Liputan6.com, Jakarta Pedangdut Lesti Kejora melaporkan suaminya, Rizky Billar yang melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ke Polres Metro Jakarta Selatan pada Rabu, 28 September 2022, malam.
Ternyata bukan sekali Lesti mendapatkan kekerasan dari sang suami. Melainkan sudah beberapa kali seperti disampaikan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan pada Rabu, 5 Oktober 2022.
Baca Juga
"Sebelumnya dia sering mengalami KDRT. Nah kemudian itu puncaknya dia sudah tidak tahan lagi dia melapor," ujar Zulpan mengutip News Liputan6.com.
Advertisement
Saat ini, pemeriksaan pun tengah dilakukan pihak kepolisian terkait dugaan KDRT yang dilakukan Rizky Billar ke istrinya itu.
Psikolog klinis Indah Sulistiorini menyebut apa yang dilakukan Lesti dengan melaporkan kejadian yang dialaminya merupakan langkah baik. Bila tidak segera melaporkan maka kondisi Lesti mungkin makin buruk.
"Itu secara fisik terlihat jelas ya, kalau tidak dilaporkan bisa terancam lebih parah lagi (kondisi Lesti," tutur Indah.
"Sudah benar banget lapor polisi," tutur Indah mengapresiasi upaya dan keberanian Lesti via telepon saat dihubungi Health-Liputan6.com.
Indah mengatakan kepada orang-orang yang mengalami kekerasan untuk mengambil langkah. Tak usah takut untuk melapor.
Bila seseorang mendapatkan kekerasan fisik dalam berhubungan, terlebih sudah mengancam nyawa untuk melaporkan ke kepolisian dalam waktu cepat. "Supaya tidak kehilangan bukti yang akan hilang seiring waktu, seperti memar dan luka lainnya."
Begitu juga bila mendapatkan kekerasan psikologis seperti mendapat perlakukan direndahkan dan penyebutan istilah-istilah yang merendahkan.
Selain melapor ke kepolisian bisa juga ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yang memiliki Layanan SAPA 129 (021-129) dan hotline 081-111-129-129. Ini adalah layanan pengaduan kekerasan terhadap perempuan yang dapat diakses oleh semua kalangan di seluruh Indonesia.
Laporan akan ditindaklanjuti dengan penanganan yang dilakukan melalui koordinasi dengan Dinas PPPA/UPTD PPPA di daerah seluruh Indonesia.
Ada 6 layanan dasar yang dapat diberikan, yaitu : pengaduan masyarakat, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan korban.
“Manfaatkan layanan ini dengan baik,” kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Ratna Susianawati mengutip keterangan pers, Kamis (6/10/2022).
Jenis-Jenis KDRT
Ratna menyampaikan bahwa perempuan dan anak memang rentan menjadi korban kekerasan di ranah domestik.
KDRT semakin mungkin terjadi di Indonesia karena dalam komunitas masyarakat Indonesia, sistem patriarki masih berpengaruh besar.
“Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah tindak kekerasan yang serius. Selama ini kita terus berjuang untuk tidak melanjutkan budaya kekerasan di semua lingkup masyarakat hingga lingkup terkecil yaitu keluarga,” kata Ratna.
“Dalam kelompok masyarakat, perempuan dan anak adalah kelompok rentan sehingga kita semua wajib melindungi dan menghindarkan mereka menjadi korban kekerasan,” tambahnya.
Sebetulnya kasus KDRT banyak terjadi di lingkungan masyarakat, lanjut Ratna, hanya saja para korban KDRT biasanya tidak mau melaporkan kasus yang dialaminya dengan banyak alasan. Misalnya takut dengan pelaku KDRT yang notabene adalah keluarga korban. Di sisi lain, korban menganggap KDRT merupakan masalah rumah tangga sehingga merupakan aib apabila permasalahan rumah tangganya diketahui oleh lingkungan sekitar.
Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga terdiri atas beberapa kategori yaitu :
- Kekerasan fisik seperti menampar, memukul, menyiksa dengan alat bantu.
- Kekerasan psikis seperti menghina, melecehkan dengan kata-kata yang merendahkan martabat sebagai manusia, selingkuh.
- Kekerasan seksual seperti pemerkosaan, pelecehan seksual secara verbal, gurauan porno, ejekan dengan gerakan tubuh jika kehendak pelaku tidak dituruti korban.
- Penelantaran rumah tangga di mana akses ekonomi korban dihalang-halangi dengan cara korban tidak boleh bekerja tetapi ditelantarkan atau memanipulasi harta benda korban.
“Dalam melakukan pencegahan KDRT, KemenPPPA membutuhkan dukungan dan kerja sama dari semua pihak. Mulai dari tokoh agama, tokoh masyarakat, influencer, publik figur, ataupun tokoh-tokoh lain yang berpengaruh dalam memberikan edukasi ke masyarakat serta lembaga layanan dan tentu saja masyarakat luas,” katanya.
Advertisement
Dampak KDRT
KDRT menimbulkan dampak sangat besar, baik bagi si korban maupun keluarganya. Kondisi ini bisa diperparah dengan lingkungan sekitar yang kurang tanggap terhadap kejadian KDRT di sekitarnya. Sebagian masyarakat cenderung menganggap KDRT sebagai masalah domestik sehingga apabila ada kejadian KDRT, mereka enggan ikut campur.
Bagi korban, KDRT bisa berdampak fatal. Selain menimbulkan luka fisik dan psikis berkepanjangan, peristiwa kekerasan akan terekam dalam memori otak anak-anak yang menyaksikannya.
“Jangan heran jika anak-anak yang menyaksikan dan bahkan menjadi korban KDRT akan melakukan hal serupa dengan teman sebaya mereka dan ke anak-anak mereka kelak.”
Anak yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang mengalami KDRT cenderung akan meniru ketika mereka dewasa. Anak perempuan yang melihat ibunya dipukul ayahnya dan ibunya diam saja, tidak melapor atau melawan, maka anaknya cenderung memiliki reaksi yang sama ketika mengalami KDRT saat berumah tangga.
Indonesia memiliki Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sebagai pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau subordinasi, khususnya perempuan. UU PKDRT dianggap sebagai salah satu peraturan yang melakukan terobosan hukum karena terdapat beberapa pembaharuan hukum pidana yang belum pernah diatur oleh Undang – Undang sebelumnya.
Terobosan Hukum UU PKDRT
Terobosan hukum yang terdapat dalam UU PKDRT mencakup bentuk–bentuk tindak pidana dan dalam proses beracara. Antara lain dengan adanya terobosan hukum untuk pembuktian bahwa korban menjadi saksi utama dengan didukung satu alat bukti petunjuk.
Diharapkan dengan adanya terobosan hukum ini, kendala-kendala dalam pembuktian karena tempat terjadinya KDRT umumnya di ranah domestik dapat dihilangkan. UU PKDRT ini juga mengatur kewajiban masyarakat dalam upaya mencegah KDRT agar tidak terjadi kembali (Pasal 15 UU PKDRT).
“Kasus KDRT yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi, kini menjadi urusan publik yang nyata bahkan menjadi ranah negara karena telah diatur dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang PKDRT.”
KDRT juga bukanlah sebuah hal yang dapat dinormalisasi, akhir cerita KDRT juga seringkali tidak seindah dongeng. Dengan ditutupinya KDRT tidak jarang justru membuat pelaku semakin menjadi-jadi.
“Untuk itu kami mendorong masyarakat , khususnya perempuan dan anak yang menjadi korban untuk tidak takut melapor, begitu juga masyarakat yang melihat tindak KDRT di sekeliling mereka.”
Advertisement