Liputan6.com, Jakarta Penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia masih belum sepenuhnya baik. Pasalnya, ada banyak aspek yang belum dipenuhi oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dalam hal fasilitas untuk korban kekerasan seksual.
Menurut Wakil Sekjen Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), dr Baety Adhayati, penting untuk masyarakat bersama-sama menyoroti dan mengkritisi alokasi dukungan pemerintah pada sistem penanganan korban kekerasan seksual di wilayah.
Baca Juga
"Kita tahu kalau program, itu ada anggaran. Nah tapi bukan cuma besaran anggaran yang penting, tapi sejauh mana alokasi anggaran itu ditujukan untuk penanganan korban? Apakah alokasi anggarannya sudah cukup mulai dari pencegahan, penanganan, hingga rehabilitasi. Jangan-jangan enggak cukup," ujar Baety dalam media briefing bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jumat (28/10/2022).
Advertisement
Selanjutnya Baety menjelaskan, penting pula memberikan alokasi anggaran untuk infrastruktur penanganan korban kekerasan seksual. Misalnya, menyediakan rumah aman dan fasilitas di rumah sakit.
"Karena penting juga kita menjaga kenyamanan dari korban. Kalau korban datang ke rumah sakit, kemudiand diperiksa dalam ruangan yang mungkin di IGD bersama yang lain, itu susah juga. Dia susah diperiksa karena malu, nanti dilihat yang lain, ketahuan," kata Baety.
"Idealnya satu fasilitas harus bisa menjaga hak-hak privasi dari korban. Seringkali belum semua rumah sakit atau fasilitas kesehatan punya ruangan khusus yang bisa membuat korban jauh lebih nyaman."
Kemudahan akses bagi korban untuk melapor melalui dinas terkait dengan melalui hotline pun masih perlu untuk disediakan. Termasuk dalam hal ini, masyarakat harus sepenuhnya tahu kemana mereka bisa melapor.
Ketersediaan Fasilitas Kesehatan yang Representatif
Lebih lanjut Baety mengungkapkan bahwa ketersediaan fasilitas untuk rehabilitasi korban maupun pelaku menjadi hal selanjutnya yang perlu untuk dipersiapkan. Hal ini lantaran saat mengalami kekerasan seksual, ada banyak risiko termasuk risiko penyakit yang bisa terjadi.
"Kemudian juga harus ada rehabilitasi psikososialnya. Nah, yang juga penting karena ini menghubungkan semua, korelasi atau keterhubungan. Dalam arti, kemudahan antara dinas terkait dengan fasilitas termasuk mudah konsultasi dengan dokter," kata Baety.
"Hubungan yang mudah koordinasi dengan aparat penegak hukum. Baik di tingkat kepolisian, kejaksaan, termasuk untuk pendampingan pengacara. Ini sebenarnya di era sekarang harusnya enggak sulit."
Menurut Baety, perlu untuk menyoroti masing-masing wilayah di Indonesia, sampai manakah sistem tersebut berjalan. Hal ini bertujuan untuk memeriksa apakah setiap wilayah sudah mumpuni atau justru punya banyak keterbatasan.
"Jika masih ada (keterbatasan) dan kita bisa kenali, sama-sama kita dorong biar itu terbentuk," ujar Baety.
Advertisement
Korban Kekerasan Seksual Takut Lapor
Dalam kesempatan yang sama, Baety mengungkapkan bahwa ada berbagai penyebab mengapa korban takut melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialaminya.
"Biasanya karena diancam, awas ya kalau lapor nanti disebarkan videonya. Itu banyak terjadi. Kemudian kalau lapor nanti mau dibunuh atau diancam orangtuanya nanti yang dibunuh," kata Baety.
Selain itu, bisa jadi faktor lain yang membuat korban takut melapor adalah pelaku ternyata merupakan orang yang dekat. Seperti ayah kandung atau ayah tiri.
"Bisa kadang-kadang justru lingkungan yang tidak kita sadari. Misal, seperti guru ngaji. Itu ternyata ada juga kasusnya. Jadi orang-orang yang korban percaya, yang sudah dekat," ujar Baety.
"Banyak orangtua-orangtua yang datang memeriksakan anaknya, kemudian ketika mereka mengetahui peristiwa yang terjadi itu mereka tidak nyangka, karena itu masih keluarga atau tetangga. Padahal orangnya kelihatan baik."
Peran Relasi Kuasa pada Kemampuan Korban Melapor
Selanjutnya, relasi kuasa menjadi faktor selanjutnya mengapa korban takut lapor. Dimana ada hubungan kuat antara pelaku dan korban, sehingga ada kendali dari pelaku terhadap korban.
"Kemudian stigma-stigma yang lazim ada di masyarakat. Pola pikir masyarakat yang menilai bahwa ketika seseorang menjadi korban kekerasan seksual, berarti sudah ada kerusakan di alat kelamin. Artinya dia sudah tidak perawan," kata Baety.
"Ya sudah, berarti kalau sudah tidak perawan, masa depannya hancur. Ini banyak diungkap oleh orangtua korban kekerasan seksual anak," kata Baety.
Padahal menurut Baety, masalah perawan dan tidak perawan bukanlah sesuatu yang penting untuk masa depan seseorang. Apalagi pada kasus anak yang masih punya potensi untuk berkembang, termasuk pada struktur selaput daranya.
"Inilah hal-hal yang menjadi stigma di masyarakat. Sehingga kebanyakan korban atau justru keluarga yang diharapkan menjadi pelapor, apalagi kalau korbannya anak-anak, justru tidak melapor," pungkasnya.
Advertisement