Sukses

HEADLINE: Obat Sirup Cemaran EG Picu Gagal Ginjal Akut Tewaskan Ratusan Anak, Tanggung Jawab BPOM dan Produsen?

Hasil sementara penelusuran yang dilakukan Kemenkes dan beberapa pihak, dugaan kuat gagal ginjal yang terjadi di Tanah Air terkait dengan cemaran Etilen Glikol pada obat sirup yang dikonsumsi. Lalu, siapa yang mesti bertanggung jawab?

Liputan6.com, Jakarta - Sedikit mulai terang penyebab gagal ginjal akut misterius atau Gangguan Ginjal Akut Atipikal Progresif (GgGAPA) yang terjadi pada ratusan anak di Indonesia. Menurut Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin, besar kemungkinan pasien yang menderita acute kidney injury (AKI) terpapar senyawa kimia berbahaya dari obat sirup yang diminum.

Berdasarkan hasil analisis toksikologi dan penyelidikan terhadap obat-obatan yang dikonsumsi pasien, serta referensi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ditengarai ada dugaan kuat kondisi gagal ginjal akut atipikal progresif terkait dengan obat sirup yang mengandung cemaran etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), atau etilen glikol butil ether (EGBE).

“Apa sudah pasti? Sekarang sudah jauh lebih pasti dibandingkan sebelumnya karena memang terbukti di anak-anak ada, jadi darah anak-anak terbukti mengandung senyawa ini,” ujar Menteri Kesehatan (Menkes RI) Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, 21 Oktober 2022.

Hal tersebut kembali diterangkan Budi usai rapat bersama Presiden Joko Widodo dan para menteri di awal pekan ini.

“Jadi berdasarkan rilis dari WHO, adanya zat kimia di pasien, bukti biopsi yang menunjukkan kerusakan ginjalnya karena zat kimia ini, dan adanya zat kimia ini di obat-obatan yang ada di rumah pasien, kita menyimpulkan bahwa benar penyebabnya adalah obat-obat kimia yang merupakan cemaran atau impurities dari pelarut ini,” kata Budi, Senin, 24 Oktober 2022 di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.

Kemenkes juga melakukan serangkaian tes untuk mencoba menguak penyebab kasus ini. Dari hasil tes tersebut, salah satu hal yang dicurigai yakni COVID-19 ternyata tidak berkontribusi dalam gangguan ginjal akut. Begitu pula patogen lainnya yang dinyatakan tidak bisa disebut sebagai penyebab AKI.

Tak ingin makin banyak anak yang menderita gagal ginjal akut Kemenkes mengeluarkan jurus konservatif yakni menyetop sementara penjualan dan penggunaan obat sirup. Hal ini tertuang dalam surat dari Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes bertanggal 18 Oktober 2022. Surat itu bernomor: SR.01.05/III/3461/2022 tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjak Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) pada Anak.

"Sambil menunggu otoritas obat atau BPOM memfinalisasi hasil penelitian kuantitatif (kandungan zat kimia pada obat sirup) mereka, Kemenkes mengambil posisi konservatif dengan sementara melarang penggunaan obat-obatan sirup," jelas Budi.

Setelah aturan penyetopan penjualan dan konsumsi obat sirup dikeluarkan turun signifikan. Total penambahan kasus hanya ada 3 anak, sisanya adalah kasus lama yang baru saja masuk dalam catatan Kemenkes RI per Rabu, 26 Oktober 2022.

Meski begitu, sudah ada 269 anak terkena gagal ginjal akut dengan 157 di antaranya meninggal dunia. Lalu, siapa yang mesti bertanggung jawab atas hal ini?

2 dari 8 halaman

Siapa yang Mesti Bertanggung Jawab?

Beberapa pihak mendesak ada pihak yang bertanggung jawab terhadap kejadian yang menyebabkan ratusan anak meninggal. Ketua Komunitas Konsumen Indonesia, David Tobing, mengatakan pihaknya sudah mengirimkan somasi ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dengan tembusan ke Presiden Joko Widodo terkait kasus ini. 

Menurut David, BPOM sebagai lembaga otoritas pengawas obat dan makanan itu telah lalai melakukan pengawasan pada pre-market dan post-market control yang membuat ada obat sirup yang mengandung cemaran etilen glikol di atas ambang batas aman.

"Padahal sudah sangat jelas diatur Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 huruf d Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bahwa BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan dan menyelenggarakan fungsi pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar,” tulis David dalam keterangan tertulis.

Lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyatakan harus ada pihak yang bertanggung jawab atas kasus gagal ginjal akut pada ratusan anak di Indonesia.

"Ini peristiwa yang bisa disebut sebagai kejadian luar biasa, harus ada yang bertanggung jawab atas peristiwa ini," kata Wakil Ketua Komnas HAM RI Munafrizal Manan, Kamis, 27 Oktober 2022 dalam konferensi pers bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI di Jakarta.

"Kami mendukung dan mendorong pihak-pihak yang memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana agar dituntut pertanggungjawabannya," lanjut Munafrizal.

Ia juga meminta agar terus diupayakan semaksimal mungkin agar tidak bertambah lagi korban yang meninggal dunia.

"Apa yang menjadi penyebab pasti meninggalnya anak-anak tersebut ini harus ditemukan sehingga kita bisa mengatasinya," lanjut Munafrizal.

Selain itu, Munafrizal menyarankan agar tata kelola sistem pengawasan obat dan makanan dapat dibuat lebih komprehensif. 

"Tata kelola sistem pengawasan terhadap obat dan makanan itu harus dibuat sekomprehensif mungkin ke depan. Termasuk juga saya kira perlu untuk penguatan BPOM sendiri agar ke depan bisa lebih maksimal dalam melakukan pengawasan obat dan makanan," tuturnya.

Selain komprehensif, Munafrizal juga meminta pengawasan produk obat yang ketat. Bila perlu superketat mengingat ini menyangkut keselamatan publik.

"Ini menyangkut keselamatan publik, kesehatan publik. Kita kalau sakit tidak bisa menghindarkan diri harus mengonsumsi obat. Kalau kita merasa enggak aman nyaman dengan konsumsi obat itu bagaimana?"

3 dari 8 halaman

Pengawasan Dilakukan Sesuai Standar

Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan pengawasan secara komprehensif pre dan post-market terhadap produk obat yang beredar di Indonesia. 

Namun, Penny mengakui bahwa pihaknya selama ini tidak melakukan pemeriksaan rutin terhadap adanya cemaran EG dan dietilen glikol (DEG) pada obat sirup.

“Karena memang ini (EG dan DEG) dilarang dari awal sebagai bahan baku,” ujar Penny dalam konferensi pers Senin, 24 Oktober.

Dalam dunia farmasi, cemaran dalam produk obat sirup memang mungkin ada. Kehadiran EG dan DEG sebagai cemaran dalam obat sirup bukanlah hal yang yang disengaja. Ini adalah bawaan dari propilen glikol yang merupakan salah satu jenis agen pelarut obat (kosolven) yang digunakan untuk membantu pelarutan obat-obatan dengan bahan yang sukar larut. 

Propilen glikol sebagai bahan baku masih boleh memiliki cemaran seperti EG dan DEG asalkan masih dalam ambang batas wajar yakni 0,1 persen. Jika melewati batas ini, maka bahan baku tersebut tidak memenuhi syarat dan tak bisa diformulasi.

Penny juga menekankan bahwa pelaku usaha atau produsen obat juga memiliki tanggung jawab untuk betul-betul melakukan studi atau kajian analisis cemaran atau impurities terhadap bahan baku yang mereka beli.

Pasalnya, perubahan bahan baku, perubahan kadar, atau hal lainnya bisa saja menyebabkan perubahan kadar cemaran yang ada dalam obat.

“Itu tanggung jawab mereka (produsen) untuk melakukan pengujian. Saya kira adanya perubahan kadar atau hal lain yang saya tidak tahu tentunya ini perlu pendalaman lebih jauh sehingga berubahlah kadar cemaran tersebut,” kata Penny.

 

 

 

4 dari 8 halaman

Sistem Jaminan Keamanan Mutu Obat Juga Tanggung Jawab Industri

Saat ini publik juga meminta BPOM untuk bertanggung jawab atas kejadian yang membuat ratusan anak meninggal. Terkait ini, Penny mengatakan bahwa pihak yang mendesak BPOM bertanggung jawab tak mengerti prosedur pengawasan obat.

“Kalau sekarang ada penggiringan terhadap Badan POM yang tidak melakukan pengawasan secara ketat, itu karena (mereka) tidak memahami proses jalur masuknya bahan baku, pembuatan, dan di mana peran-peran siapa.”

Lebih lanjut, Penny menjelaskan bahwa sistem jaminan keamanan mutu dari obat bukan hanya tanggung jawab BPOM. Sesuai Undang-Undang, tanggung jawab industri adalah memberikan jaminan memproduksi dan mengedarkan produk obat yang aman, bermutu, dan berkhasiat

“Sistem jaminan keamanan mutu dari obat itu bukan hanya Badan POM saja, tapi ada industri, dia yang memproduksi. Dia memiliki kewajiban untuk quality control dari mulai bahan baku masuk kemudian dalam produksinya. Quality control dan quality assurance itu ada di industri,” kata Penny dalam konferensi pers di Jakarta pada Kamis 27 Oktober.

Jika industri obat tidak melakukan kontrol-kontrol tersebut maka mereka harus bertanggung jawab, kata Penny.

“Nah, Badan POM melakukan pengawasan, menetapkan standar, me-review mulai dari pre market, post market. Jadi kami sudah membangun sistem yang kuat dan melakukan pengawasan yang sangat ketat untuk obat ketimbang untuk kosmetik dan pangan.”

Ia menegaskan kembali bahwa tanggung jawab juga ada di produsen. Maka dari itu, pihaknya meminta pertanggungjawaban produsen soal produk obat sirup yang mengandung cemaran yang melebihi batas.

Bagi produsen obat yang tak mengikuti aturan, sanksi yang bisa dijatuhkan adalah sanksi administrasi, lanjut Penny. Sanksi ini termasuk penarikan, pemusnahan, dan pencabutan izin edar. Jika ada indikasi kesengajaan maka BPOM bisa melakukan pelaporan tindak pidana.

BPOM kemudian melakukan pencarian titik-titik yang masih di luar kendali. Salah satu yang di luar kendali adalah soal pemasukan bahan baku yang tidak melalui Surat Keterangan Impor (SKI) Badan POM.

“Kami tidak memiliki kendali karena masuknya tidak melalui SKI Badan POM. Ke depan mungkin kita akan mencermati lagi apa saja yang harusnya ada kaitannya dengan proses produksi farmasi tapi tidak ada dalam kendali Badan POM.”

Ke depannya, akan ada pengetatan berbagai aspek termasuk pada aspek quality kontrol yang dilakukan produsen obat.

“Standar juga harus diperkuat, jadi jangan minta tanggung jawab pada Badan POM karena Badan POM sudah melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya dalam kendala yang ada.”

5 dari 8 halaman

GPFI Sudah Minta Anggota Lakukan Uji Obat Mandiri

Sejak kasus gagal ginjal akut mencuat yang disampaikan Kementerian Kesehatan pada 21 Oktober 2022,  Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) meminta anggotanya untuk bergerak. GPFI meminta anggotanya untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap produksi. Lalu, GPFI juga meminta produsen melakukan uji mandiri produk-produk farmasi.

"GPFI telah menghimbau seluruh perusahaan-perusahaan farmasi anggota GPFI untuk segera melakukan pengujian mandiri terhadap produk obat-obatan yang diproduksi dan melaporkan kepada BPOM," ujar Ketua Umum GPFI Tirto Kusnadi dalam keterangan resmi, Selasa, 25 Oktober 2022. 

Proses evaluasi produk dilakukan secara saintifik dilengkapi dengan data-data sesuai dengan kaidan keilmuan untuk mengetahui penyebab pasti kasus gagal ginjal akut pada anak seperti disampaikan Tirto. 

"Hal ini membutuhkan kerja sama dari semua pihak seperti pemerintah, swasta, farmakolog, ahli forensik, praktisi Kesehatan dan masyarakat agar kepastian penyebab kejadian ini dapat menjadi landasan dalam menentukan langkah-langkah yang diperlukan," lanjut Tirto. 

Di tengah proses penelusuran penyebab kasus gagal ginjal akut, GPFI mempercayakan proses investigasi yang dilakukan BPOM, Kementerian Kesehatan, pakar kefarmasian dan forensik serta pihak lain. 

"Selain itu, GPFI juga mengimbau kepada seluruh pihak untuk dapat menahan diri dengan tidak membuat pernyataan dan tindakan yang kontraproduktif dengan apa yang dilakukan BPOM dan Kemenkes,” kata Tirto.

6 dari 8 halaman

Produsen dan Pihak Terkait Bisa Kena Pidana

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyebut BPOM hingga produsen bisa dikenakan pidana terkait maraknya gagal ginjal akut pada anak.

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 196 disebutkan: "Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar." 

Cara melihat siapa yang harus bertanggung jawab dalam kasus ini yakni dengan melihat dari masing-masing kesalahan antara BPOM dan mereka yang memproduksi obat-obatan tersebut (produsen).

"Jika produsen keliru menerjemahkan komposisi obat yang sudah diperiksa dan diawasi oleh BPOM, artinya komposisi obat itu tidak sesuai dengan yang disetujui BPOM, maka kesalahan sepenuhnya ada pada produsen obat. Artinya produsen tidak mengikuti komposisi yang telah disetujui BPOM, sehingga produsen bertanggung jawab baik secara perdata maupun pidana," ujar Fickar kepada Liputan6.com, Jumat (28/10/2022).

Jika komposisi obat telah sesuai dengan arahan BPOM dan telah mencantumkan indikasi obat pada kemasannya, termasuk larangan mengonsumsi bagi orang-orang tertentu, maka kesalahan tidak bisa diarahkan kepada produsen.

"Maka kesalahan sepenuhnya pada masyarakat, korban yang tidak mengikuti informasi tentang indikasi obat yang tercantum, dan itu menjadi tanggung jawab masyarakat itu sendiri. Tetapi jika obat dengan komposisi itu dikonsumsi berdasarkan resep dokter, maka dokternya juga ikut bertanggung jawab," kata dia.

Menurut Fickar, jika ada obat-obatan yang hanya boleh dikonsumsi berdasarkan resep dokter namun terjadi komplikasi, dalam hal ini kemungkinan dua pihak yang harus bertanggung jawab, yakni antara dokter dan produsen.

"Jika dokter keliru mendiagnosa penyakit, tanggung jawab ada pada dokter. Jika kesalahan karena komposisi obat tidak sesuai dengan informasi dalam kemasan, maka tanggung jawab kesalahan ada pada produsen obat," kata dia.

 

 

7 dari 8 halaman

BPOM Bisa Dituntut

BPOM bukan berarti bisa melenggang begitu saja. Tetap saja BPOM bisa dituntut secara pidana maupun perdata jika salah dalam mengarahkan komposisi obat-obatan untuk penyakit tertentu.

"BPOM bisa dituntut perdata maupun pidana, jika arahan komposisi obat untuk penyakit tertentu keliru atau salah, tidak seperti komposisi yang tercantum dalam kemasan," kata Fickar. 

Proses hukum terhadap BPOM baik pidana maupun perdata (membayar ganti kerugian pasien) bisa dilakukan jika mampu dibuktikan bahwa kesalahan terjadi akibat BPOM salah prosedur dan memberikan informasi atau nasihat yang keliru.

"Hak menuntut bagi korban jika bisa dibuktikan bahwa keluhan sakit tidak sesuai dengan obat yang diberikan, yang dituntut selain BPOM juga dokternya," kata dia.

Dia menyebut, pada dasarnya industri obat menyatakan bahwa tidak ada penggunaan bahan baku yang membahayakan dalam proses produksi. Sehingga adanya bahan berbahaya diduga berasal dari cemaran bahan baku tambahan lain.

"Jika ada diketahui peredaran obat mengandung zat berbahaya yang menimbulkan kematian, maka secara hukum, industri itu tetap harus bertanggung jawab jika dapat dibuktikan kematian itu terjadi atas dasar komplikasi akibat meminum obat, ketentuan yang dapat diterapkan, karena ketidakhati-hatiannya menimbulkan kematian, Pasal 359 KUHP ancaman hukumannya maksimal 5 tahun," kata dia.

Bunyi Pasal 359 KUHP: "Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun."

 

8 dari 8 halaman

Tuntut Pertanggungjawaban Bila Penyebab Sudah Diketahui Pasti

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mengatakan pelimpahan tanggung jawab ini akan lebih mudah dibebankan kepada pihak-pihak tertentu jika penyebab dari gangguan ginjal akut ini sudah benar-benar diputuskan.

“Penyebab harus ditemukan dulu dan harus diumumkan Kemenkes, nanti kalau betul-betul ketahuan penyebab tunggalnya maka akan lebih mudah untuk ditelusuri dari kewenangan BPOM apakah masalahnya di pre market atau di post market,” kata Hermawan. 

Memang penyebaran obat sirup secara pengawasan di bawah BPOM. Pasalnya, pre market hingga post market adalah wilayah pengawasan yang tetap menjadi tanggung jawab BPOM. Namun, stakeholder yang terlibat bukan cuma BPOM. 

“Berarti ada industri yang terkait, artinya perusahaan atau produsen dan fasilitas kesehatan seperti apotek, rumah sakit, atau klinik di mana obat itu beredar. Dan ada kaitan juga dengan pola konsumsi masyarakat kalau kaitannya dengan obat yang bebas diakses publik,” kata Hermawan kepada Health Liputan6.com, Jumat (28/10/2022).

Sebenarnya, kata Hermawan, penelusuran kasus ini tidak terlampau rumit. Penelusuran bisa dilakukan dengan melakukan biopsi pada korban. Hasil dari biopsi bisa dilihat dari kandungan darah atau jaringan organ, betulkah keracunan atau tidak.

“Jika sudah jelas, maka bisa diketahui di formula obat mana atau merek yang mana. Dengan begitu pasti kelihatan produksinya, tahun produksinya, rantai bahan bakunya, dan bahkan juga potensi cemarannya di mana.”

Hermawan mengatakan bahwa Kementerian Kesehatan adalah pihak yang memimpin dalam hal ini. 

“Dan untuk memastikan kesimpulan penyebab ini ya Kemenkes yang menjadi leading sector, ya kita tunggu saja.”