Â
Liputan6.com, Jakarta - Bagi sebagian orang, pemanis buatan dapat menjadi alternatif yang menarik untuk menggantikan gula karena hampir tidak menambahkan kalori ke dalam makanan Anda.
Baca Juga
Mengutip Mayo Clinic, pemanis buatan adalah pengganti gula sintetis meskipun mereka mungkin berasal dari zat yang terjadi secara alami, seperti herbal atau gula itu sendiri. Pemanis buatan juga dikenal sebagai pemanis yang intens karena jauh lebih manis daripada gula.
Advertisement
Oleh karena itu, hanya perlu sedikit pemanis buatan dibandingkan jumlah gula yang biasanya Anda gunakan untuk mendapatkan rasa manis.Â
Meski demikian, mengonsumsi apapun secara berlebihan tidak akan membawa dampak baik bagi tubuh. Meskipun pemanis buatan terlihat seperti alternatif gula yang baik untuk mengurangi asupan kalori, sebuah studi yang dipublikasikan di The BMJ menunjukkan adanya hubungan antara pemanis tersebut dan meningkatnya risiko penyakit kardiovaskular (CVD) termasuk stroke.
Melansir dari Medical News Today (MNT), penelitian yang dilakukan Institut Penelitian Prancis untuk penelitian Kesehatan dan Medis (Inserm) bukanlah studi pertama yang menunjukkan hubungan antara pemanis buatan dan meningkatnya risiko penyakit jantung, tetapi ini studi terbesar. Studi ini mencakup data dari lebih dari 100.000 peserta.
Seorang ahli jantung di Pusat Ilmu Kesehatan Universitas Texas Health Science Center di San Antonio, Texas Dr. Vicken Zeitjian berpendapat, "Kita hidup di era di mana kita fokus pada pencegahan, dan oleh karena itu penelitian ini menunjukkan bahwa mengendalikan faktor risiko dari sudut pandang makanan mungkin telah mengurangi insiden serangan jantung dan stroke."
Bolehkah Mengonsumsi Pemanis Buatan?
Ketika orang-orang berusaha mengurangi konsumsi gula untuk menurunkan berat badan atau mengontrol gula darah, mereka mungkin beralih ke pemanis buatan demi mengurangi jumlah kalori yang masuk ke tubuh mereka.
Pemanis buatan telah ada lebih dari 100 tahun yang lalu. Misalnya sakarin yang ditemukan pada 1879. Sejak saat itu, para peneliti menemukan berbagai pemanis buatan lain termasuk sukralosa, aspartam, stevia, dan xylithol.
meskipun demikiran, kontroversi tentang pemanis buatan selalu bermunculan. Seperti yang dicatat Sekolah kesehatan Masyarakat Harvard, hal yang dikhawatirkan termasuk perkembangan diabetes tipe 2 dan peningkatan berat badan. Namun, buktinya bervariasi dan tidak meyakinkan.
Terlepas dari itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) menganggap pemanis yang disetujui umumnya aman untuk dikonsumsi, selama orang tersebut tidak melebihi asupan harian yang dianjurkan.
Misalnya, untuk sukralosa (yang ditemukan di Splenda), orang seberat 132 pon (60 kg) dapat mengonsumsi 23 bungkus sebelum melampaui batas yang disarankan.
Â
Advertisement
Studi Tentang Pemanis
Studi dimulai di 2009. Orang-orang yang tertarik berpartisipasi dalam "studi nutrisi terbesar dunia" dapat mendaftar secara online.
Rata-rata usia partisipan ialah 42 tahun, dan mayoritas partisipan adalah perempuan (79,8 persen).
Di tahun-tahun berikutnya, secara berkala peneliti mengumpulkan informasi dari para peserta seperti semua makanan dan minuman yang dikonsumsi selama periode 24 jam. Untuk memastikan catatan makanan para peserta akurat, para peneliti meminta mereka untuk mengirimkan foto.
Selain itu, peserta juga melaporkan konsumsi pemanis buatan mereka. Para peneliti ingin mengetahui jumlah dan merek pemanis.Sekitar 37% peserta mengonsumsi pemanis buatan, dengan peserta dibagi menjadi non-konsumen, konsumen rendah (asupan pemanis buatan di bawah rata-rata), dan konsumen tinggi (asupan pemanis buatan di atas rata-rata). Para peserta mengonsumsi rata-rata 42,46 mg/hari. Mereka mengkonsumsi jenis pemanis buatan berikut:
-aspartam
-asesulfam kalium
-sukralosa
-siklamat
-sakarin
-kalium
-glikosida steviol
-garam aspartam-asesulfam
Para peneliti juga mengumpulkan informasi kesehatan lainnya dari para peserta selama penelitian, termasuk informasi dari "setiap peristiwa kesehatan baru, perawatan medis, dan pemeriksaan." Selain itu, para peserta memberikan dokumentasi setiap laporan penyakit kardiovaskular (CVD).
Pada akhir penelitian, para peneliti membandingkan jumlah penyakit kardiovaskular yang dialami orang yang mengonsumsi pemanis buatan dengan jumlah yang dialami orang yang tidak mengonsumsi pemanis ini.
Para peneliti menemukan bahwa konsumen tinggi memiliki risiko penyakit kardiovaskular lebih tinggi dibandingkan dengan non-konsumen.
Terdapat 1.502 penyakit kardiovaskular selama tindak lanjut, termasuk 730 penyakit jantung koroner dan 777 penyakit serebrovaskular.
Pendapat Para Ahli
Menurut kepala petugas medis di Fullscript sekaligus dokter pengobatan integratif Dr. Jeff Gladd, sementara konsumsi pemanis buatan secukupnya jarang menimbulkan masalah kesehatan, menggunakannya secara teratur mungkin dapat menyebabkan beberapa masalah.
"Pemanis buatan tanpa kalori seperti aspartam, sakarin, dan sucralose yang biasanya ditambahkan ke banyak makanan olahan 'diet' dan 'bebas gula' seperti kue kering, puding, permen, minuman ringan, dan banyak lagi," kata Dr. Gladd.
"Mengingat pemanis buatan biasanya ditemukan dalam makanan olahan tinggi, saya sarankan untuk membatasi konsumsi Anda secara keseluruhan. Beberapa alternatif yang lebih aman termasuk opsi alami seperti allulose (monosakarida atau gula tunggal), buah biksu, dan stevia yang tampaknya tidak membawa dampak yang sama," tambahnya.
"Sementara studi prospektif seperti ini tidak dikonfirmasi bukti penyebabnya, potensi hubungan antara konsumsi (pemanis buatan) dengan obesitas dan masalah mikrobioma usus harus dijadikan motivasi untuk membatasi asupan mereka," katanya.
"Hubungan antara pemanis buatan dan penyakit arteri koroner/stroke tidaklah mengejutkan mengingat fakta bahwa pemanis buatan berhubungan dengan diabetes, hipertensi, hiperlipidemia (tingginya kadar lemak (lipid) dalam darah), hipertrigliseridemia (trigliserida tinggi), dan obesitas," ujar Dr. Zeitjian.
Dr. Zeitjian mencatat bahwa penelitian ini mungkin tidak dapat diterapkan pada semua populasi, tetapi "itu memberi kita wawasan bahwa pemanis buatan mungkin berkaitan dengan penyakit jantung koroner dan penyakit serebrovaskular."
Â
Â
(Adelina Wahyu Martanti)
Advertisement