Sukses

Kasus Gagal Ginjal Akut, BPOM - Kemenkes Dorong Produksi Bahan Pelarut Obat

BPOM dan Kemenkes mendorong kemandirian produksi bahan pelarut obat dalam negeri.

Liputan6.com, Jakarta Berkaca dari kasus gagal ginjal akut, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia mendorong kemandirian produksi bahan pelarut obat dalam negeri. Sebab, mayoritas bahan baku pelarut obat masih impor.

Hal di atas disampaikan Kepala BPOM RI Penny K. Lukito. Bahwa pentingnya kemandirian dalam memproduksi bahan pelarut obat, khususnya Propilen Glikol (PG) maupun Polietilena Glikol (PEG) yang menjadi tambahan pada obat sirup.

Apalagi disebut-sebut, para pelaku industri farmasi mencari dan menggunakan bahan pelarut obat lebih murah, yang diakibatkan kondisi pandemi COVID-19. Untuk diketahui, bahan pelarut obat seperti PG dan PEG tak hanya digunakan di industri farmasi saja, melainkan industri lain, misal kosmetik.

Harga bahan pelarut tersebut juga terdapat perbedaan antara yang digunakan pada industri farmasi yang masuk kategori pharmaceutical grade dan industri lain yang istilahnya industrial grade.

Contohnya, Propilen Glikol harus melalui proses pemurnian sesuai standar pharmaeutical grade agar aman. Tujuannya, untuk mengantisipasi munculnya cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang melebihi ambang batas.

"Ada satu hal lain lagi dikaitkan dengan kemandirian dari bahan baku obat. Pemerintah dalam hal ini, sedang mendorong bersama Kementerian Kesehatan sebagai leading sector dikaitkan dengan aspek kemandirian obat dan bahan baku obat," ucap Penny saat Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR di Gedung DPR RI, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta pada Rabu, 2 November 2022

"Saya kira karena pelarut PG dan PEG ini betul-betul impor dari luar ya."

2 dari 4 halaman

Jamin Mutu Bahan Pelarut

Penny K. Lukito membeberkan terjadi perbedaan harga yang sangat tajam antara bahan pelarut obat kategori pharmaceutical grade dan industrial grade. Salah satunya, gejolak akibat pandemi COVID-19 yang membuat sejumlah pihak memanfaatkan dengan tidak baik.

"Salah satu penyebabnya adalah kemungkinan karena adanya di masa-masa pandemi COVID-19, ada perbedaan harga-harga, harganya jadi mahal. Sehingga menyebabkan kesempatan tersebut dimanfaatkan dengan tidak baik," ungkapnya.

Alhasil, upaya kemandirian memproduksi bahan pelarut obat dalam negeri menjadi langkah baik. Keamanan mutu pun dapat lebih terjamin dan diawasi oleh BPOM.

"Nah, mungkin membangun produksi dalam negeri dari bahan baku pelarut Propilen Glikol (PG) dan Polietilena Glikol (PEG) adalah sesuatu hal yang bisa kita lakukan untuk membangun kemandirian dan memastikan keamanan mutunya," imbuh Penny.

"Satu hal yang perlu saya sampaikan juga dikaitkan dengan industri farmasi, saya kira ini bisa menjadi pertimbangan ke depan dalam pembelian obat, pengadaan obat untuk mempertimbangkan, memasukkan juga aspek otoritas dari industri farmasinya."

3 dari 4 halaman

Wajib Validasi Bahan Pelarut

Pada konferensi pers 31 Oktober 2022, Kepala BPOM RI Penny K. Lukito mengungkapkan, ada tiga industri farmasi sengaja mengganti bahan baku (pelarut) obat sirup mereka dengan yang lebih murah. Perubahan ini memicu adanya cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) jauh di ambang batas aman.

Bahan baku pelarut yang dimaksud, salah satunya Propilen Glikol (PG) maksimal 0,1 mg/ml.

"Karena memang akan ada perbedaan harga yang mencolok sekali, antara yang pharmaceutical grade dengan yang industrial grade. Jadi, pelarut berupa Propilen Glikol harus melalui proses pemurnian sesuai standar pharmaeutical grade agar aman," terang Penny di PT Yarindo, Serang, Banten.

"Hal ini untuk mengantisipasi munculnya cemaran berlebih seperti Etilen Glikol dan Dietilen Glikol. Misalnya pada standar bahan baku pelarut obat sirup, dibolehkan ada kandungan Propilen Glikol (PG) maksimal 0,1 mg/ml."

Setiap produsen yang mendatangkan bahan baku tambahan tersebut, lanjut Penny, wajib memvalidasi dan melakukan pengujian secara mandiri untuk memeroleh ketentuan ambang batas aman.

"Bahkan sebelumnya, mereka harus datang sendiri ke pemasoknya, apakah mereka memiliki sertifikat cara distribusi obat yang baik, memenuhi ketentuan pharmaceutical grade," katanya.

Adapun tiga industri farmasi yang diduga melanggar aturan dan mendapat sanksi pidana antara lain:

  1. PT Yarindo Farmatama yang beralamat di Cikande, Serang, Banten
  2. PT Universal Pharmaceutical Industries (Unipharma) yang beralamat di Tanjung Mulya, Medan, Sumatera Utara
  3. PT Afi Farma di Kediri, Jawa Timur
4 dari 4 halaman

Laporkan Perubahan ke BPOM

Industri farmasi juga harus memiliki kewajiban melakukan pengujian kualitas bahan baku untuk memastikan tidak ada bahan cemaran yang mengancam keselamatan pasien.

"Industrial grade bisa saja digunakan sebagai bahan pelarut cat dan lainnya, mungkin lebih murah karena tidak harus melalui sistem purifikasi -- proses pemurnian -- yang tingkatnya tinggi," Penny K. Lukito menambahkan.

Salah satu kesalahan dalam pemanfaatan bahan baku Propilen Glikol (PG) sebagai pelarut obat sirup terbukti pada sejumlah produk yang diproduksi tiga perusahaan farmasi swasta di Indonesia.

Yakni produk Flurin DMP produksi PT Yarindo Farmatama, produk Unibebi untuk demam dan batuk produksi PT Universal Pharmaceutical Industries, dan Paracetamol produksi PT Afi Pharma.

Dijelaskan kembali oleh Penny, produk obat di atas dari tiga industri farmasi terbukti melalui uji klinik mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang diduga terkait dengan kasus gangguan ginjal akut.

​​​​​​Jika produsen memutuskan untuk mengganti distributor atau formula obat harus dilaporkan ke BPOM untuk diverifikasi sebelum diberikan izin baru.

"Perubahan variasi minor dari produksi obat harus ada izin baru lagi. Itu tidak dilakukan mereka (tiga industri farmasi)," pungkas Penny.