Sukses

30-an Kasus Meninggal Akibat COVID-19, Epidemiolog: Angka Kematian Indikasi Keparahan Situasi

Selama tiga hari berturut-turut, angka kematian COVID-19 selalu melebihi angka 30 per harinya. Epidemiolog Dicky Budiman mengungkapkan bahwa angka kematian sebenarnya dapat menjadi indikasi dari keparahan situasi yang terjadi.

Liputan6.com, Jakarta Sudah dua hari kasus COVID-19 harian di Indonesia melebihi angka empat ribu. Bahkan, data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI per 2 November 2022 menunjukkan penambahan hampir lima ribu kasus atau tepatnya sebanyak 4.873 kasus.

Begitupun pada sehari sebelumnya, COVID-19 harian bertambah sebanyak 4.707 kasus. Diduga, kenaikan kasus terjadi akibat masuknya XBB atau subvarian Omicron baru yang hingga kini sudah terdeteksi pada 8 orang WNI.

Di samping naiknya kasus harian COVID-19, hal lain yang mengkhawatirkan adalah naiknya angka kematian di Tanah Air. Selama tiga hari berturut-turut, angka kematian COVID-19 selalu melebihi angka 30 per harinya.

Total angka kematian sejak 31 Oktober - 2 November mencapai 98 jiwa. Merespons itu, Epidemiolog Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia sekaligus Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global, Dicky Budiman mengungkapkan, sebenarnya angka kematian merupakan indikasi keparahan situasi.

"Ini situasi yang semakin mengkhawatirkan, karena dengan modal imunitas yang jauh lebih baik dibandingkan ketika Delta atau bahkan Omicron. Tentu ini harus menjadi kewaspadaan bersama," ujar Dicky pada Health Liputan6.com, Kamis (3/11/2022).

"Kematian menunjukkan indikasi adanya keparahan dari satu situasi. Kali ini yang kita hadapi ini adalah XBB. Kemungkinan besar dalam dugaan saya, kasus-kasus ini adalah kasus XBB."

Menurut Dicky, varian XBB datang di tengah cakupan vaksinasi booster yang masih terbatas dan jauh lebih rendah daripada Singapura. Terlebih, varian satu ini punya kemampuan menerobos imunitas tubuh manusia (immune escape).

2 dari 4 halaman

Kasus yang Dilaporkan Biasanya Lebih Kecil

Lebih lanjut Dicky mengungkapkan bahwa angka kematian yang dilaporkan kemungkinan jumlahnya lebih kecil daripada apa yang terjadi sebenarnya. Sehingga penting untuk menjadikan kondisi saat ini sebagai bentuk kewaspadaan.

"Jadi bila bicara pada konteks saat ini, satu kematian kalau dulu mewakili beberapa ratus infeksi, sekarang ini bisa mewakili katakanlah seribu atau 500 infeksi yang ada di masyarakat," kata Dicky.

"Artinya ini yang kita temukan atau pemerintah temukan itu jauh lebih kecil. Jadi ini yang harus jadi kewaspadaan," tambahnya.

Dicky menjelaskan, berkaca pada Singapura yang angka kematiannya kecil, sebenarnya kasus infeksi yang terjadi lebih banyak. Hanya saja mungkin kematiannya tidak terdeteksi yang paling aktualnya di masyarakat.

Data di Singapura sendiri menunjukkan bahwa penambahan kasus per 2 November 2022 sebanyak 4.086 jiwa. Sedangkan yang meninggal dunia hanya 2 orang. Tak hanya itu, menurut Dicky, hal ini juga bisa menggambarkan sistem kesehatan yang lemah.

"Kedua bila dalam sistem kita, menggambarkan lemahnya sistem kesehatan kita. Sedikit sekali perbaikannya dari sejak mengawali pandemi ini," ujar Dicky.

3 dari 4 halaman

Bahaya Infeksi COVID-19 Lebih dari 2 Kali

Dalam kesempatan yang sama, Dicky mengungkapkan bahwa hal lain yang menjadi kekhawatiran adalah bila adanya infeksi COVID-19 lebih dari dua kali, termasuk pada mereka yang berusia lebih muda.

"Sebagian masyarakat yang saat ini meskipun usia relatif muda, ketika dia sudah lebih dua kali terinfeksi subvarian sebelumnya, itu lebih rawan. Dia posisinya bisa sama seperti posisi lansia dan komorbid," kata Dicky.

"Karena apa? Karena orang yang berkali-kali terinfeksi ini menurun daya tahan tubuhnya. Itu riset menunjukkan itu. Jadi potensi adanya peningkatan kasus kematian menjadi lebih tinggi ketika modal imunitas dengan upaya vaksinasi booster terlambat dilakukan," tambahnya.

Belum lagi, menurut Dicky, upaya deteksi dini COVID-19 pun masih lemah dilakukan. Serta, adanya penurunan kedisiplinan pada protokol kesehatan seperti 5M.

"Jadi ini PR besar, tantangan besar meskipun tentu tidak akan menyamai seperti Delta. Tapi sekali lagi, kerawanan ini relatif jauh lebih tinggi ketika kedatangan bahkan Omicron awal, BA.1 dan BA.2," ujar Dicky.

4 dari 4 halaman

Kenaikan Kasus COVID-19, Akibat XBB?

Sebelumnya, Juru Bicara Kemenkes RI, dr Mohammad Syahril mengungkapkan bahwa jika merujuk pada teori, maka umumnya kenaikan kasus COVID-19 harian memang akan terjadi setelah munculnya varian baru.

"Apabila terjadi lonjakan kasus, itu biasanya dikaitkan dengan adanya subvarian baru," ujar Syahril dalam konferensi pers pada Rabu, 26 Oktober 2022.

"Kita Kementerian Kesehatan sudah bergerak untuk melakukan whole genome sequencing pada kasus-kasus, terutama yang di rumah sakit untuk melihat apakah memang subvarian XBB ini sudah mendominasi atau belum," tambahnya.

Syahril menjelaskan, jika memang tidak ada lonjakan akibat XBB, biasanya penambahan kasus disebabkan oleh banyaknya testing yang dilakukan. Mengingat semakin banyak testing yang dilakukan, maka akan semakin banyak pula penemuan kasus.

"Perkembangan varian Omicron XBB di Indonesia, sudah ada 26 negara yang melaporkan XBB ini, terutama negara tetangga kita Singapura," kata Syahril.