Sukses

Menkes: Gagal Ginjal Akut Paling Banyak Menyerang Balita 1-5 Tahun

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, kasus gagal ginjal akut lebih banyak dialami oleh anak-anak berusia 1-5 tahun.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, kasus gagal ginjal akut lebih banyak dialami oleh anak-anak berusia 1-5 tahun.

"Yang masuk rumah sakit cepat sekali kondisinya memburuk. Dari jumlah kasus berdasarkan kelompok umur, di usia 1-5 tahun ada 153 kasus," kata Menkes saat konferensi pers, Jumat (21/10/2022).

Dari data yang diterima Kemenkes saat ini, ada 26 kasus pada anak kurang dari satu tahun, 37 kasus pada anak 6-10 tahun dan 25 kasus pada usia 11-18 kasus.

Menurut Menkes, sebenarnya laporan kasus gagal ginjal akut mulai meningkat sejak September. Kala itu, semua dugaan penyebab kondisi tersebut diperiksa. Apakah itu terkait COVID-19, vaksin atau ada patogen tertentu seperti vaksin atau bakteri. Ternyata, bukan itu penyebabnya.

"Yang membuat kita agak terbuka adalah kasus Gambia. Dan pada 5 Oktober lalu, WHO mengeluarkan rilis kasus Gambia yang disebabkan oleh senyawa kimia ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether alias etilon glikol pada obat yang dikonsumsi anak-anak di sana," jelas Menkes.

Dari hasil tes di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), kata Menkes, dari 11 kasus ada 7 anak positif memiliki senyawa berbahaya dalam tubuhnya.

"Yang namanya dietil glikol ini merupakan cemaran dari pelarut tambahan di obat sirup. Supaya melarutnya bagus, dikasi pelarut Polyethylene glycol (PEG). Sebenarnya ini nggak beracun. Cuma ketika kualitasnya buruk, zat ini bisa menghasilkan cemaran berbahaya yaitu 3 zat EG, DEG dan etilon glikol," jelasnya.

 

2 dari 4 halaman

Senyawa Kimia yang Membahayakan Ginjal Anak

Lebih lanjut Menkes menjelaskan senyawa kimia ini bisa menjadi asam oksalat dan membahayakan ginjal. "Kalau masuk ke ginjal itu kayak kristal kecil yang tajem. Sehingga kalau ada senyawa itu, rusak ginjal anak kita."

Untuk mencegah tingginya fatality rate atau tingkat kematian yang tinggi, pemerintah menyatakan mengeluarkan kebijakan konservatif. "Daripada banyak balita masuk rumah sakit. Walaupun kami belum mengetahui penyebabnya 100 persen tapi sekarang kira-kira 70 persen ini sudah diketahui masalahnya."

Selain itu, pemerintah langsung mencari obat penawar ini hingga ke Singapura dan Australia. "Jadi begitu kita tahu ini toksik, kita cari obatnya. Ketemu obat ambil dari Singapura. Pada sebagian membaik, dan sebagian stabil. Jadi kami merasa confident obat ini efektif."

3 dari 4 halaman

Tanggapan BPOM

Plh Deputi 1 BPOM Dra. Elin Herlina Apt, MP menyampaikan, EG dan DEG tidak boleh digunakan sebagai bahan baku obat. Jadi kemungkinan senyawa berbahaya tersebut terbawa karena digunakan dalam pelarut obat sirop.

"Kemungkinan terbawa saat digunakan pelarut dalam obat. Sehingga tidak ada sebagai bahan baku, namun sebagai cemaran," jelasnya.

Kini BPOM, lanjut dia sedang melakukan pengujian dan analisis pada sejumlah produk. BPOM juga telah melakukan pengawasan menggunakan sampling. Untuk selanjutnya, industri pun diminta untuk melakukan pengujian mandiri.

Pada masyarakat, Elin berpesan:

- Agar menggunakan obat tidak melbihi anjuran pakai dalam kemasan

- Teliti membaca kemasan dan konsultasi ke dokter apabila kondisi anak tidak membaik dalam beberapa waktu

- Pada orang tua agar melaporkan lengkap obat yang digunakan anak

- Melaporkan jika ada efek samping obat 

4 dari 4 halaman

Agar Orang Tua Tidak Panik dan Waspada

Sebelumnya Kemenkes meminta para orang tua untuk tidak panik, tetap tenang, namun selalu waspada terutama ketika anaknya mengalami gejala yang mengarah kepada gagal ginjal akut, seperti ada diare, mual, muntah, demam selama 3-5 hari, batuk, pilek, sering mengantuk, serta jumlah air seni/air kecil semakin sedikit bahkan tidak bisa buang air kecil sama sekali.

“Ini sangat penting kepada seluruh masyarakat khususnya yang mempunyai anak di bawah umur 18 tahun, utamanya adalah anak balita, kalau terjadi penurunan frekuensi buang air kecil dan juga penurunan air kencingnya, bahkan sama sekali tidak keluar air kencingnya atau yang disebut anuria itu maka segera dilakukan pemeriksaan atau dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan,” ujar Juru Bicara Kemenkes Syahril, dalam keterangan persnya, dikutip laman Setkab.

Syahril juga meminta keluarga pasien untuk membawa atau menginformasikan obat yang dikonsumsi sebelumnya, dan menyampaikan riwayat penggunaan obat kepada tenaga kesehatan.

“Jadi kalau anak ini dibawa ke dokter atau rumah sakit, obat-obat yang diminum sebelumnya itu harus dibawa untuk menyampaikan riwayat pengobatan yang sudah dilakukan atau obat-obat yang telah diminum sebelumnya,” ujarnya.

Untuk meningkatkan kewaspadaan dan dalam rangka pencegahan, Kemenkes juga sudah meminta tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) untuk sementara tidak meresepkan obat-obatan dalam bentuk sediaan cair/sirup, sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas.

“Kementerian Kesehatan juga meminta seluruh apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dan/atau bebas terbatas dalam bentuk cair/sirup kepada masyarakat sampai hasil penelusuran dan penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan BPOM [Badan Pengawas Obat dan Makanan] ini tuntas,” ujarnya.

Kemenkes juga mengimbau masyarakat agar dalam pengobatan anak untuk sementara waktu tidak mengonsumsi obat dalam bentuk cair/sirup tanpa berkonsultasi dengan tenaga kesehatan.