Liputan6.com, Jakarta Tak sedikit yang mengira bahwa rokok elektrik atau vape merupakan jawaban yang lebih sehat dari rokok konvensional. Banyak orang kemudian beralih dari rokok konvensional lantaran mengira vape memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah.
Padahal kenyataannya, vape ternyata tidak lebih baik dari rokok konvensional lho. Banyak studi akhirnya mengungkap risiko vape yang sama berbahayanya dengan rokok konvensional terutama bagi kesehatan jantung dan paru.
Baca Juga
Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PP PERKI), dr Radityo Prakoso mengungkapkan bahwa meskipun vape memiliki kandungan bahan kimia yang lebih sedikit dari rokok konvensional, vape bukanlah pilihan yang aman.
Advertisement
"Apakah rokok bisa digantikan alternatif ke rokok elektrik atau vape? Meskipun memiliki kandungan bahan kimia yang lebih sedikit, tetapi vape tetap tidak aman," ujar dokter yang akrab disapa Prakoso tersebut dalam acara Peringatan Hari Jantung Sedunia (HJS) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI ditulis Jumat, (30/9/2022).
"Pada tahun 2020, terdapat 2.807 kasus vaping use-associated lung injury yang dilaporkan. Vape membahayakan kesehatan jantung dan paru, risiko penyakit paru kronis dan asma," tambahnya.
Terlebih menurut Prakoso, vape juga memiliki efek adiksi yang sama dengan rokok konvensional. Hingga saat inipun, vape belum menerima lisensi dari Food and Drug Administration (FDA) AS sebagai produk alternatif untuk berhenti merokok.
"Jadi sekali lagi, vape bukan alternatif berhenti merokok. Vape sama saja dengan rokok konvensional," kata Prakoso.
Meningkatnya Penyakit Jantung di Usia Muda
Dalam kesempatan yang sama, Prakoso mengungkapkan bahwa saat ini terdapat miskonsepsi soal penyakit jantung. Beberapa orang menganggap bahwa penyakit jantung banyak terjadi pada usia tua. Padahal kenyataannya, penyakit jantung pada usia muda mengalami peningkatan.
"Penyakit jantung ternyata tidak hanya ditemukan pada usia tua. Tren menunjukkan bahwa ada peningkatan usia pada usia yang lebih muda (untuk kasus penyakit jantung) akibat peningkatan prevalensi obesitas, darah tinggi, merokok, kolesterol tinggi di usia muda," ujar Prakoso.
Selain itu, hal lain yang berkontribusi menurut Prakoso adalah kurangnya aktivitas fisik sehari-hari. Terutama saat pandemi COVID-19, sedentary lifestyle atau kegiatan sedentari semakin meningkat di kalangan anak muda.
Penyakit jantung sendiri sebenarnya merupakan penyakit yang dapat dicegah. Menurut Prakoso, 80 persen kasus penyakit jantung dapat dicegah lewat menurunkan faktor risikonya. Faktor risiko penyakit jantung pun terbagi menjadi dua, yang dapat diubah dan tidak bisa diubah.
"Yang tidak dapat diubah itu apa? Riwayat keluarga dengan penyakit jantung, usia, jenis kelamin, dan etnis atau ras. Tapi yang dapat diubah apa? Merokok, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, gaya hidup sedenter, obesitas, diabetes, kebiasaan makan makanan berlemak, dan konsumsi alkohol," kata Prakoso.
Advertisement
Faktor Risiko Penyakit Jantung
Prakoso mengungkapkan bahwa gaya hidup tidak sehat itulah yang menjadi penyebab paling umum dari penyakit jantung. Bahkan sebuah data menunjukkan bahwa orang yang mengonsumsi fast food dua kali dalam sehari juga dapat berkontribusi.
Hal tersebut dikarenakan mengonsumsi fast food dapat menginduksi terjadinya inflamasi yang berperan dalam pembentukan plak di pembuluh darah, yang mana bisa meningkatkan risiko penyakit jantung.
Selain fast food, mengonsumsi makanan dan minuman manis dianggap dapat ikut berkontribusi meskipun tidak secara langsung. Hal ini dikarenakan mengonsumsi gula berlebihan dapat membawa dampak buruk bagi kesehatan.
"Sebenarnya asosiasi langsung (antara makanan dan minuman manis dengan penyakit jantung) tidak ada. Tetapi kembali lagi, penyakit jantung koroner itu ada faktor risiko," kata Prakoso.
"Salah satunya adalah diabetes melitus. Kalau diabetes melitus, penambahan gula, glukosa di es teh itu akan sangat cepat meningkatkan gula darah, dan itu yang menjadi komorbid," tambahnya.
Pemicu Komorbid Penyakit Jantung
Sehingga Prakoso mengungkapkan bahwa korelasi secara langsung antara mengonsumsi makanan dan minuman manis secara rutin dengan penyakit jantung tidak ada. Hanya saja kebiasaan tersebut dapat menimbulkan faktor risiko penyakit jantung.
"Ini yang akan membuat gula darah tidak terkendali dan akhirnya menjadi komorbid yang akan mem-promote terjadinya serangan jantung," kata Prakoso.
Di sisi lain, faktor-faktor seperti stres akademis, manajemen waktu yang buruk, kurang tersedianya opsi makanan sehat, kepraktisan pun dapat berkontribusi pada penyakit jantung terutama di usia muda.
Berdasarkan data Global Status Report 2019, 17,8 juta kematian di dunia disebabkan oleh penyakit jantung. Prakoso menyebutkan, penyakit jantung masuk dalam 10 besar penyakit yang menyebabkan kematian di Indonesia.
Advertisement