Liputan6.com, Jakarta Berdasarkan keterangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, subvarian Omicron baru yakni XBB telah terdeteksi di Indonesia. Sejauh ini, setidaknya sudah terdapat empat orang Indonesia yang terdeteksi terpapar oleh subvarian Omicron tersebut.
Kabar terkait varian XBBÂ mulanya dikonfirmasi oleh Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin. Kala itu, pria yang akrab disapa BGS menyebutkan bahwa varian XBB telah masuk dalam fase pemantauan oleh pihak Kemenkes RI.
Baca Juga
Juru Bicara Kemenkes RI, dr Mohammad Syahril mengungkapkan bahwa keempat pasien XBB di Tanah Air mengalami gejala ringan. Gejala yang dimaksud berupa batuk dan pilek, serta mereka pun melakukan isolasi mandiri.
Advertisement
"Pasien semuanya bergejala ringan seperti batuk dan pilek. Tapi semua pasien sudah sembuh dan mereka hanya melakukan isolasi mandiri, tidak dirawat di rumah sakit," kata Syahril dalam konferensi pers, Rabu, 26 Oktober 2022.
Syahril menjelaskan, varian XBB telah dilaporkan oleh 26 negara. Negara tetangga yang sebelumnya melaporkan lonjakan kasus akibat varian XBB adalah Singapura.
"Perkembangan varian Omicron XBB di Indonesia, sudah ada 26 negara yang melaporkan XBB ini, terutama negara tetangga kita Singapura. Di Indonesia hingga Selasa 25 Oktober kemarin, tercatat penambahan 3 kasus XBB Indonesia," kata Syahril.
Dengan adanya tambahan kasus itu, maka jumlah pasien dengan varian XBB di Tanah Air genap menjadi 4 orang. Keempat pasien berasal dari dua provinsi, satu dari Surabaya, dan tiga lainnya berasal dari DKI Jakarta.
"Sudah dilakukan penyelidikan epidemiologi ke kontak erat pasien tersebut dan sudah dilakukan pemeriksaan testing dan semuanya negatif," ujar Syahril.
2 Pasien PPLN, 2 Transmisi Lokal
Syahril mengungkapkan bahwa dua dari empat pasien XBB merupakan Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN) yang datang dari Singapura, sedangkan dua lainnya transmisi lokal. Keempat pasien XBB yang tercatat berjenis kelamin perempuan.
"Transmisinya yang Jakarta, dua non PPLN, satu PPLN diduga dari Singapura, Surabaya juga dari Singapura," ujar Syahril.
Lebih lanjut Syahril menjelaskan, varian XBB yang baru muncul dikatakan memang lebih cepat menular lagi daripada varian sebelumnya. Namun, tingkat fatalitasnya tidak lebih parah dari varian sebelumnya pula.
"Subvarian XBB ini memang dia cepat menular, seperti halnya sub-Omicron yang lalu. Cuma hanya tingkat fatalitas maupun angka kesakitan rumah sakit tidak terlalu tinggi," kata Syahril.
Menurut Syahril, virus SARS-CoV-2 memiliki tipikal dimana sering melakukan mutasi yang tingkat penyebarannya lebih cepat. Gejala yang muncul pada varian-varian baru pun hampir sama dengan varian yang sebelumnya telah ada.
"Sama gejalanya batuk, pilek, demam, badan lemah, dan seterusnya. Tapi tidak separah (yang sebelumnya), kemungkinan kenapa tidak parah itu salah satunya memang karena sifat atau spesifikasi virus itu dan adanya antibodi vaksin yang ada di dalam tubuh," ujar Syahril.
Advertisement
Muncul Varian Baru, Masih Efektifkah Vaksin COVID-19?
Hingga saat ini, vaksin COVID-19 yang diberikan dianggap masih efektif untuk menghadang segala varian baru yang muncul termasuk XBB. Meskipun varian XBB memiliki kemampuan untuk menghindar dari imunitas seseorang (immune escape).
Syahril menjelaskan bahwa daya immune escape setiap adanya mutasi memang akan lebih tinggi. Itulah mengapa masyarakat perlu melakukan vaksin booster agar imunitas tubuhnya lebih tinggi lagi.
"Setiap terjadi mutasi, maka daya immune escape-nya lebih tinggi. Sehingga dia bisa menghindar dari antibodi yang ada pada tubuh seseorang. Makanya kita mengharapkan adanya suatu vaksin booster dengan harapan itu bisa menjadi tameng berikutnya untuk meningkatkan antibodi seseorang," kata Syahril.
Namun, vaksinasi booster untuk masyarakat sendiri masih berada pada tahap tiga. Hanya tenaga kesehatan yang baru diperbolehkan untuk memperoleh booster keempat.
"Memang efektivitas vaksin ini (bertahan) hanya enam bulan. Tentu saja setelah enam bulan, harusnya ada peningkatan atau penambahan vaksinnya. Untuk itu, ini menjadi bahan kita. Tapi saat ini kita fokus dulu untuk mencapai booster pertama atau vaksin ketiga," ujar Syarhil.
Biang Kerok Kenaikan Kasus COVID-19?
Dalam kesempatan yang sama, Syahril mengungkapkan bahwa jika merujuk pada teori, maka umumnya kenaikan kasus COVID-19 harian memang akan terjadi setelah munculnya varian baru.
"Apabila terjadi lonjakan kasus, itu biasanya dikaitkan dengan adanya subvarian baru. Nah kenaikannya kan baru kemarin (25 Oktober), hari ini kita lihat dalam satu dua tiga hari," ujar Syahril.
"Kita Kementerian Kesehatan sudah bergerak untuk melakukan whole genome sequencing pada kasus-kasus, terutama yang di rumah sakit untuk melihat apakah memang subvarian XBB ini sudah mendominasi atau belum," tambahnya.
Syahril menjelaskan, jika memang tidak ada lonjakan akibat XBB, biasanya penambahan kasus disebabkan oleh banyaknya testing yang dilakukan. Mengingat semakin banyak testing yang dilakukan, maka akan semakin banyak pula penemuan kasus.
Advertisement