Liputan6.com, Jakarta - m Anak-anak belakangan ini mengalami demam dan diare? Jangan lupa cek produksi urine per harinya. Apabila masih bayi, sering-sering cek popoknya basah atau tidak. Cara ini untuk deteksi dini gangguan ginjal akut, sehingga anak cepat tertolong.
Jika anak tidak pipis lebih dari enam jam atau malah tidak pipis sama sekali, segera periksakan ke fasilitas kesehatan, puskesmas, klinik, atau dokter anak terdekat.
Baca Juga
Dokter Spesialis Anak Konsultan Nefrologi Henny Adriani Puspitasari mengatakan kebanyakan anak-anak yang datang dengan gangguan ginjal akut ini memiliki riwayat demam dan diare. Ada yang disertai dan ada yang tidak disertai gejala saluran napas misalnya batuk pilek. Tapi sebagian besar demam dan diare.
Advertisement
Untuk deteksi dini, Anda bisa mengecek dari produksi urine anak. "Gangguan ginjal akut, kalau masih tahap awal-awal paling sensitif kita melihat produksi urine, tanda dan gejala itu akan muncul belakang," ujar Henny dalam perbincangan di kanal Youtube IDAI_TV yang diunggah pada Senin, 10 Oktober 2022.
Kalau produksi urine sudah turun, fungsi ginjal sangat turun, rusak sampai 50 persen, baru anak mulai terlihat bengkak, napasnya cepat, dan mulai ada gangguan elektrolit, kejang, karena tekanan darah tinggi, kadar natrium di darahnya turun drastis.
"Kalau sudah bengkak sudah telat, jadi kita mesti bawa lebih cepat harus ditangani lebih cepat," katanya dengan tegas.
Dalam dua bulan ini terakhir terjadi lonjakan kasus gangguan ginjal akut pada anak di bawah 6 tahun. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengatakan, hingga 10 Oktober 2022 kasusnya sudah mencapai 131.
“Per 10 Oktober (data) yang masuk ke kami, mungkin tidak representatif seluruh Indonesia ya, ada 131 kasus. Tentu saja ini menimbulkan kewaspadaan buat kita semua,” ujar Ketua Pengurus Pusat IDAI Piprim Basarah Yanuarso dalam konferensi pers virtual, Selasa (11/10/2022).
Belum Diketahui Pasti Penyebabnya
Hingga kini IDAI belum mengetahui penyebab pasti gangguan ginjal akut yang dikenal dengan istilah gangguan ginjal akut progresif atipikal ini.
Dokter masih mempelajari penyebabnya. Namun, dari kasus yang ditemui, anak-anak yang mengalami gangguan ginjal akut progresif atipikal ini lebih banyak yang berusia di bawah 6 tahun.
Penyebab gangguan ginjal akut pada anak masih diteliti. Semula Piprim mengira kasus ini berkaitan dengan COVID-19, tapi ternyata tidak.
“Oleh karena itu, ini masih perlu terus kita dalami, yang jelas angka kematiannya cukup tinggi. Tetap waspada tapi tidak perlu panik berlebihan,” tambah Piprim.
Piprim juga memberi gambaran, biasanya acute kidney injury terjadi pada anak-anak yang memiliki masalah ginjal bawaan. Namun, pada pasien-pasien yang ada saat ini, ginjal mereka awalnya normal dan bukan disebabkan kelainan bawaan.
Ia menambahkan, penyakit ini disebut unknown origin seperti hepatitis akut. Pasalnya, gangguan ginjal akut ini sebelumnya tak pernah menjadi diagnosis tunggal.
“Jadi AKI itu pasti merupakan kondisi yang ada penyebabnya. Pada anak-anak ini kami tidak menemukan penyebab yang biasanya timbul. Yang sering terjadi, AKI itu biasanya efek dari kehilangan cairan atau kekurangan cairan dalam waktu yang singkat.”
Advertisement
Gejala Gangguan Ginjal Akut
Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi IDAI Eka Laksmi Hidayati. Eka mengatakan bahwa anak-anak yang terkena AKI menampilkan gejala yang cenderung seragam.
“Kurang lebih seragam gejalanya, diawali gejala infeksi seperti batuk pilek atau diare dan muntah. Infeksi tersebut tidak berat, maksudnya bukan tipikal infeksi yang kemudian bisa menyebabkan AKI secara teori.”
Anak hanya mengalami batuk, pilek, muntah, dan dalam beberapa hari. Kemudian dalam tiga sampai lima hari mendadak tidak ada urinenya.
“Tidak bisa buang air kecil, betul-betul hilang sama sekali urinenya. Anak-anak ini hampir semuanya datang dengan keluhan tidak bisa buang air kecil atau buang air kecilnya sangat sedikit.”
Berikut beberapa gejala gangguan ginjal akut yang harus diwaspadai orangtua maupun tenaga kesehatan:
- Demam
- Diare
- Gangguan saluran napas
- Muntah
"Kemudian kita harus memperhatikan produksi air kencing dari anak kita. Kita harus memastikan dia dapat cairan yang cukup, kita harus rajin buka popoknya, ada kencingnya nggak ya, berkurang enggak ya daripada biasanya," jelas Henny.
Apabila anak sudah bisa berkemih sendiri, orangtua harus pastikan melihat anak ini sudah pipis berapa kali ini ke kamar mand agar bisa memantau.
"Karena kalau begitu jumlah kencing berkurang maka harus membawa ke fasilitas kesehatan terdekat, puskesmas, klinik," katanya.
Imbauan serupa juga disampaikan Eka. “Jadi perlu waspada jika ada penurunan volume buang air kecil pada anak maka harus segera dibawa ke rumah sakit.”
Umumnya, anak-anak yang terkena adalah kelompok usia bawah lima tahun (balita). Namun, ada pula yang berusia 8 tahun khususnya bagi kasus di Jakarta.
“Kalau data Indonesia, kurang lebih sama yaitu balita, tapi di luar Jakarta ada yang belasan tahun. Di Jakarta kami belum menemukan kasus yang di atas 8 tahun,” pungkasnya.
Normal Buang Air Kecil
Henny meminta para orang tua untuk waspada jika anak tidak buang air kecil (BAK) dalam waktu yang lama. Seorang anak itu normalnya jika sudah melewati masa bayi, BAK sudah tidak terlalu sering."Sekitar 5-6 kali lah kurang lebih anak-anak itu harus buang air kecil. Kalau kita hitung 3-4 jam harusnya sudah buang air kecil," ujar Henny.
Kalau pipis anak lebih sedikit dari pada itu, kata Henny, maka orang tua harus berpikir apakah asupan minum atau asupan cairan kurang. Atau pengeluarannya sedang berlebihan, misalnya demam atau di luar lagi panas sekali hawanya sehingga kencingnya berkurang.
"Atau memang ada masalah di dalam ginjal, suatu kondisi penyakit yang menyebabkan produksi urine bekurang drastis," ujar Henny.
Advertisement