Liputan6.com, Jakarta Gejala COVID-19 semakin lama tidak khas dan mirip flu, sehingga kondisi ini membuat seseorang sulit membedakannya. Flu biasanya pilek dan kadang-kadang disertai batuk, sedangkan COVID-19 lebih sering diiringi nyeri tenggorokan.
Adanya gejala COVID-19 yang mirip flu, Guru Besar Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Amin Soebandrio mewanti-wanti tetap harus mewaspadai mutasi virus Corona, apakah mutasi tersebut sama atau sudah mengalami perubahan genetika.
Baca Juga
"Kalau mutasi itu sudah mencapai satu fase tertentu, sudah tidak bisa bermutasi lagi. Tapi ternyata (virus) cukup 'cerdik' ya. Dia punya mekanisme mutasi lain lagi dengan mengadakan gabungan gen bersama virus-virus lainnya," papar Amin saat sesi Talkshow: Bebas Bepergian Asal Sudah Booster? di Media Center COVID-19, Graha BNPB, Jakarta, ditulis Senin (5/9/2022).
Advertisement
"Itu yang menyebabkan dia punya kemungkinan untuk bermutasi lagi. Itu yang harus diwaspadai."
Di sisi lain, semakin sering virus Corona bermutasi justru membuat virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 justru semakin melemah, bahkan mati. Artinya, mutasi yang biasa terjadi, tidak selalu menguntungkan si virus.
"Semakin banyak orang yang terinfeksi oleh virus, semakin besar kemungkinan virus itu bermutasi, walaupun 45 persen dari mutasi itu akan menyebabkan virus mati," terang Amin.
"30 persenan menyebabkan virus tambah lemah dan sekitar 20 persen mutasi itu tidak menyebabkan perubahan apa-apa, tapi hanya 4 sampai 5 persen yang mungkin menyebabkan virus itu survive (bertahan), yang artinya bisa menjadi lebih fit, bisa mengatasi tekanan lingkungan ya dari vaksin dan obat."
Pastikan Ketahui Sifat Virus
Demi mengantisipasi kemungkinan perkembangan mutasi virus SARS-CoV-2, kemampuan deteksi varian dengan Whole Genome Sequencing (WGS) harus mumpuni. Upaya ini mengetahui sifat virus yang tengah bersirkulasi.
"Kita mesti punya kemampuan untuk melakukan deteksi. Deteksi di sini, apakah virus yang ditemukan masih seperti virus yang ditemukan bulan lalu atau tiga bulan lalu, ataukah sudah mulai ada perubahan-perubahan yang signifikan," Amin Soebandrio menjelaskan.
"Itu kita harus ikuti terus ya. Jadi, kemampuan laboratorium kita untuk mendeteksi, bukan hanya mendeteksi positif atau negatif, tapi kita harus bisa melakukan WGS untuk memastikan mengetahui sifat-sifat virus yang sedang bersirkulasi."
Diharapkan Amin, varian virus Corona akan semakin melemah. Apalagi sebagian besar masyarakat Indonesia sudah mempunyai kekebalan dari COVID-19 yang cukup tinggi, baik dari vaksinasi COVID-19 maupun infeksi alamiah.
"Sekali lagi, kita perlu deteksi terus, apakah virus sekarang sudah mulai bergerak ke arah (mutasi) virus yang lain. Yang (varian) baru kita harapkan akan menjadi semakin lemah ya dan akan kembali menjadi virus virus hewan sepenuhnya," pungkasnya.
Advertisement
Harapan Semakin Sedikit yang Terinfeksi
Amin Soebandrio juga berharap semakin sedikit orang yang terinfeksi COVID-19 meski mutasi virus SARS-CoV-2 terus terjadi. Mutasi merupakan hal yang normal yang terjadi pada virus agar bisa bertahan hidup.
Lantas, apakah banyaknya orang yang terinfeksi COVID-19 berkaitan langsung dengan virus Corona menjadi lemah? Amin menjelaskan kondisi tersebut harus diperhatikan kembali. Sebab, pada sejumlah kasus, infeksi COVID-19 malah makin banyak terjadi, khususnya menyerang lansia.
"Pada awalnya kan ada negara yang menganggap sepertinya, 'yaudah biarin aja orang terinfeksi, nantikan timbul kekebalan ya. Nanti kalau semuanya masyarakat sudah kebal, akan hilang sendiri (virus).' Tapi ternyata host-nya tinggi," imbuhnya.
"Yang sakit banyak sekali di negara itu ya, karena komposisi orang usia lanjut lebih banyak di sana. Mereka (lansia) kan kelompok yang vulnerable, populasi rentan dan banyak yang sakit. Akhirnya, pendekatan ditinggalkan."
Host atau inang yang dimaksud adalah organisme yang terserang virus Corona. Sejauh ini, COVID-19 ditemukan pada hewan dan manusia.
"Kita tidak berharap sih, ada orang yang terinfeksi walaupun kalau orang memberi kesempatan virus itu bermutasi terus ya. Mudah-mudahan tidak ada lagi yang terinfeksi atau semakin sedikit," harap Amin.
Perbedaan Gejala COVID-19 dan Flu
Berdasarkan informasi Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat, seseorang yang terinfeksi COVID-19 kemungkinan akan mengalami gejala 2 hingga 14 hari setelah terinfeksi.
Sementara itu, seseorang yang terkena flu kemungkinan mengalami gejala mulai dari 1 hingga 4 hari setelah terinfeksi.
Sejumlah gejala yang disebabkan COVID-19 pun hampir mirip dengan flu. Gejala umum COVID-19 dan flu, sebagaimana informasi CDC, antara lain:
- Demam atau merasa demam/menggigil
- Batuk
- Sesak napas atau kesulitan bernapas
- Kelelahan
- Sakit tenggorokan
- Hidung berair atau tersumbat
- Nyeri otot atau nyeri tubuh
- Sakit kepala
- Muntah
- Diare
- Perubahan atau hilangnya rasa atau bau (lebih sering terjadi pada pasien COVID-19)
Perlu diketahui, seseorang tidak bisa membedakan flu dan COVID-19 hanya dengan melihat gejalanya saja karena memiliki beberapa gejala yang sama.
Oleh karena itu, testing diperlukan untuk mengetahui apa penyakitnya dan untuk memastikan diagnosis. Testing juga penting karena dapat mengungkapkan, apakah seseorang menderita flu dan COVID-19 secara bersamaan.
Advertisement