Liputan6.com, Jakarta Istilah perubahan iklim sudah tidak lagi relevan menggambarkan kerusakan lingkungan yang tengah terjadi. Untuk itu, beberapa pihak kini lebih gemar menggunakan terminologi krisis iklim.
“Intergovernmental Panel on Climate Change menyatakan gas buang atau emisi manusia adalah penyebab krisis iklim. Krisis ini telah memperburuk situasi ekonomi dan ekologi dunia,” tutur Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) Gita Syahrani mengutip keterangan pers Selasa (18/10/2022).
Baca Juga
Gita meminta seluruh pihak, baik pemerintah maupun masyarakat umum, untuk menerapkan pemahaman baru dengan prinsip ketangguhan iklim.
Advertisement
Gita menjelaskan, ketangguhan iklim merupakan pemahaman pembangunan holistik yang tidak hanya terbatas pada pembangunan infrastruktur. Namun, juga menyentuh persoalan struktural, seperti memasifkan edukasi soal krisis iklim dalam pendidikan.
Untuk menjelaskan dampak krisis iklim, Gita menceritakan dampak krisis iklim terhadap beberapa kabupaten di Indonesia.
Temuan LTKL menyebut 3 kabupaten anggota LTKL telah mengalami banjir besar. Nahasnya, ketiga kabupaten yang dimaksud terakhir kali mengalami banjir serupa sekitar 60 tahun yang lalu.
“Contoh lainnya ketika terjadi banjir pada 2020 awal di DKI Jakarta. Jadi ya, krisis iklim ini memang terjadi dekat dengan lingkungan hidup kita,” ungkap Gita kembali dalam keterangan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).
Komitmen Atasi Krisis Iklim
Dalam keterangan yang sama, Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Chenny Wongkar juga angkat bicara.
Chenny menyampaikan soal komitmen pemerintah global maupun nasional mengatasi krisis iklim. Menurutnya, pemerintah dunia telah menyepakati Perjanjian Paris untuk mencegah kenaikan suhu bumi di angka 1.5 °C.
Komitmen ini juga lantas diturunkan oleh negara-negara lain, salah satunya Indonesia dalam bentuk kontribusi yang ditetapkan secara nasional (nationally determined contribution/NDC). Ada pula ragam rencana dan program turunan untuk mengurangi emisi dan mencegah keparahan krisis iklim di berbagai tingkat wilayah.
Kendati demikian, menurut Chenny, rencana ini masih perlu diturunkan dalam peta jalan yang lebih konkret, transparan, dan akuntabel.
“Kita mengenal Rencana Umum Energi Nasional. Pada 2025 juga telah ditargetkan bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 25 persen. Sayangnya, kita juga masih jauh dari target yang telah dicanangkan,” tutur Chenny.
Advertisement
Masih Ada Harapan
Di sisi lain, Senior Analyst Climateworks Centre Brurce Mecca, menegaskan masih ada harapan untuk mengatasi persoalan krisis iklim, salah satunya melalui mekanisme pembiayaan hijau (green climate fund).
Kesadaran terhadap mekanisme ini dilatarbelakangi keyakinan bahwa pendanaan dari pemerintah tidak akan mampu mengalokasikan seluruh dana yang dimiliki untuk menangani krisis iklim.
“Mekanisme pembiayaan hijau bisa melalui bantuan internasional ataupun swasta. Namun, tentu kita tidak bisa selalu mengandalkan bantuan internasional terus menerus dan karena itu kita bisa mulai menggunakan dana bantuan swasta,” tutur Brurce.
Brurce menuturkan, hingga saat ini pemerintah membutuhkan USD 247 Miliar hingga 2030 untuk proses pendanaan iklim. Namun sayangnya, hingga saat ini baru tersedia kurang dari 50 persen kebutuhan untuk inisiatif tersebut.
Di sisi lain, mekanisme pajak karbon, upaya mengendalikan emisi karbon melalui pengenaan pajak, masih tertunda paling lambat hingga 2025.
“Baiknya memang penggunaan pajak ini digunakan untuk pendanaan iklim,” tutur Brurce kembali.
Pemahaman Anak Muda
Sementara, Project Lead TRACK SDGs, Fachrial Kautsar, menjelaskan pemahaman anak muda yang lengkap terhadap krisis iklim merupakan hal esensial.
“Telah banyak inisiatif yang dilakukan untuk mengatasi krisis iklim. Sayangnya, tidak semua anak-anak muda sadar memiliki potensi yang cukup untuk mengatasi keparahannya,” tutur Fachrial.
Fachrial menambahkan, salah satu langkah yang bisa diambil mengatasi persoalan ini adalah dengan mengenalkan krisis iklim kepada anak-anak muda, seperti dalam forum Youth Gathering #2: Engaging Youth for Climate Resilience pada 15 Oktober di Jakarta.
“Berkembangnya pemahaman anak muda bisa mendorong mereka menciptakan inovasi untuk mengatasi krisis iklim,” tutup Fachrial.
Advertisement