Liputan6.com, Jakarta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat adanya kekerasan terhadap anak sebanyak 11.952 kasus sepanjang 2021. Ternyata, 7.004 kasus atau 58,6 persen diantaranya merupakan kekerasan seksual.
Tak berhenti di sana, data KemenPPPA pun menemukan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 8.478 laporan pada 2021, dan 1.272 kasus diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual.
Baca Juga
Meski telah tercatat ribuan kasus, faktanya masih banyak kasus kekerasan seksual lain yang tidak dilaporkan oleh korban. Begitu banyak korban kekerasan seksual memilih untuk tidak memendam sendiri kejadian tersebut.
Advertisement
Wakil Sekjen Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), Baety Adhayati mengungkapkan bahwa kasus kekerasan pada perempuan maupun anak khususnya kasus seksual berjalan seperti fenomena gunung es.
"Data yang terjadi ini hanyalah puncaknya saja. Jadi fenomena gunung es, masih banyak kasus-kasus lain yang belum terdata karena banyak kendala," ujar Baety dalam media briefing bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jumat (28/10/2022).
Baety menjelaskan, kendala yang dimaksud antara lain adalah korban tidak mau melapor, tidak tahu mau lapor kemana, dan infrastruktur di wilayah korban belum sepenuhnya bisa menjangkau korban.
Selain itu, ada pula faktor yang membuat korban menjadi takut untuk melapor. Menurut Baety, ada berbagai penyebab mengapa korban takut melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialaminya.
"Biasanya karena diancam, awas ya kalau lapor nanti disebarkan videonya. Itu banyak terjadi. Kemudian kalau lapor nanti mau dibunuh atau diancam orangtuanya nanti yang dibunuh," kata Baety.
Korban Kekerasan Seksual Takut Melapor
Lebih lanjut Baety mengungkapkan bahwa faktor lain yang membuat korban takut melapor adalah pelaku ternyata merupakan orang yang dekat. Seperti ayah kandung atau ayah tiri.
"Bisa kadang-kadang justru lingkungan yang tidak kita sadari. Misal, seperti guru ngaji. Itu ternyata ada juga kasusnya. Jadi orang-orang yang korban percaya, yang sudah dekat," ujar Baety.
"Banyak orangtua-orangtua yang datang memeriksakan anaknya, kemudian ketika mereka mengetahui peristiwa yang terjadi itu mereka tidak nyangka, karena itu masih keluarga atau tetangga. Padahal orangnya kelihatan baik."
Selanjutnya, relasi kuasa menjadi faktor selanjutnya mengapa korban takut lapor. Dimana ada hubungan kuat antara pelaku dan korban, sehingga ada kendali dari pelaku terhadap korban.
"Kemudian stigma-stigma yang lazim ada di masyarakat. Pola pikir masyarakat yang menilai bahwa ketika seseorang menjadi korban kekerasan seksual, berarti sudah ada kerusakan di alat kelamin. Artinya dia sudah tidak perawan. Ya sudah, berarti kalau sudah tidak perawan, masa depannya hancur. Ini banyak diungkap oleh orangtua korban kekerasan seksual anak," kata Baety.
Advertisement
Takut, Malu, dan Merasa Bersalah
Padahal menurut Baety, masalah perawan dan tidak perawan bukanlah sesuatu yang penting untuk masa depan seseorang. Apalagi pada kasus anak yang masih punya potensi untuk berkembang, termasuk pada struktur selaput daranya.
"Inilah hal-hal yang menjadi stigma di masyarakat. Sehingga kebanyakan korban atau justru keluarga yang diharapkan menjadi pelapor, apalagi kalau korbannya anak-anak, justru tidak melapor," ujar Baety.
Baety menjelaskan, hambatan psikologis seperti rasa takut, malu, serta adanya rasa bersalah menjadi faktor selanjutnya yang membuat korban tidak melapor.
"Ada yang menyalahkan diri sendiri. Ini biasanya anak-anak yang kurang diawasi orangtuanya. Sehingga orangtuanya merasa ini ada bagian dari kontribusi kami, karena enggak terawasi dengan baik," kata Baety.
"Apalagi kalau sampai korbannya hamil. Ini lebih-lebih lagi ya, malah kadang korbannya diisolasi. Sekolahnya berhenti, dipindahin rumahnya, sampai misalnya nanti dia lahiran orang enggak tahu karena ada rasa malu," tambahnya.
Bukan Hanya Takut, Kenapa Sih Korban Tidak Melapor?
Dalam kesempatan yang sama, Baety mengungkapkan bahwa bukan hanya faktor takut melapor, melainkan ada faktor lainnya yang menyebabkan korban tidak melapor. Salah satunya karena tidak mengerti bahwa yang dialaminya merupakan tindak kejahatan.
"Ini biasanya pada anak-anak yang umur sekitar tiga lima tahun, belum usia sekolah. Atau usia sekolah masih kelas satu dua, itu belum tahu kalau itu tidak boleh. Kenapa mereka tidak mengerti? Karena mungkin tidak diajari oleh orangtua dan pihak sekolah," ujar Baety.
Sehingga seringkali yang terjadi adalah anak tidak merasa trauma dan menganggap tindak kekerasan seksual tersebut merupakan hal biasa. Terlebih, korban bisa merasa ada keuntungan yang didapat seperti rasa nyaman dan sebagainya.
"Ini yang bahaya, korban enggak merasa sebagai korban. Ada hubungan kasih sayang antara korban dan pelaku. Seperti tadi, pelaku ada yang orang-orang dekat. Jadi tidak dipaksa, karena sayang," kata Baety.
"Karena dia merasa kok dia enggak dapat kasih sayang dari orangtuanya di rumah, tapi dengan pelaku dapat apa yang dia mau. Dia merasa pelakunya jadi teman curhat. Nah, ini bisa terjadi."
Advertisement