Sukses

Laporan Kekerasan Seksual Naik di Awal Pandemi COVID-19

Laporan dari korban kekerasan seksual meningkat ke Akara Perempuan saat pandemi COVID-19. Belum lagi kasus yang terlapor pada KemenPPPA.

Liputan6.com, Jakarta - Kekerasan seksual masih menjadi problematika yang menghantui masyarakat. Tak sedikit korban yang mengalami kesulitan untuk melapor, memilih bungkam, dan berlalu dengan apa yang dialaminya.

Meski tak semua melapor, catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan lembaga pendampingan perempuan korban kekerasan Akara Perempuan masih bisa untuk mewakili rekam jejak korban kekerasan seksual lewat laporan yang masuk.

Siti Hajar Rahmawati, pendamping psikologi di Akara Perempuan mengungkapkan bahwa pada awal pandemi COVID-19, tepatnya pada 2020, laporan kekerasan seksual ke Akara Perempuan justru meningkat.

"Nah, yang menariknya, tahun 2020 kasus kekerasan seksual yang masuk ke kami ada 18 kasus. Tetapi 18 kasus itu hanya dari bulan Juli sampai Desember 2020. Itu sudah banyak banget," ujar Rahma dalam media briefing bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jumat (28/10/2022).

"Karena di 2021, 18 kasus itu dalam satu tahun. Sedangkan di 2020, 18 kasus itu setengah tahun. Jadi itu lonjakan yang besar padahal telah terjadi COVID-19 yang sedang tinggi-tingginya pada waktu itu."

Menilik data KemenPPPA sendiri, tercatat ada sebanyak 11.952 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang 2021. Ternyata, 7.004 kasus atau 58,6 persen diantaranya merupakan kekerasan seksual.

Tak berhenti di sana, data KemenPPPA pun menemukan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 8.478 laporan pada 2021, dan 1.272 kasus diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual.

Seperti yang terlihat, ribuan kasus memang telah tercatat. Namun faktanya masih banyak kasus kekerasan seksual lain yang tidak dilaporkan oleh korban.

2 dari 4 halaman

Fenomena Gunung Es pada Kasus Kekerasan Seksual

Wakil Sekjen Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), dr Baety Adhayati mengungkapkan bahwa kasus kekerasan pada perempuan maupun anak khususnya kasus seksual berjalan seperti fenomena gunung es.

"Data yang terjadi ini hanyalah puncaknya saja. Jadi fenomena gunung es, masih banyak kasus-kasus lain yang belum terdata karena banyak kendala," ujar Baety.

Baety menjelaskan, kendala yang dimaksud antara lain adalah korban tidak mau melapor, tidak tahu mau lapor kemana, dan infrastruktur di wilayah korban belum sepenuhnya bisa menjangkau korban.

Selain itu, ada pula faktor yang membuat korban menjadi takut untuk melapor. Menurut Baety, ada berbagai penyebab mengapa korban takut melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialaminya.

"Biasanya karena diancam, awas ya kalau lapor nanti disebarkan videonya. Itu banyak terjadi. Kemudian kalau lapor nanti mau dibunuh atau diancam orangtuanya nanti yang dibunuh," kata Baety.

3 dari 4 halaman

Korban Tidak Menyadari Dirinya Korban

Dalam kesempatan yang sama, Baety mengungkapkan bahwa bukan hanya faktor takut melapor, melainkan ada faktor lainnya yang menyebabkan korban tidak melapor. Salah satunya karena tidak mengerti bahwa yang dialaminya merupakan tindak kejahatan.

"Ini biasanya pada anak-anak yang umur sekitar tiga lima tahun, belum usia sekolah. Atau usia sekolah masih kelas satu dua, itu belum tahu kalau itu tidak boleh. Kenapa mereka tidak mengerti? Karena mungkin tidak diajari oleh orangtua dan pihak sekolah," ujar Baety.

Sehingga seringkali yang terjadi adalah anak tidak merasa trauma dan menganggap tindak kekerasan seksual tersebut merupakan hal biasa. Terlebih, korban bisa merasa ada keuntungan yang didapat seperti rasa nyaman dan sebagainya.

"Ini yang bahaya, korban enggak merasa sebagai korban. Ada hubungan kasih sayang antara korban dan pelaku. Seperti tadi, pelaku ada yang orang-orang dekat. Jadi tidak dipaksa, karena sayang," kata Baety.

"Karena dia merasa kok dia enggak dapat kasih sayang dari orangtuanya di rumah, tapi dengan pelaku dapat apa yang dia mau. Dia merasa pelakunya jadi teman curhat. Nah, ini bisa terjadi."

4 dari 4 halaman

Pentingnya Pendampingan untuk Korban

Rahma mengungkapkan bahwa belum lagi jika korban tidak mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekatnya. Sehingga banyak korban yang ia dampingi tidak menceritakan kasus atau keadaan yang mereka alami ke orang terdekat.

"Padahal support system terpenting adalah orang-orang terdekat. Maka ketika kami melakukan pendampingan orangtuanya tidak tahu masalah ini, kami akan tanya ada teman yang bisa dipercaya atau tidak," ujar Rahma.

"Kalau keluarga enggak bisa membantu, harus ada paling enggak yang layer selanjutnya dari orang ini yang bisa ikut membantu dia."

Terlebih, dampak yang dialami orang korban kekerasan seksual bisa berkepanjangan. Dampaknya tak hanya psikis, namun juga bisa beralih ke fisik. Sehingga pendampingan menjadi poin penting untuk korban.

"Akibatnya bisa berkepanjangan. Entah psikis, entah fisik, atau keduanya. Nah ini lho, ini kenapa pentingnya ada pendampingan," kata Rahma.