Liputan6.com, Jakarta - Kasus gangguan ginjal akut (GGA) tidak mengalami penambahan sejak 22 Oktober 2022, seperti disampaikan Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr M. Syahril.
Hingga Senin, 24 Oktober 2022, terdapat 251 kasus gagal ginjal akut yang berasal dari 26 provinsi. Sekitar 80 persen kasus terjadi di DKI Jakarta, Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur, Sumatera Barat, Bali, Banten, dan Sumatera Utara.
Baca Juga
Sementara, persentase angka kematian ada di 56 persen atau sebanyak 143 kasus. Penambahan 6 kasus, termasuk 2 kematian, yang dilaporkan bukanlah kasus baru.
Advertisement
“Kasus yang dilaporkan tersebut dalah kasus lama yang terjadi di bulan September dan awal Oktober yang baru dilaporkan pada Senin. Sejak 22 Oktober hingga Senin tidak ada lagi kasus baru,” ujar Syahril saat Konferensi Pers secara virtual di Jakarta (25/10).
“Walau tidak ada penambahan kasus baru, pemerintah tetap waspada dan mengambil langkah-langkah pencegahan lanjutan,” kata Syahril.
Penambahan kasus baru pun sementara berhasil dicegah dengan permintaan untuk menghentikan penjualan dan tidak meresepkan obat sirup di fasilitas layanan kesehatan baik itu rumah sakit, puskesmas, apotek dan lainnya. Permintaan tersebut dituangkan dalam Surat Edaran Kemenkes per tanggal 18 Oktober 2022.
RSCM, sebagai RS rujukan, contohnya, tidak mengalami penambahan pasien baru sejak 22 Oktober 2022.
“Kasus GGA terjadi setiap tahunnya. Namun demikian, jumlahnya kecil hanya 1-2 kasus setiap bulan. Kasus GGA baru menjadi perhatian pemerintah setelah terjadi lonjakan pada bulan Agustus dengan jumlah kasus lebih dari 35 kasus. Sama halnya seperti kasus hepatitis akut yang tiba-tiba juga melonjak kasusnya walau setiap tahunnya ada,” tambah Syahril.
Diduga karena Intoksikasi Obat
Mengapa baru kali ini terjadi lonjakan kasus gangguan ginjal akut? Pemerintah menduga akibat adanya cemaran senyawa kimia pada obat tertentu yang saat ini sebagian sudah teridentifikasi.
Selain melakukan surveilans atau penyelidikan epidemiologi, Kemenkes mengatakan terus melakukan penelitian untuk mencari sebab sebab terjadinya GGA. Diantaranya dengan menyingkirkan kasus yang disebabkan infeksi, dehidrasi berat, oleh perdarahan berat termasuk keracunan makanan minuman.
Melalui upaya itu, penelusuran Kemenkes bersama IDAI dan profesi terkait menjurus pada salah satu penyebab yaitu adanya keracunan atau intoksikasi obat. Hal ini juga menunjukkan bahwa kasus GGA bukan disebabkan oleh COVID-19 maupun vaksinasi.
"“Jadi kasus GGA bukan disebabkan oleh COVID-19, vaksinasi COVID-19 atau imunisasi rutin,” kata dr Syahril.
Advertisement
Fomepizol sebagai Penawar GGA
Selain upaya pencegahan, Kemenkes juga telah mendatangkan antidotum Fomepizol sebagai panawar GGA.
“Pemerintah sudah mendatangkan obat antidotum Fomepizol dari Singapura sebanyak 26 vial dan dari Australia sebanyak 16 vial. Selanjutnya akan mendatangkan ratusan vial dari Jepang dan Amerika Serikat. Penawar ini akan segera didistribusikan ke RS rujukan pemerintah dan obat ini gratis,” Syahril menjelaskan.
Dari hasil pemberian obat Fomepizol di RSCM, 10 dari 11 pasien terus mengalami perbaikan klinis. Tidak ada kematian dan tidak ada perburukan lebih lanjut. Anak sudah mulai dapat mengeluarkan air seni (BAK). Dari hasil pemeriksaan laboratorium, kadar etilen glikol (EG) dari 10 anak tersebut sudah tidak terdeteksi zat berbahaya tersebut.
156 Obat Bisa Digunakan Lagi
Sebagai tindak lanjut hasil pengujian dan pengumuman oleh BPOM, maka Kemenkes telah mengeluarkan surat edaran untuk dapat digunakan kembali obat-obatan sejumlah 156 sesuai Kepmenkes Nomor HK.02.02/III/3515/2022 tentang Petunjuk Penggunaan Obat Sediaan Cair/Sirop Pada Anak tertanggal 24 Oktober 2022.
Obat-obatan di luar 156 obat tersebut untuk sementara tetap dilarang digunakan sampai dengan pengumuman pemerintah lebih lanjut.
“Moment ini menjadi sarana kita untuk melakukan edukasi khususnya bagi yang memiliki anak hingga usia balita untuk tidak memberikan obat tanpa resep atau tanpa konsultasi kepada tenaga kesehatan” jelas Syahril.
Advertisement