Sukses

Wamenkes Dante Sebut Etilen Glikol yang Tak Aman, Bukan Parasetamol

Penegasan terhadap kandungan Etilen Glikol yang tidak aman, bukan parasetamolnya.

Liputan6.com, Jakarta Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia Dante Saksono Harbuwono meluruskan pemahaman kepada masyarakat. Dante menerangkan bahwa parasetamol sebenarnya aman. Yang menjadi tidak aman adalah kandungan Etilen Glikol (EG) yang bila berada di dalam parasetamol.

Bila terdapat kandungan Etilen Glikol pada parasetamol itu menjadi kekhawatiran tersendiri

"Parasetamol tetap aman. Bukan parasetamol yang tidak aman, tetapi ada parasetamol yang mengandung Etilen Glikol," terang Dante di sela-sela acara 'Hospital Expo di PERSI' di Jakarta Convention Center pada Rabu, 19 Oktober 2022.

Sebagaimana informasi Center for Disease Control and Prevention (CDC), Amerika Serikat (AS), Etilen Glikol adalah zat beracun yang biasa ditemukan dalam berbagai produk rumah tangga dan industri. Bentuk Etilen Glikol, yakni seperti sirup, tidak berwarna, dan memiliki rasa manis.

Etilen Glikol biasanya digunakan sebagai cairan rem hidrolik, tinta dalam bantalan stempel, pulpen, cat, plastik, film, dan kosmetik. Namun, bahaya etilen glikol yang tidak sengaja tertelan adalah bisa terurai menjadi senyawa beracun dalam tubuh.

Bahaya Etilen Glikol pada tubuh yakni dapat memengaruhi sistem saraf pusat, kemudian jantung, dan ginjal.

Selain Etilen Glikol, ada juga Dietilen Glikol dalam obat. Dietilen Glikol adalah cairan yang tidak berwarna, praktis tidak berbau, beracun, dan higroskopis dengan rasa yang manis. Senyawa ini dapat bercampur dalam air, alkohol, eter, aseton, dan etilena glikol.

Dietilen Glikol banyak digunakan dalam produk plastik, tinta untuk percetakan, perekat untuk serat, minyak rem, plasticizer, media pemanas lantai, agen pelembut untuk selofan, campuran semen, pendingin, dan agen untuk dekomposisi semen klinker.

2 dari 4 halaman

Tak Boleh Terkandung Dietilen Glikol dan Etilen Glikol

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia mengeluarkan aturan terbaru bahwa semua produk obat sirup yang beredar di Tanah Air tidak boleh mengandung Dietilen Glikol (DEG) dan Etilen Glikol (EG).

Aturan terbaru ini disampaikan BPOM guna mencegah kejadian tidak diinginkan berkaca dari kejadian anak meninggal di Gambia yang diduga terkait obat batuk sirup mengandung Dietilen Glikol (DEG) dan Etilen Glikol (EG).

Untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat, BPOM telah menetapkan persyaratan pada saat registrasi bahwa semua produk obat sirup untuk anak maupun dewasa, tidak diperbolehkan menggunakan dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol (EG)," tulis BPOM dalam pernyataan resmi pada Sabtu, 15 Oktober 2022.

BPOM sudah melakukan pengawasan baik pre dan postmarket pada obat yang beredar di Indonesia. Hasilnya empat produk produksi Maiden Pharmaceuticals Limited, India yang terkait dengan kematian anak di Gambia tidak tidak terdaftar di Tanah Air.

 

Keempat, produk yang dimaksud adalah Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup.

Keempat produk yang ditarik di Gambia tersebut tidak terdaftar di Indonesia dan hingga saat ini produk dari produsen Maiden Pharmaceutical Ltd, India tidak ada yang terdaftar di BPOM," tulis BPOM.

 

3 dari 4 halaman

Lakukan Penelitian Ulang Kemasan

Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo meminta BPOM untuk melakukan penelitian ulang terhadap semua kemasan pangan yang menggunakan bahan Etilen Glikol dalam proses pembuatannya. Termasuk kemasan galon sekali pakai yang berbahan PET (Polietilen Tereftalat).

Hal tersebut dipicu oleh peristiwa meninggalnya sejumlah anak di Gambia, Afrika Barat yang diduga mengalami gagal ginjal akut misterius akibat mengonsumsi obat batuk mengandung Dietilen Glikol dan Etilen Glikol.

"Terhadap kemasan pangan yang berpotensi mengandung Etilen Glikol, karena itu bisa menyebabkan bahaya kesehatan pada anak-anak seperti yang terjadi di Gambia, BPOM perlu melakukan suatu kajian atau penelitian lagi untuk mengetahui kadar Etilen Glikol di dalam produknya," ujar Rahmad melalui keterangan tertulis, Selasa (18/10/2022).

Menurut Rahmad, selama ini beberapa kelompok tertentu gencar mendorong potensi kandungan BPA pada polikarbonat. Padahal, BPOM juga mencantumkan potensi bahaya Etilen Glikol dalam kemasan plastik PET. 

Penelitian terhadap kemasan pangan yang mengandung Etilen Glikol tersebut sangat diperlukan, meski pun sudah diberikan izin edar mengingat terus berkembangnya ilmu pengetahuan.  

"Data-data empiris harus dilakukan termasuk penyebab anak-anak kita yang tengah mengalami gangguan penyakit ginjal akut. Jadi, saya kira hal-hal yang menyangkut itu tidak salah BPOM melakukan satu kajian yang melibatkan peneliti dari universitas yang sangat berkompeten," tulis Rahmad.

4 dari 4 halaman

Tidak Perlu Panik

Rahmad Handoyo pun meminta agar masyarakat tidak terlalu panik dengan adanya kejadian di Gambia. Karena ada batas-batas zat berbahaya dalam produk pangan yang bisa ditoleransi. 

"Tapi, saya mendorong agar tetap dilakukan penelitian terhadap kemasan-kemasan pangan yang mengandung Etilen Glikol sebagai langkah preventif untuk mengantisipasi potensi-potensi yang tidak diinginkan seperti kejadian di Gambia itu terjadi di Indonesia," jelasnya.

Sementara itu, pakar polimer Institut Teknologi Bandung (ITB) Ahmad Zainal Abidin menjelaskan, kemasan air minum sekali pakai seperti air kemasan galon sekali pakai yang berbahan PET, dalam pembuatannya menggunakan Etilen Glikol.

Bahan tersebut, lanjut Ahmad, apabila dikonsumsi melebihi dosis maksimal yang diizinkan, maka bisa menyerang sistem saraf pusat, jantung, dan ginjal serta dapat bersifat fatal jika tidak segera ditangani.  

Seperti diketahui, Etilen Glikol cukup beracun dengan LDLO 786 mg/kg berat badan bagi manusia. Bahaya utamanya terletak pada rasa senyawa ini yang manis.

Oleh karena itu, anak-anak dan hewan sering tak sengaja mengonsumsinya melebihi dosis maksimal yang diperbolehkan. BPOM juga telah resmi melarang penggunaan Dietilen Glikol (DEG) dan Etilen Glikol (EG) dalam semua jenis obat sirup di Indonesia. Bahan ini dicurigai sebagai penyebab kematian anak di Gambia, Afrika Barat.