Sukses

Obat Sirup dengan Cemaran Tinggi Beredar di Pasaran, Pakar: Surveilan Produk Akhir Penting Dilakukan

Beredarnya produk obat sirup yang diduga menyebabkan gangguan ginjal akut atau acute kidney injury merupakan hal yang tak biasa.

Liputan6.com, Jakarta - Beredarnya produk obat sirup yang diduga menyebabkan gangguan ginjal akut atau acute kidney injury (AKI) merupakan hal yang tak biasa.

Bahkan, epidemiolog sekaligus peneliti keamanan dan ketahanan kesehatan global Dicky Budiman merasa terkejut dengan temuan obat sirup yang cemarannya 100 kali dari batas aman.

“Adanya kasus seperti ini sebenarnya mengagetkan saya sebagai peneliti keamanan dan ketahanan kesehatan global. Karena, produk akhir yang ada di masyarakat itu tidak bisa hanya dipercayakan bahwa itu pasti sesuai dengan standar dan prosedur,” ujar Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara, Rabu (2/11/2022).

“Yang namanya surveilan seperti sampling itu penting dilakukan untuk mendeteksi dan menjadi alat ukur dan monitoring di lapangan dan di masyarakat tentang kualitas, kandungan, keamanan dari produk obat dan makanan itu,” tambahnya.

Pemantauan seperti ini dilakukan di negara-negara maju. Jika Indonesia tidak melakukan hal serupa, maka akan berbahaya, kata Budi.

“Apalagi di kita saya melihat dalam quality assurance itu diserahkan secara mandiri pada masing-masing perusahaan. Sedangkan, yang menjadi isu klasik di Indonesia itu kan bicara pengawasan internal, sektor yang lemah, konsistensi, kedisiplinan itu kan jadi itu. Kejadian ini memperjelas kelemahan itu.”

Hal-hal seperti ini harus diperbaiki, kata Dicky. Selain itu, pihak yang terlibat dalam obat-obatan ini seharusnya bukan hanya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tapi juga lembaga lain. Termasuk Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, dan Bea Cukai.

2 dari 4 halaman

Pertanggungjawaban Kinerja

Dicky menambahkan, dalam kejadian seperti ini, akuntabilitas kinerja atau pertanggungjawaban kinerja dituntut. Terutama Badan POM karena ini berbicara soal masalah kualitas obat dan peredarannya.

“Tapi di sini juga tidak lepas Kementerian Kesehatan karena ada fungsi farmasi. Dalam konteks ini, apalagi kita lihat kandungannya luar biasa tinggi, 100 kali lipat dari batas cemaran, kalau begitu ini bukan lagi cemaran, ada potensi unsur kelalaian dan kesengajaan.”

Dugaan kelalaian dan kesengajaan ini perlu dipastikan dengan mencari sumber masalah, entah di produsen, importir, atau regulatornya.

“Ini tidak hanya bisa dilihat dari satu sisi, pihak-pihak lain harus dicari tahu keterlibatannya, tapi tentu leading sector-nya adalah Badan POM.”

3 dari 4 halaman

Dukung Status KLB

Mengingat kasus ini tidak biasa, Dicky menyarankan pemerintah untuk menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) pada gangguan ginjal akut.

KLB gangguan ginjal akut berbicara soal tata kelola suatu insiden atau kejadian krisis kesehatan publik, kata Dicky.

“Ini bicara suatu respons terhadap suatu kejadian luar biasa yang tentunya kalau bicara kejadian luar biasa harus direspons secara luar biasa ya dengan status itu (KLB).”

KLB juga bicara soal akuntabilitas kinerja dari lembaga-lembaga negara yang bertanggung jawab dalam urusan seperti ini. Dalam hal ini, lembaga yang dimaksud Dicky adalah Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Namun, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa KLB hanya untuk penyakit menular.

"Sebenarnya, KLB didesain awalnya untuk penyakit menular dan ini (gagal ginjal akut) bukan penyakit menular," tegas Budi Gunadi saat ditemui Health Liputan6.com di sela-sela acara 'G20 2nd Health Ministers Meeting' di Hotel InterContinental Bali Resort, Bali pada Jumat, 28 Oktober 2022.

Pernyataan ini pun ditanggapi oleh Dicky, menurutnya KLB hanya untuk penyakit menular adalah hal kuno.

“Kalau KLB hanya untuk penyakit menular itu sudah kuno. Kita mundur puluhan tahun,” kata Dicky.

Sebelum gangguan ginjal akut, bahkan sebelum COVID-19 muncul, Indonesia pernah punya KLB untuk kasus gizi buruk pada 2018. KLB ini diterapkan setelah adanya desakan publik.

4 dari 4 halaman

Kriteria Penetapan KLB

Status KLB memang tidak sembarangan diterapkan pada suatu kejadian. Ada kriteria atau indikasi tersendiri yang perlu dipenuhi. Menurut Dicky, kriteria ini cukup sederhana.

“Sederhana saja menurut epidemiologi, yakni adanya kejadian kesakitan dan atau kematian yang tidak lazim dan meningkat signifikan.”

Sedangkan, merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI No 1501 tahun 2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan, ada 7 kriteria penetapan KLB.

Dalam pasal 6 dituliskan, suatu daerah dapat ditetapkan dalam keadaan kejadian luar biasa, apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:

- Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.

- Peningkatan kejadian penyakit terus-menerus selama 3 kurun waktu dalam jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya.

- Peningkatan kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya.

- Jumlah penderita baru dalam periode satu bulan menunjukan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.

- Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama satu tahun menunjukan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya.

- Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam satu kurun waktu menunjukan kenaikan 50 persen atau lebih.

- Angka proporsi penyakit (proportional rate) penderita baru pada satu periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.

“Kalau merujuk Permenkes-nya di pasal 6, dari 7 kriteria, 6 sudah terpenuhi,” kata Dicky.