Liputan6.com, Jakarta - Beberapa obat sirup mengandung senyawa kimia etilen glikol (EG) yang melebihi ambang batas aman beberapa waktu lalu ada di pasaran. Diduga kehadiran cemaran yang melebihi ambang batas itu yang menyebabkan gagal ginjal akut atau acute kidney injury (AKI) pada ratusan anak.
Beberapa pihak pun mengatalam Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) lalai dalam memastikan keamanan obat. Anggapan ini pun disanggah oleh Kepala BPOM Penny K. Lukito.
Baca Juga
Penny mengatakan pihak BPOM sudah menjalankan tugas sebaik-baiknya. Sebelum memberikan izin pada produk obat, BPOM terlibat dalam proses penelitian dan mendampingi para peneliti. Pendampingan dilakukan untuk memastikan apakah hasil penelitiannya bisa dihilirisasi menjadi produk atau tidak.
Advertisement
“Saat penelitian Badan POM terlibat mendampingi para peneliti untuk memastikan nanti hasil penelitian bisa dikembangkan dan dihilirasi menjadi produk. Industri farmasi belum bisa melakukan proses produksi sebelum dapat surat izin,” ujar Penny dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 28 Oktober 2022
Ia mengumpamakan bahwa ini sama halnya dengan mengemudi. Seseorang tidak diperbolehkan mengemudi sebelum memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).
“Kalau dia (industri) belum dapat CPOB (cara pembuatan obat yang baik) maka dicermati oleh Badan POM dulu. Kalau sudah dapat CPOB maka tanggung jawab sudah ada di industri bukan lagi di Badan POM.”
“Maka untuk perkara ini jangan ke Badan POM, kita lihat lebih jauh lagi. Ini sudah diberikan CPOB maka tanggung jawab sudah Anda industri untuk memproduksi sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan BPOM, nah mereka yang harus bertanggung jawab,” lanjut Penny.
Tugas BPOM
Penny menjelaskan tugas Badan POM mengawasi, me-review, dan melakukan quality assurance dari proses-proses tersebut.
“Dan ada satu titik yang kita temui terkait perkara ini, kandungan EG dan DEG ini masuk dari bahan baku yang bukan kendali Badan POM. Bukan Badan POM yang enggak mau mengendalikan, bukan. Aturan yang ada sekarang (bahan baku) masuk melalui sistem yang bukan melalui SKI (surat keterangan impor) BPOM.”
“Padahal, harusnya melalui SKI Badan POM karena dia digunakan untuk obat,” katanya.
Bahan baku obat harus memenuhi standar pharmaceutical grade. Sedangkan, banyak bahan pembantu pelarut atau kosolven seperti polietilen glikol yang hanya berupa bahan kimia biasa seperti yang biasa digunakan industri cat dan industri lainnya.
“Nah bisa jadi yang untuk industri cat masuk ke dalam industri farmasi dan tidak sesuai pharmaceutical grade. Karena tidak dalam kendali Badan POM, bukan karena Badan POM tidak mengendalikan.”
Advertisement
Telah Dilaporkan ke Presiden
Masalah ini telah dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan sudah didengar olehnya, kata Penny.
“Ini sudah kami usulkan ke Presiden, Presiden sudah mendengar dan sudah ditindaklanjuti. Bu Menteri Keuangan juga sudah mendengar dan sudah menindaklanjuti, untuk ke depan (impor bahan baku obat) akan melalui Badan POM.”
Ini merupakan salah satu upaya pencegahan agar kejadian yang sama tidak terulang di kemudian hari. Ditambah langkah berikutnya yakni perbaikan standar.
“Standar di mana Badan POM bisa melakukan pengawasan terhadap produk-produk yang sudah pasti mengandung pelarut tersebut dan disinyalir bisa jadi mengandung cemaran tersebut. Tapi sekarang ini memang belum ada (standarnya). Secara internasional pun belum ada.”
Meski begitu, kejadian ini bisa dijadikan pelajaran untuk Indonesia segera memperbaiki standar tersebut.
“Kalaupun secara internasional enggak ada, tapi kita sebagai suatu negeri sudah melalui permasalahan ini, kita harus bisa menciptakan sendiri standar baru itu. Jadi itu yang kami usulkan juga.”
Bukan Hanya Tanggung Jawab BPOM
Lebih lanjut Penny mengatakan, sistem jaminan keamanan mutu dari obat bukan hanya tanggung jawab BPOM.
“Sistem jaminan keamanan mutu dari obat itu bukan hanya Badan POM saja, tapi ada industri, dia yang memproduksi. Dia memiliki kewajiban untuk quality control dari mulai bahan baku masuk kemudian dalam produksinya. Quality control dan quality assurance itu ada di industri,” kata Penny.
Jika industri obat tidak melakukan kontrol-kontrol tersebut maka mereka harus bertanggung jawab, kata Penny.
“Nah, Badan POM melakukan pengawasan, menetapkan standar, me-review mulai dari pre market, post market. Jadi kami sudah membangun sistem yang kuat dan melakukan pengawasan yang sangat ketat untuk obat ketimbang untuk kosmetik dan pangan.”
Ia menegaskan kembali bahwa tanggung jawab juga ada di produsen. Maka dari itu, pihaknya meminta pertanggungjawaban soal produk obat sirup dengan cemaran yang melebihi batas.
Advertisement