Sukses

Etilen Glikol Digunakan Pula dalam Air Minum Kemasan Plastik, Amankah?

Senyawa etilen glikol (EG) akhir-akhir ini banyak diperbincangkan lantaran dicurigai menjadi biang kerok terjadinya gangguan ginjal akut atau acute kidney injury (AKI).

Liputan6.com, Jakarta Senyawa etilen glikol (EG) akhir-akhir ini banyak diperbincangkan lantaran dicurigai menjadi biang kerok terjadinya gangguan ginjal akut atau acute kidney injury (AKI).

Kini, perkiraan itu semakin jelas karena zat yang sama ditambah zat lainnya yang disebut dietilen glikol (DEG) juga ditemukan pada anak-anak yang mengidap gangguan ginjal akut.

“Apa sudah pasti (penyebabnya EG dan DEG)? Sekarang sudah jauh lebih pasti dibandingkan sebelumnya karena memang terbukti di anak-anak ada, jadi darah anak-anak terbukti mengandung senyawa ini,” ujar Menteri Kesehatan (Menkes RI) Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (21/10/2022).

Kandungan EG dan DEG awalnya dicurigai karena ada kasus serupa di Gambia. Di mana 70 anak meninggal dunia karena cedera ginjal usai meminum obat sirup yang mengandung senyawa tersebut.

Selain pada obat sirup anak, ternyata ada pihak-pihak yang mencoba mengaitkan kandungan senyawa EG dengan campuran untuk bahan baku pembuat kemasan air mineral berbahan PET (Polietilen Tereftalat).

Diketahui kemasan plastik PET menggunakan senyawa etilen glikol sebagai aditif atau pengikat polimer. Adapun kemasan PET ini banyak digunakan pada kemasan air minum. Dan yang paling banyak beredar masif di pasaran saat ini adalah kemasan botol.

Sebelumnya, Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk melakukan penelitian ulang terhadap semua kemasan pangan yang menggunakan bahan EG dalam proses pembuatannya. Termasuk kemasan air mineral yang berbahan PET.

2 dari 4 halaman

Penelitian Kemasan Pangan Mengandung EG

Rahmad menilai, penelitian terhadap kemasan pangan yang mengandung etilen glikol tersebut sangat diperlukan, meski pun sudah diberikan izin edar. Mengingat terus berkembangnya ilmu pengetahuan. 

"Terhadap kemasan pangan yang berpotensi mengandung etilen glikol, karena itu bisa menyebabkan bahaya kesehatan pada anak-anak seperti yang terjadi di Gambia, BPOM perlu melakukan suatu kajian atau penelitian lagi untuk mengetahui kadar etilen glikol di dalam produknya," ujar Rahmad melalui keterangan tertulis, dikutip Jumat (21/10/2022).

"Data-data empiris harus dilakukan termasuk penyebab anak-anak kita yang tengah mengalami gangguan ginjal akut. Jadi, saya kira hal-hal yang menyangkut itu tidak salah BPOM melakukan satu kajian yang melibatkan peneliti dari universitas yang sangat berkompeten," tulis Rahmad.

3 dari 4 halaman

Kadar Rendah dan Proses Aman

Hal senada sempat diutarakan Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait yang meminta BPOM memberikan peringatan berupa pelabelan “Berpotensi Mengandung Etilen Glikol” terhadap kemasan-kemasan pangan berbahan etilen glikol.

Dalam keterangan yang sama, ahli teknologi polimer dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), Mochamad Chalid ikut angkat bicara. Ia mengatakan, masyarakat tidak perlu khawatir terhadap kandungan etilen glikol pada kemasan pangan berbahan PET karena memiliki kadar rendah dan proses yang aman.

"Publik tidak perlu panik terkait kandungan EG dan DEG dalam kemasan Botol PET. Karena ada batas-batas zat tersebut dalam produk pangan yang bisa ditoleransi," ujar Chalid.

4 dari 4 halaman

Penggunaan EG pada Obat Sirup dan PET Berbeda

Chalid menambahkan, sebenarnya kandungan Etilen Glikol pada kemasan botol air minum PET masih dalam tahap aman dan selalu dalam pengawasan BPOM. Meskipun berasal dari senyawa yang sama, tapi proses dan kadarnya berbeda.

Jika dalam obat sirup etilen glikol dicampurkan dalam bentuk cair dan ikut diminum, berbeda dengan penggunaan EG sebagai senyawa pengikat dalam plastik PET yang sulit untuk luruh.

Pada obat, kandungan EG dianggap berbahaya karena digunakan untuk melarutkan bahan-bahan obat dan masuk ke tubuh karena ikut diminum. Sedangkan untuk PET senyawa ini sekadar dipakai sebagai aditif untuk mengikat polimer dan hanya bermigrasi jika kondisi ekstrem, yakni terpapar panas yang mencapai 200 derajat celcius.