Liputan6.com, Jakarta - Menindaklanjuti adanya dugaan cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada produk obat sirup yang berpotensi menyebabkan gagal ginjal akut, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI akhirnya angkat bicara lagi.
"Kami sudah menyelesaikan seluruh pengujian tertulis dari produk obat 102 yang diberikan Kementerian Kesehatan," ujar Kepala BPOMÂ RI Penny K Lukito dalam konferensi pers Hasil Penindakan IF yang Memproduksi Sirup Obat TMS ditulis Selasa, (1/11/2022).
Baca Juga
Berdasarkan hasil pengujian, ada tiga produsen farmasi yang produknya memiliki cemaran EG dan DEG sangat tinggi. Jika dilihat dari daftar yang diberikan Kemenkes RI, terdapat dua industri yang produknya tercemar EG dan DEG.
Advertisement
"Ada dua industri yaitu PT Universal Pharmaceutical Industries dan PT Afi Pharma. Itu berdasarkan dari list 102 yang diberikan Kemenkes, kita mendapatkan dua industri yang tidak memenuhi standar (TMS)," kata Penny.
"Namun dengan pengembangan sampling, kemudian ditemukan lagi satu yaitu PT Yarindo Farmatama," tambahnya.
Penny mengungkapkan bahwa temuannya akan dikembangkan kembali. Hal tersebut lantaran menurutnya, ini merupakan tindak kejahatan kemanusiaan pada obat dan makanan. Sehingga BPOM akan melakukan tindakan lebih tegas lagi.
Cemaran EG dan DEG dalam produk obat sirup sebenarnya diizinkan. Namun, ada ambang batas yang diperbolehkan yakni tidak melebihi 0,1 mg/ml.
"Dari perluasan sampling dan pengujian produk sirup obat yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG, kami menemukan produk obat sirup paracetamol drop, paracetamol syrup rasa peppermint produksi PT Afi Pharma," ujar Penny.
Dikenakan Sanksi Pidana
Sehingga merespons hal ini, PT Afi Pharma menjadi produsen selanjutnya yang akan dikenakan sanksi berupa penarikan dan pemusnahan produk. Setidaknya ada 7 produk dari PT Afi Pharma yang kadar EG dan DEG-nya melebihi batas.
"Berdasarkan pengujiannya, kandungan dari produk dan bahan baku (dari produk PT Afi Pharma) sudah menunjukkan kandungan cemaran EG dan DEG melebihi ambang batas," kata Penny.
"Ada juga bahan baku yang menunjukkan kadar melebihi standar. Sehingga kami hold untuk seluruh produknya. Produk sediaan cair dari obat anak-anak, ini kami hold semuanya dan segera dikenakan sanksi administrasi."
Penny mengungkapkan bahwa perusahaan diberikan sanksi administratif berupa penghentian produksi, distribusi, penarikan barang, dan pemusnahan. Setelah itu, sertifikat keamanan dan izin edarnya pun dicabut.
Selain itu, Penny pun menegaskan jikalau BPOM memiliki catatan industri farmasi mana saja yang tingkat kepatuhannya tidak baik. Seperti PT Yarindo Farmatama yang akhirnya ketahuan tidak memenuhi ketentuan.
Advertisement
2 Produsen Lain Punya Cemaran EG dan DEG
Lebih lanjut Penny mengungkapkan bahwa ada dua perusahaan lagi yang produknya mengandung propylene glycol yang di dalamnya terdapat EG dan DEG di atas ambang batas.
"Dua industri farmasi yang diduga menggunakan pelarut propylene glycol yang mengandung EG-DEG di atas ambang batas yaitu PT Yarindo Farmatama yang beralamat di Serang, Banten dan Universal Pharmaceutical Industries yang beralamat di Medan, Sumatera Utara," ujar Penny.
Penny menjelaskan, barang bukti dari PT Yarindo Farmatama yang disita adalah bahan baku, produk jadi, bahan pengemas, dan dokumen penyerta.
Sedangkan dari Universal Pharmaceutical Industries yang disita adalah Unibebi Demam Sirup, Unibebi Demam Drop, Unibebi Cough Syrup, dan bahan baku propylene glycol produksi Thailand.
Kedua produsen tersebut nantinya juga akan dipidanakan karena terbukti tidak memenuhi standar (TMS). Selain itu, ada pula denda berupa uang yang akan dilayangkan pada keduanya.
Cemaran Jauh Melebihi Ambang Batas
PT Yarindo Farmatama sendiri menjadi salah satu produsen yang tidak melaporkan apabila dilakukan perubahan bahan baku obat, tidak melakukan kualifikasi pemasok supplier BBO (bahan baku obat), dan tidak melakukan pengujian sendiri pada bahan baku yang digunakan.
"Produk PT Yarindo yaitu Flurin DMP Sirup terbukti menggunakan bahan baku propilen glikol yang mengandung etilen glikol sebesar 48 mg/ml, di mana syaratnya harus kurang dari 0,1 mg/ml," ujar Penny.
Berdasarkan aturan yang berlaku, dua produsen tersebut akan dikenakan ancaman pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. Sedangkan dalam UU keamanan konsumen, produsen dapat dikenakan pidana paling lama 5 tahun dan denda sebanyak Rp2 miliar.
"Kalau nanti terbukti ada kaitannya dengan kematian, tentunya akan ada ancaman lain. Ada lain lagi kalau sudah terbukti," kata Penny.
Proses investigasi pada dua produsen tersebut akan tetap dilanjutkan dan dicari tahu kaitannya dengan kematian yang terjadi pada ratusan anak di Indonesia.
Advertisement