindari orang-orang yang ada lesi.

"Pasien cacar monyet itu gampang terlihat karena ada ciri fisiknya (lesi) tidak seperti COVID-19."

Pengetatan terutama bagi pelaku perjalanan luar negeri dilakukan dengan pemeriksaan suhu dan melihat riwayat perjalanan.

"Pengetatan beda sama COVID, kalau COVID bisa antigen atau PCR. Kalau cacar monyet pengetatannya dari suhu kemudian dari dukungan riwayat perjalanan," Syahril mengatakan.