Sukses

Angka Imunisasi RI Merosot Selama Pandemi COVID-19, Eliminasi Campak Rubella Hanya Mimpi?

Eliminasi campak dan Rubella mengalami kendala mengingat angka imunisasi yang menurun selama pandemi COVID-19

Liputan6.com, Jakarta - Pandemi COVID-19 menjadi penyebab utama merosotnya capaian imunisasi pada anak di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia.

Jika situasi ini terus dibiarkan, risiko transmisi penyakit-penyakit seperti campak dan rubella akan semakin meluas.

"Dan, risikonya Indonesia akan gagal mencapai eliminasi campak-rubella pada 2023 yang merupakan target global," kata Ketua Tim Kerja Imunisasi Tambahan dan Khusus Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), Gertrudis Tandy, dalam seminar daring bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (8/9/2022).

Selain itu, lanjut Tandy, Indonesia juga bisa gagal untuk mencapai tujuan bebas polio yang sebetulnya sudah dicapai sejak 2014. Di sisi lain, penyakit yang kembali timbul akibat merosotnya imunisasi juga bisa menjadi beban ganda di tengah pandemi.

"Tentu saja beban kasus dan Kejadian Luar Biasa (KLB) dapat menjadi beban ganda di tengah pandemi COVID-19 yang juga belum usai," Katanya.

Sebelumnya, masih dalam kesempatan yang sama, dia mengatakan bahwa pada 2020 ada 23 juta anak di dunia tidak mendapatkan imunisasi lengkap. Jumlah ini tertinggi sejak 2009.

Dari 23 juta anak yang belum mendapat imunisasi lengkap, 60 persennya berasal dari 10 negara. Negara-negara tersebut adalah, Brasil, Kongo, Ethiopia, India, Indonesia, Meksiko, Nigeria, Pakistan, dan Filipina.

"Jadi, kita menjadi penyumbang 10 terbesar untuk anak-anak yang tidak lengkap imunisasinya di tahun 2020,” katanya.

Data di Indonesia memang menunjukkan penurunan signifikan dalam capaian imunisasi anak saat pandemi COVID-19 mulai melanda pada 2020.

Dalam periode 2019 hingga 2021, Indonesia mencatat sebanyak 1,7 juta bayi yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap.

2 dari 4 halaman

Jawa Barat Penyumbang Terbanyak

Dari semua provinsi, Jawa Barat menjadi penyumbang terbanyak jumlah anak yang tidak lengkap imunisasinya. Diikuti Aceh, Sumatera Utara, dan Bali.

"Kalau sudah sebanyak ini, kita tahu bersama akibatnya akan terjadi peningkatan kasus dan akhirnya akan terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB)," ujar Gertrudis.

Saat ini, peningkatan kasus penyakit yang seharusnya bisa dicegah dengan imunisasi telah benar-benar terjadi di 2022.

Di tahun ini, kasus konfirmasi laboratorium pada penyakit campak meningkat dengan signifikan. Lebih tinggi dari data tahun 2021. Begitu pula pada kasus rubella yang konfirmasi laboratoriumnya juga menunjukkan peningkatan.

"Untuk difteri, dari data kami sampai Juli 2022 terdapat 110 kabupaten/kota di 27 provinsi terdampak difteri di tahun 2022," ujarnya.

Melihat situasi ini, berbagai ahli mulai dari ITAGI hingga Komite Ahli Difteri merekomendasikan berbagai hal terkait pelaksanaan imunisasi.

Komite Verifikasi Nasional Eliminasi Campak-Rubela atau CRS Indonesia merekomendasikan bahwa perlu dilaksanakan imunisasi tambahan campak-rubella untuk mencapai target eliminasi tahun 2023.

3 dari 4 halaman

Rekomendasi Lainnya

Rekomendasi lainnya datang dari Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional atau ITAGI yang merekomendasikan hal-hal berikut:

- Perlu dilaksanakan imunisasi tambahan campak-rubella untuk mencapai eliminasi tahun 2023.

- Perlu dilaksanakan imunisasi kejar satu dosis polio suntik (IPV) untuk mempertahankan Indonesia bebas polio dan mencapai eradikasi polio global tahun 2026.

Sedangkan, Komite Ahli Difteri merekomendasikan:

- Perlu dilaksanakan imunisasi kejar guna menutup kesenjangan imunitas terutama pada anak usia kurang dari 5 tahun (balita).

Cakupan imunisasi di Indonesia yang rendah mengakibatkan kesenjangan imunitas yang berujung pada terjadinya peningkatan kasus dan Kejadian Luar Biasa (KLB). Untuk itu, perlu diselenggarakan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN), kata Gertrudis.

"Jadi, BIAN ini adalah kesempatan yang kita berikan untuk anak-anak kita, untuk melengkapi imunisasinya. Termasuk juga untuk mengejar target kita yaitu mencapai eliminasi campak-rubella di tahun 2023," katanya.

Tujuan pelaksanaan BIAN adalah untuk mencapai dan mempertahankan kekebalan populasi yang tinggi.

4 dari 4 halaman

Tujuan Lainnya

BIAN juga dilaksanakan untuk:

- Menghentikan transmisi virus campak dan rubella setempat (indigenous) di semua kabupaten/kota di wilayah Indonesia pada tahun 2023. Dan mendapatkan sertifikasi eliminasi campak dan rubella pada tahun 2026 dari Regional Office for South-East Asia (SEARO).

- Mempertahankan Indonesia Bebas Polio dan mewujudkan eradikasi polio global pada tahun 2026.

- Mengendalikan penyakit difteri dan pertusis.

BIAN terdiri dari 2 kegiatan yakni imunisasi tambahan (campak-rubella) dan imunisasi kejar (OPV, IPV, dan DPT-HB-Hib).

Imunisasi tambahan berupa pemberian satu dosis imunisasi campak-rubella tanpa memandang status imunisasi sebelumnya.

Sedangkan, imunisasi kejar adalah pemberian satu atau lebih jenis imunisasi untuk melengkapi status imunisasi dasar maupun lanjutan bagi anak yang belum menerima dosis vaksin sesuai usia.

"Nah semua imunisasi ini, dari imunisasi tambahan sampai imunisasi kejar kita kemas menjadi satu yaitu menjadi Bulan Imunisasi Anak Nasional," Tandy menekankan.

BIAN dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap I sudah dilakukan pada Mei 2022 dan tahap II pada Agustus 2022.

  • Imunisasi adalah proses pembentukan sistem imun tubuh, agar kebal terhadap penyakit tertentu.

    Imunisasi

  • Campak adalah infeksi yang disebabkan oleh virus. Gejala campak berupa ruam merah pada seluruh tubuh yang disertai demam, batuk, dan pilek.

    Campak

  • Pandemi COVID-19 adalah peristiwa menyebarnya Penyakit koronavirus 2019 di seluruh dunia

    Pandemi COVID-19

  • Rubella, atau dikenal dengan nama Campak Jerman, merupakan penyakit infeksi virus yang menyerang kulit dan kelenjar getah bening.

    Rubella