Liputan6.com, Jakarta Umat Islam hari ini merayakan Maulid Nabi Muhammad saw. Menag Yaqut Cholil Qoumas mengajak umat muslim meneladani Rasulullah saw., termasuk dalam menjaga harmoni dan kerukunan.
"Rasulullah telah memberikan praktik terbaik dalam membangun harmoni dan kerukunan masyarakat Madinah. Umat Islam hidup rukun berdampingan dengan kaum Yahudi dan Nasrani, dieratkan oleh Piagam Madinah," ujar Menag, dalam keterangan resmi di laman Kemenag, Sabtu (8/10/2022).
Baca Juga
"Kerukunan adalah pra syarat pembangunan. Praktik baik yang diteladankan Rasulullah di Madinah, sepatutnya dicontoh umat Islam dalam membangun dan memajukan Indonesia di tengah keragaman masyarakatnya," sambungnya.
Advertisement
Menurut Menag, dengan jumlah terbanyak, umat muslim Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam terus menjaga harmoni Indonesia. Bahkan, dunia melirik keberhasilan Indonesia dalam merawat kerukunan dan menguatkan moderasi beragama.
"Harmoni Indonesia adalah tugas kita bersama untuk merawat dan melestarikan. Tak ada bangsa yang maju tanpa kerukunan. Untuk itulah, harmoni adalah syarat utama laju pembangunan menuju pencapaian emas," pesan Menag.
Dalam semangat Maulid, Menag juga mengajak umat muslim untuk menengadahkan tangan, mendoakan para korban meninggal dunia di Stadion Kanjuruhan Malang dan banjir di wilayah Jakarta Selatan, khususnya siswa-siswi MTsN 19 Jakarta.
"Semoga seluruh amal kebaikan mereka diterima dan semua dosa diampuni Allah SWT. Amin," tutur Menag.
Hikmah Hari, Bulan, dan Tahun Kelahiran Nabi Muhammad
Hari, bulan, dan tahun kelahiran Nabi Muhammad bukan merupakan kebetulan, dikutip NU.
Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, hikmah Nabi Muhammad lahir pada bulan Rabi’ul Awwal karena Allah swt ingin menepis adanya anggapan Raasulullah memperoleh kehormatan karena lahir di bulan-bulan mulia seperti asyhurul ḫurum atau Ramadhan, tapi justru kelahiran Nabi sendiri yang membuat bulan kelahirannya, Rabi’ul Awwal, menjadi istimewa dan diagungkan.
Berbeda, misalnya, dengan Nabi Adam yang dilahirkan pada hari Jumat yang secara kebetulan hari tersebut merupakan momen istimemwa bagi umat Musim.
Sayyid Muhammad melanjutkan, Rasulullah lahir pada hari Senin merupakan bentuk rahmat (kasih sayang) bagi semesta alam. Sebab, Senin merupakan hari yang tidak ada banyak tanggungan ibadah sebagaimana, misalnya, hari Jum’at yang terdapat sejumlah kegiatan keagamaan bagi umat Muslim seperti shalat Jumat khutbah, dan ibadah, dan sebagainya.
Sayyid Muhammad kemudian menegaskan poin ini dengan firman Allah swt berikut:
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
Artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107) (Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Adz-Dzakairul Muhamadiyah, 2006 M: halaman 29)
Advertisement
Kelahiran Nabi Bagaikan Memiliki Sifat Pohon
Terkait hari kelahiran Nabi, seorang guru besar Universitas Al-Azhar Mesir, Muhammad Wahdan menyampaikan, Rasulullah lahir pada hari Senin karena Allah ingin menjadikan beliau memiliki sifat seperti pohon, yaitu memberi manfaat kepada banyak orang dengan banyak hal seperti sebagai tempat berteduh, buahnya bisa dinikmati, batangnya bisa dimanfaatkan untuk keperluan yang beragam.
Filosofi pohon ini mengindikasikan bahwa Rasulullah menjadi sosok insan yang banyak menebar kemanfaatan. Bertepatan dengan hari Senin pula Allah pertama kali menciptakan pohon.
Diriwayatkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِي فَقَالَ خَلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ التُّرْبَةَ يَوْمَ السَّبْتِ وَخَلَقَ فِيهَا الْجِبَالَ يَوْمَ الْأَحَدِ وَخَلَقَ الشَّجَرَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَخَلَقَ الْمَكْرُوهَ يَوْمَ الثُّلَاثَاءِ وَخَلَقَ النُّورَ يَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ وَبَثَّ فِيهَا الدَّوَابَّ يَوْمَ الْخَمِيسِ وَخَلَقَ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَام بَعْدَ الْعَصْرِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فِي آخِرِ الْخَلْقِ فِي آخِرِ سَاعَةٍ مِنْ سَاعَاتِ الْجُمُعَةِ فِيمَا بَيْنَ الْعَصْرِ إِلَى اللَّيْلِ
Artinya, “Dari Abu Hurairah, dia berkata, ‘Rasulullah saw memegang tanganku dan bersabda, ‘Allah ‘azza wa jalla menciptakan tanah pada hari Sabtu, menciptakan gunung pada hari Ahad, menciptakan pepohonan (tumbuhan) pada hari Senin, menciptakan sesuatu yang dibenci (keburukan) pada hari Selasa, menciptakan cahaya pada hari Rabu, mengembangbiakkan hewan-hewan pada hari Kamis, menciptakan Adam ‘alaihissalam setelah Ashar hari Jumat pada akhir ciptaan, di saat akhir hari Jumat antara Ashar sampai malam.’” (HR Muslim).
Hikmah Lahir di Tahun Gajah
Kemudian, menurut Ustadz Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta, terkait tahun kelahiran Nabi pada tahun gajah juga memiliki hikmah luar biasa.
Sebelum ditetapkan sistem penanggalan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, bangsa Arab biasa menjadikan peristiwa-peristiwa besar sebagai titimangsa setiap kejadian.
Penyerangan Ka’bah oleh tentara gajah Raja Abrahah merupakan tragedi terbesar yang dialami orang Arab saat itu, sebab Ka’bah merupakan simbol sakral agung bagi semua penduduk Makkah ketika itu, entah bagi penganut agama tauhid atau musyrik.
Masyarakat Makkah yang tidak mungkin melakukan perlawanan sama sekali karena secara militer masih primitif justru berhasil memukul mundur tentara Abrahah dengan sekawanan ababil yang diutus Allah swt demi memuliakan Nabi Muhammad.
Secara logika, seharusnya pasukan Abrahah yang beragama Nasrani (ahlul kitab) otomatis lebih mulia dari penduduk Makkah yang menyembah berhala. Tetapi, Allah lebih berpihak kepada penduduk Makkah.
Hai ini tidak lain merupakan kehendak Allah untuk memuliakan kota Makkah, tempat yang lima puluh hari setelah itu lahir seorang nabi akhir zaman.
Artinya, Nabi sudah ada dalam kandungan Siti Aminah saat penyerangan terjadi. Secara tidak langsung, seolah Allah berpesan,
“Wahai suku Quraisy sekalian, kami menolong kalian dengan mengalahkan Habasyah bukan karena kalian lebih mulia (dari para ahlul kitab, pen). Kami hanya ingin menjaga Ka’bah yang kelak akan kami muliakan dan kami agungkan dengan diutusnya nabi yang ummi.” (Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur’anil ‘Azhîm, tanpa tahun: juz XIV, h. 455).
Advertisement