Liputan6.com, Jakarta - Epidemiolog Dicky Budiman dari Griffrith University, Australia optimistis status pandemi COVID-19 bisa dicabut oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) paling cepat akhir tahun 2022 atau awal 2023. Namun, tentunya sejumlah hal terkait kriteria pencabutan mesti diperhatikan.
"Beberapa waktu lalu juga sudah sudah saya sampaikan bahwa kalau saya ekspektasinya ya estimasi optimis akhir tahun ini yang paling cepat ya atau awal tahun depan itu akan bisa dicabut status pandemi," jelas Dicky dalam keterangan yang diterima Health Liputan6.com pada Selasa, 20 September 2022.
Baca Juga
"Dengan alasan, kita melihat tren efektivitas atau manfaat dari vaksin COVID-19 sangat jelas dalam menurunkan keparahan maupun fatalitas atau kematian. Meskipun (vaksinasi) tidak 100 persen (melindungi), tapi ada pengurangan jumlah virus yang ditularkan dari orang yang terinfeksi."
Advertisement
Poin selanjutnya, selain tren COVID-19 yang membaik secara global maupun nasional, seberapa besar imunitas yang terbentuk di komunitas juga harus dipertimbangkan, baik imunitas hybrid yang merupakan kombinasi infeksi alami virus Corona dan vaksinasi atau vaksinasi sendiri.
"Alhamdulillah, semua itu bisa menjadi dasar penguat pemulihan yang ditandai dengan pelonggaran-pelonggaran (pembatasan/protokol kesehatan)," lanjut Dicky.
Pernyataan Dicky di atas menanggapi pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) soal akhir pandemi COVID-19 sudah di depan mata. Walau begitu, bukan berarti pandemi sudah berakhir. Diibaratkan oleh WHO Director-General Tedros Adhanom Ghebreyesus, setiap negara di dunia harus 'berlari lebih kencang' lagi untuk mencapai garis finish (pandemi selesai).
Harus 85 Persen Cakupan Vaksinasi Global
Sebagaimana pernyataan WHO bahwa akhir dari pandemi COVID-19 sudah terlihat, Dicky Budiman bersepakat. Sebab, tidak mungkin status 'pandemi' bertahan sampai bertahun-tahun lamanya. Ada perubahan yang pasti terjadi di dunia dalam upaya menangani pandemi.
"Artinya pandemi ini enggak akan bertahun-tahun juga ya. Tapi apakah akhir tahun ini bisa dicabut Public Health Emergency International Concern-nya atau triwulan bulan pertama tahun depan itu akan sangat bergantung sekali," jelasnya.
"Bergantungnya ya pada upaya bersama terutama dari sisi cakupan vaksinasi global, yang harus kita kejar setidaknya sekarang disebutnya enggak bisa 70 persen ya. Saya kira untuk dua dosis ini harus minimal tuh 85 persen secara global lho ya."
Harapan cakupan vaksinasi COVID-19 global di angka 85 persen, menurut Dicky juga untuk melindungi kelompok masyarakat rentan seperti lansia. Mereka juga harus divaksinasi dosis 3 (booster pertama) atau dosis 4 (booster kedua).
"Di tengah-tengah kita kan ada sekelompok orang yang rawan dan harus mendapatkan dosis ketiga atau keempat," pungkasnya.
Advertisement
Indonesia Punya Kerawanan
Dalam konteks Indonesia, Dicky Budiman mengakui kondisi COVID-19 sudah terkendali. Meski begitu, cakupan vaksinasi booster untuk kelompok lansia masih harus dikejar.
Apalagi dengan status pandemi, virus SARS CoV-2 penyebab COVID-19 terus bermutasi. Kemunculan varian baru tetap perlu diwaspadai.
"Saya setuju, sepakat kita dalam kondisi yang jauh lebih terkendali untuk Indonesia ya. Namun, harus diketahui Indonesia punya kerawanan, karena apa? Karena kelompok lansia dan komorbid ini banyak yang belum mendapatkan booster," beber Dicky.
"Dan ini berbahaya karena varian-varian baru ini, efektif bisa membalikan kondisi ketika dia menginfeksi orang yang rawan, yang belum mendapat booster. Maka, booster ini yang harus kita kejar."
Menyimak pernyataan WHO Director-General Tedros Adhanom Ghebreyesu, Dicky membenarkan, saat ini situasi global seperti 'berlomba' dengan virus Corona.
"Siapa yang cepat nih, kita atau virusnya. Karena kalau virus dibiarkan, dia bisa mutasi menjadi varian baru yang lebih merugikan dan itu bisa berdampak serius, menurunkan efikasi antibodi gitu. Nah, ini yang harus kita kejar ya dengan kecepatan booster," ucapnya.
Perilaku Hidup Bersih di Segala Aspek
Tak hanya dari vaksinasi COVID-19, Dicky Budiman juga menekankan, masyarakat perlu menjalani Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Konsumsi makanan bergizi dan berolahraga dapat menjaga tubuh tetap fit.
"Jangan mengandalkan vaksin juga, kita harus mengubah perilaku hidup bersih sehat dalam segala aspek, terlebih kan kita masih pandemi. Lagi pula, semakin rawannya dunia ini atas ancaman wabah-wabah penyakit," ujarnya.
"Karena dunia makin rawan karena perubahan iklim, perilaku manusia sendiri, apalagi selama pandemi banyak aspek-aspek pelayanan atau upaya preventif promotif yang tidak bisa kita lakukan optimal."
Adanya pelayanan kesehatan di masa pandemi yang tidak optimal ini akhirnya memunculkan penyakit lain, seperti cacar monyet (monkeypox), polio, ancaman difteri, campak serta HIV dan sebagainya.
"Jadi, kita harus lakukan secara komprehensif dalam artian ya program kesehatan masyarakat ditingkatkan. Kemudian perubahan perilaku ini benar-benar dilakukan, bukan hanya dalam kaitan COVID-19 saja," Dicky menerangkan.
"Tapi sekali lagi, dalam konteks meraih kualitas kesehatan yang lebih lebih baik, termasuk peningkatan kualitas udara, kualitas kesehatan air, dan juga lingkungan atau sanitasi lingkungan."
Advertisement