Sukses

Peringatan Konten!!

Artikel ini tidak disarankan untuk Anda yang masih berusia di bawah

18 Tahun

LanjutkanStop di Sini

Dokter Obgyn Nanya Sudah Nikah atau Belum, Buat Apa Sih?

Bukan tanpa sebab, dokter obstetri dan ginekologi (obgin) menanyakan status pernikahan karena akan berkaitan dengan metode pemeriksaan dan pengobatan yang hendak dilakukan.

Liputan6.com, Jakarta - Anda mungkin salah satu orang yang punya pengalaman ditanyai status pernikahan oleh dokter obstetri dan ginekologi (obgyn). Pertanyaan 'Sudah menikah atau belum?' dari dokter obgyn pun pernah menjadi pembahasan di jagat maya.

Sebagian warganet mengatakan menanyakan status pernikahan tidaklah relevan. Belum lagi, jika dokter yang bertanya dengan tatapan yang kurang mengenakan ditambah dengan respons ini itu dari asumsinya terkait status pernikahan.

"Kenapa obgyn obgyn judgemental ini nanyanya status pernikahan mulu? Dikata kita-kita baru punya rahim dan vagina setelah ijab kabul," cuit salah satu warganet di Twitter.

"Diagnosed with endometriosis since I was 15. Pertama ke klinik sama susternya ditanya, masih kecil kok sudah ke dokter kandungan?'," ujar warganet lainnya menimpali diskusi soal status pernikahan yang ditanyakan obgin.

Pandangan di atas merupakan dari sisi sebagian warganet, bila melihat dari sudut pandang tenaga kesehatan ada alasan menanyakan status pernikahan ketika memeriksa seseorang. 

Dokter spesialis obstetri dan ginekologi konsultan urogin sekaligus dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Alfa P Meutia mengungkapkan bahwa hal tersebut penting untuk ditanyakan karena berkaitan dengan metode pemeriksaan dan pengobatan.

"Dokter perlu mengetahui status pernikahan karena berkaitan dengan pilihan metode pemeriksaan dan juga pengobatan yang dapat dilakukan. Menurut saya hal ini penting untuk ditanyakan," ujar Alfa pada Health Liputan6.com, Jumat (14/10/2022).

Lebih lanjut, Alfa mengungkapkan bahwa sebenarnya yang ingin ditanyakan adalah status seksual pasien. Hal tersebut lantaran metode pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sudah aktif secara seksual (sexually active) dan belum akan berbeda.

"Sebetulnya yang ingin ditanyakan adalah apakah pasien seksual aktif atau tidak. Dikemas dengan budaya Timur, maka pertanyaan yang diajukan adalah apakah sudah menikah?," kata Alfa.

2 dari 4 halaman

Hal yang Sebenarnya Ingin Diketahui Dokter

 

Terlebih, kolom yang umumnya tertera pada berkas di rumah sakit Indonesia adalah status pernikahan. Alhasil, dokter perlu menanyakan hal tersebut terutama bila ada pemeriksaan yang harus dilakukan melalui vagina.

"Kalau pada berkas rumah sakit umumnya status pernikahan adalah salah satu kolom yang perlu diisi. Namun dokter akan kembali konfirmasi mengenai ini bila berkaitan dengan rencana pemeriksaan lewat vagina atau bila ada keluhan yang berkaitan dengan genitalia," ujar Alfa.

Seperti USG transvaginal, misalnya. USG satu ini mengharuskan dokter menggunakan alat yang dimasukan ke vagina. Metode satu ini tidak dilakukan jikalau pasien belum aktif secara seksual dan tidak bersedia. 

3 dari 4 halaman

Keuntungan USG Transvaginal

Menurut Alfa, dalam pemeriksaan USG transvaginal terdapat keuntungan tersendiri. Hal tersebut lantaran USG transvaginal bisa memberikan gambaran dengan lebih baik untuk kasus ginekologi pada pasien yang tidak sedang hamil.

"USG transvaginal dapat memberikan gambaran genitalia interna dengan lebih baik pada kasus ginekologi (tidak hamil). Sehingga ini merupakan method of choice-nya," kata Alfa.

"Namun bila belum seksual aktif maka dapat dilakukan metode lainnya seperti USG transrektal maupun abdominal," tambahnya.

USG transrektal sendiri dilakukan dengan cara memasukkan alat ke bagian rektum atau anus pasien.

Sedangkan USG abdominal dilakukan pada bagian luar perut dengan mengoleskan gel dan menggunakan alat khusus, seperti yang mungkin sudah sering Anda lihat saat memeriksakan kandungan.

Kedua jenis USG itulah yang kemungkinan akan ditawarkan pada pasien yang belum aktif secara seksual. 

4 dari 4 halaman

Etika Hubungan Dokter dan Pasien

Dalam kesempatan yang sama, Alfa pun menyebutkan bahwa sebenarnya ada etika tersendiri untuk dokter dan pasien. Prinsip etika kedokteran terbagi menjadi empat yakni beneficence, non maleficence, justice, dan autonomy.

Seperti halnya dalam konteks justice, Alfa menjelaskan, dokter diharapkan untuk tidak membedakan pasien dan menerapkan konsep keadilan dan kesetaraan. Termasuk pada pasien yang sexually active maupun tidak.

Sedangkan dalam konteks autonomy, pasien berhak mengambil keputusan terkait tindakan medis apa yang akan dilakukan. Dalam hal ini, dokter perlu menginformasikan pilihan tindakan medis yang tersedia.

"Untuk dapat memberikan informasi secara komprehensif maka diperlukan data akurat dari history taking dan diagnostic tools yang tepat. Disinilah pentingnya diketahui apakah pasien sudah seksual aktif atau belum agar pemeriksaan menjadi lebih akurat. Jadi pasien memiliki kebebasan terapeutik dan dokter memiliki kebebasan profesional," pungkasnya.