Liputan6.com, Jakarta Hanya jeda satu hari, bertambah data soal anak yang mengalami gagal ginjal akut atau Gangguan Ginjal Akut Atipikal Progresif (GgGAPA) di Tanah Air.
Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia per 1 November 2022, sudah ada 325 kasus gagal ginjal akut yang didominasi anak 1-5 tahun. Dari angka itu, saat ini 48 anak tengah menjalani perawatan. Sebelumnya, tercatat 304 kasus per 31 Oktober 2022.
Baca Juga
Jika melihat sebaran kasus, DKI Jakarta mencatatkan kasus tertinggi. Disusul provinsi lain seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Banten. Serta beberapa provinsi di luar Pulau Jawa.
Advertisement
"Data per kemarin (1 November), kita bisa monitor ada 325 kasus ginjal akut di seluruh Indonesia dan memang konsentrasi di beberapa provinsi tertentu, khususnya di daerah Sumatera Utara, di daerah Jawa bagian barat, bagian timur, dan juga daerah Sulawesi Selatan," papar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Dari 325 kasus gagal ginjal akut, nestapa harus dialami lebih dari setengah orangtua. Hal ini lantaran 178 anak meninggal dunia gegara penyakit tersebut. Meski begitu, angka kematian ini dinilai menurun ketimbang beberapa waktu lalu.
"Kita juga melihat meninggalnya sekarang 178 dari 325 kasus atau sekitar 54 persen. Ini sudah menurun dari kondisi sebelumnya, yang sempat mencapai hampir 60 persen," dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR di Gedung DPR RI, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta pada Rabu, 2 November 2022.
Penurunan kasus gagal ginjal akut terjadi usai pihaknya melakukan upaya konservatif meminta dokter dan apotek menyetop meresepkan dan menjual obat sirup pada 18 Oktober 2022. Anjuran itu dilakukan karena saat itu diduga kejadian tersebut akibat kandungan zat berbahaya yang melebihi ambang batas dari obat sirup yang dikonsumsi anak.
"Bahwa sesudah kita melakukan pelarangan obat sirup, jumlah kasusnya kita lihat dari 7 days moving average sudah menurun drastis," jelasnya.
Sejak aturan tersebut berlaku, penambahan kasus baru gagal ginjal akut saat ini di angka lima, empat atau satu kasus.
"Sejak tanggal 18 Oktober dan juga tanggal 28 Oktober dikeluarkannya rilis dan penggunaan obat yang aman, terjadi suatu penurunan penambahan kasus baru," kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril pada konferensi pers 1 November.
Fomepizole Turunkan Angka Kematian
Melihat kasus yang terus bertambah dan angka kematian yang tinggi, Kementerian Kesehatan melibatkan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), epidemolog, farmakolog, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melakukan pembahasan pada 17 Oktober 2022. Pertemuan membahas upaya menekan kematian pada pasien gagal ginjal akut. Pemberian Fomepizole kepada pasien menjadi salah satu solusi.
Upaya pemerintah untuk mencari Fomepizole yang merupakan penawar racun etilen glikol berujung baik. Penggunaan obat Fomepizole mampu menurunkan angka kematian akibat kasus gagal ginjal akut atau Gangguan Ginjal Akut Atipikal Progresif (GgGAPA).
"Kita sudah tahu penyebabnya kira-kira apa, faktor risiko terbesar untuk penyakit ini ya kita cari obatnya, kita temui, kita terapkan dan sekali lagi mendukung hipotesis kami," jelas Budi Gunadi saat Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR di Gedung DPR RI, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta pada Rabu, 2 November 2022.
Pemberian Fomepizole langsung menurunkan level kematian anak yang mengalami gagal ginjal akut. "Ini juga mendukung faktor risiko terbesar, penyebabnya berasal dari senyawa kimia yang ada di obat-obatan dan sesuai dengan penemuan WHO pada tanggal 5 Oktober 2022," kata Budi.
Bila mengacu data di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, 95 persen pasien gagal ginjal akut di sana menunjukkan perkembangan yang terus membaik usai diberikan Fomepizole.
Sempat disampaikan bahwa 10 dari 11 pasien gagal ginjal akut di RSCM yang diberi Fomepizole mengalami perbaikan. Anak-anak tersebut sudah dapat mengeluarkan air kecil atau air seni. Lalu, hasil pemeriksaan laboratorium, kadar etilen glikol dari 10 anak tersebut sudah tidak terdeteksi zat berbahaya,
"Obat ini teruji sangat baik, dari 11 pasien (gagal ginjal akut) yang diberikan pengobatan Fomepizole, ada 10 yang memberikan perbaikan klinis bermakna," kata Syahril.
Bukan Komersialisasi Obat
Hingga saat ini sudah 246 vial Fomepizole yang diterima Indonesia dengan rincian 200 vial merupakan hibah dari PT Takeda Indonesia dan 16 vial hibah dari Australia. Lalu, pemerintah membeli 30 vial Fomepizole dari Singapura.
Pemerintah Indonesia tidak memungut biaya pemberian Fomepizole. Obat ini diberikan secara gratis kepada pasien gagal ginjal akut.
Melihat 87 persen Fomepizole merupakan hibah, Kemenkes menegaskan bahwa tidak ada komersialisasi pada obat yang satu vialnya senilai Rp16 juta ini.
"Kami sampaikan tidak ada komersialiasi obat-obatan oleh Kemenkes, tetapi semata mata hanya untuk menyelamatkan anak anak," kata Syahril.
Saat ini, sudah sebanyak 17 rumah sakit di 11 propinsi yang mendapatkan distribusi Fomepizole.
Advertisement
Penyebab Gagal Ginjal Akut
Pertanyaan mendasar mengenai penyebab lonjakan kasus gagal ginjal akut sejak akhir Agustus 2022 dijawab Budi Gunadi di hadapan Komisi IX DPR secara rinci. Ia menjelaskan bahwa faktor risiko terjadinya kenaikan signifikan kasus gagal ginjal akut pada anak terkait dengan cemaran senyawa berbahaya dalam obat yang dikonsumsi anak.
Ada beberapa alasan yang membuat Budi mengerucut ke keracunan obat. Pertama, pemerintah sudah melakukan tes urine dan darah di sejumlah pasien, hasilnya menunjukkan kandungan tiga zat toksik EG, DEG, EGBE. Ketika tiga zat ini masuk ke tubuh akan dimetabolisme menjadi asam oksalat yang ketika masuk ginjal akan menjadi kristal tajam yang merusak ginjal.
Kedua, pengecekan kepada seluruh pasien anak yang mengalami gagal ginjal akut. Pengecekan ditujukan untuk melihat, apakah terdapat senyawa EG/DEG/EGBE dan ternyata ada.
Ketiga, pemeriksaan senyawa Etilen Glikol (EG), Dietilen Glikol (DEG), dan Etilen Glikol Butil Ether (EGBE) ditujukan kepada obat sirup yang dikonsumsi pasien anak gagal ginjal akut. Hasilnya, obat sirup yang digunakan mengandung senyawa itu.
Keempat, hasil biopsi menunjukkan senyawa EG/DEG/EGBE masuk ke dalam tubuh anak yang membuat kerusakan ginjal.
"Terbukti darahnya, kita cek obat-obatannya ada di rumah ya lebih dari 50 persen anak-anak yang kena, terus kita cek biopsi dari pasien yang meninggalnya. Ada Etilen Glikol (EG), Dietilen Glikol (DEG), dan Etilen Glikol Butil Ether (EGBE) di semua anak," kata Budi.
Kelima, pemberian Fomepizole efektif membantu pasien gagal ginjal akut mengalami perbaikan bahkan menurunkan angka kematian. Fomepizole merupakan jenis antidotum atau antidot (antidote) sebagai penawar racun.
"Jadi, kalau ditanya penyebabnya apa, saya bilang penyebabnya sudah pasti. Maksudnya pasti, artinya faktor risiko paling besar yang menyebabkan anak meninggal itu keracunan obat ya, faktor terbesar," tegas Budi.
Lalu, di antara pasien yang meninggal baru-baru ini bisa saja bukan karena keracunan obat. Sebelum Agustus 2022, setiap bulan ada 1-2 pasien gagal ginjal akut. Selain karena keracunan obat, Budi menerangkan bahwa gagal ginjal akut pada anak bisa karena: infeksi, kelainan kongenital atau genetik, dehidrasi berat, bisa juga karena kehilangan darah.
"Penyakit ini selalu terjadi, bukan tidak pernah terjadi gitu. Tahun lalu, dua tahun yang lalu atau tiga tahun lalu selalu terjadi. Tapi karena memang jumlahnya tidak besar, ini menjadi insiden-insiden yang memang sama seperti penyakit lain dan ada korban."
Produk 3 Perusahaan Farmasi Terdapat Cemaran EG dan DEG Melebihi Batas
Melihat bahwa ada kandungan pelarut obat yang terdapat di tubuh pasien gagal ginjal akut, Kemenkes berkoordinasi dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI. Lalu, badan ini melakukan serangkaian pemeriksaan obat sirup untuk mengetahui mana yang aman dan mana tidak aman.
Hasil penelusuran BPOM menemukan ada tiga industri farmasi yang produknya memiliki cemaran obat yang tinggi. PT Yarindo Farmatama dan Universal Pharmaceutical Industries serta PT Afi Farma memiliki produk dengan kandungan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) melebihi ambang batas.
PT Afi Farma menjadi produsen selanjutnya yang dikenakan sanksi berupa penarikan dan pemusnahan produk. Setidaknya ada 7 produk dari PT Afi Farma yang kadar EG dan DEG-nya melebihi batas.
"Ada juga bahan baku yang menunjukkan kadar melebihi standar. Sehingga kami hold untuk seluruh produknya. Produk sediaan cair dari obat anak-anak, ini kami hold semuanya dan segera dikenakan sanksi administrasi," kata Penny dalam konferensi pers Hasil Penindakan IF yang Memproduksi Sirup Obat TMS, Senin, 31 Oktober 2022 di Serang, Banten.
Penny mengungkapkan bahwa perusahaan diberikan sanksi administratif berupa penghentian produksi, distribusi, penarikan barang, dan pemusnahan. Setelah itu, sertifikat keamanan dan izin edarnya pun dicabut.
Kepala BPOM, Penny Lukito mengatakan bahwa di beberapa produk terdapat kandungan cemaran etilen yang teramat tinggi.
"Melihat dari kadar konsentrasi EG dan DEG-nya sangat tinggi. Bukan hanya cemaran lagi, dari sumber bahan bakunya sudah mengandung bahan EG dan DEG sangat tinggi. Bukan cemaran lagi, tapi memang sudah keracunan."
Salah satu produk yang BPOM temukan dengan kadar EG terlampau tinggi adalah obat sirup Flurin DMP produksi PT Yarindo Farmatama.
"Produk PT Yarindo yaitu Flurin DMP Sirup terbukti menggunakan bahan baku propilen glikol yang mengandung etilen glikol sebesar 48 mg/ml, di mana syaratnya harus kurang dari 0,1 mg/ml," kata Penny.
Penny menjelaskan, PT Yarindo Farmatama tidak melaporkan apabila dilakukan perubahan bahan baku obat, tidak melakukan kualifikasi pemasok supplier BBO (bahan baku obat), dan tidak melakukan pengujian sendiri pada bahan baku yang digunakan.
Penny mengungkapkan tiga industri farmasi sengaja mengganti bahan baku (pelarut) obat sirup mereka dengan yang lebih murah. Perubahan ini memicu adanya cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) jauh di ambang batas aman. Bahan baku pelarut yang dimaksud, salah satunya Propilen Glikol (PG) maksimal 0,1 mg/ml.
"Karena memang akan ada perbedaan harga yang mencolok sekali, antara yang pharmaceutical grade dengan yang industrial grade. Jadi, pelarut berupa Propilen Glikol harus melalui proses pemurnian sesuai standar pharmaeutical grade agar aman," kata Penny.
Meski menemukan tiga produsen obat yang memiliki produk dengan cemaran EG, Penny mengatakan untuk saat ini memang belum bisa disebut bahwa obat sirup yang menjadi penyebab utama dari gagal ginjal akut.
Namun jika merujuk pada hasil, nampak ada kaitan antara obat sirup dan gagal ginjal akut yang terjadi.
"Tentunya kalau mengatakan semua kasus gagal ginjal dikaitkan dengan obat, itu belum bisa kita melangkah ke sana. Harus ada satu kajian epidemiologi secara khusus," kata Penny.
Advertisement
Usul Standar Cemaran EG dan DEG Produk Obat Masuk Farmakope
Terkait temuan bahan baku pelarut dalam pembuatan obat sirup yang memiliki cemaran amat tinggi, BPOM mengusulkan standar cemaran EG dan DEG dimasukkan ke dalam Farmakope Indonesia. Farmakope merupakan referensi yang berisi ketentuan umum, monografi sediaan umum, monografi bahan obat.
Saat ini, standar cemaran EG dan DEG belum masuk ke dalam ketentuan Farmakope Indonesia kategori produk jadi, khususnya obat sirup. Imbasnya, BPOM tidak bisa melakukan pengawasan produk jadi yang terkandung cemaran EG dan DEG.
"Nah, untuk obat dengan kandungan menggunakan pelarut Propilen Glikol (PG) dan Polietilena Glikol (PEG) yang patut diduga juga bisa ada kemungkinan ada cemaran EG dan DEG, kami tidak bisa melakukan pengawasan produk jadinya," jelas Penny saat Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR di Gedung DPR RI, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta pada Rabu, 2 November 2022.
"Karena belum ada standar yang ada dan ini berlaku internasional. Standar produksi obat yang disebut dengan Farmakope Internasional. Di kita namanya, Farmakope Indonesia."
Selaras dengan BPOM, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Zullies Ikawati mengatakan memang perlu ada tambahan regulasi terkait dengan cemaran EG dan DEG dalam suatu produk obat. Hal ini akan berguna untuk lebih menegaskan soal batasan yang diperbolehkan dan tidak.
"Juga ada tambahan regulasi terkait mengukur cemaran EG/DEG jika perlu pada produk jadi/final product," kata Zullies.
Selama ini, adanya kandungan EG dan DEG dalam suatu produk obat memang diperbolehkan. Hanya saja batasnya 0,1 mg/ml dari setiap produk. Sehingga bila melebihi kadar tersebut, maka kandungan ini akan menjadi cemaran yang membahayakan.
Lalu, perlu adanya regulasi baru yang mewajibkan para industri farmasi untuk memastikan kembali kualitas bahan baku yang digunakan. Industri farmasi tidak boleh hanya mengacu data dari supplier.
"Maksudnya perlu dibuat regulasi baru yang mewajibkan industri farmasi untuk memastikan lagi kualitas bahan bakunya, tidak hanya mengacu pada Certificate of Analysis (CoA) produk yang diperoleh dari supplier," ujar Zullies.
Dorong Kemandirian Produksi Pelarut Obat Dalam Negeri
Temuan obat sirup dengan pelarut yang memiliki cemaran EG amat tinggi dikaitkan dengan gagal ginjal akut pada ratusan anak Indonesia, membuat BPOM dan Kemenkes mendorong ada kemandirian produksi bahan pelarut obat dalam negeri. Sebab, mayoritas bahan baku pelarut obat masih impor.
Menurut BPOM, dengan bisa memproduksi bahan pelarut obat sirup sendiri maka keamanan mutu pun dapat lebih terjamin dan diawasi oleh BPOM.
"Nah, mungkin membangun produksi dalam negeri dari bahan baku pelarut Propilen Glikol (PG) dan Polietilena Glikol (PEG) adalah sesuatu hal yang bisa kita lakukan untuk membangun kemandirian dan memastikan keamanan mutunya," imbuh Penny.
"Satu hal yang perlu saya sampaikan juga dikaitkan dengan industri farmasi, saya kira ini bisa menjadi pertimbangan ke depan dalam pembelian obat, pengadaan obat untuk mempertimbangkan, memasukkan juga aspek otoritas dari industri farmasinya."
Advertisement
BPOM Harus Perbaiki Sistem
Kemenkes dan BPOM jadi dua leading sector dalam kasus gagal ginjal akut pada anak. Kemenkes selain merawat anak yang sakit gagal ginjal akut juga mencari tahu penyebab kasus ini meledak serta membuat regulasi diantaranya melarang sementara penjualan obat sirup. Sementara, BPOM terus melakukan penyelidikan soal obat mana yang aman dan mana yang berbahaya.
Lantas, apakah upaya-upaya yang dilakukan ini sudah tepat? Epidemiolog Pandu Riono menyampaikan sejauh ini upaya dua instansi itu sudah cukup.
“Saya kira penanganannya sampai sejauh ini cukup (tepat),” ujar Pandu kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Kamis (3/11/2020).
Pandu mengatakan pemerintah perlu mengetahui hal yang perlu dilakukan supaya mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Di sisi lain, pemerintah juga perlu memberikan empati kepada para korban dan keluarganya, tambah Pandu.
Terkait kinerja BPOM, Pandu mengatakan bahwa badan tersebut sudah melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Namun, meminta juga BPOM melakukan perbaikan dalam hal memastikan keamanan bahan baku obat.
“Tapi kan ternyata sistem yang dikembangkan sekarang tidak cukup, jadi harus ada perbaikan. Misalnya, siapa yang bisa memastikan bahan baku obat. Sebagian bahan obat di Indonesia kan diimpor dari luar dan zat kimia bisa sama, tapi zat kimia untuk obat harus lebih murni, kualitasnya harus jauh lebih tinggi.”
Memastikan kualitas bahan baku obat tidak bisa dilakukan oleh importir sembarangan. Harus oleh importir yang bisa memastikan bahwa bahan baku obat ini sesuai dengan persyaratan yang ada.
“Misalnya, harus dilakukan oleh industri farmasi atau pedagang besar farmasi. Tidak bisa dilakukan oleh importir yang lain.”
Guna mengantisipasi penyebaran obat tak aman di kemudian hari, maka semua pihak harus terlibat.
“Ya semuanya (terlibat), pertama yang berwenang mengawasi industri yaitu BPOM, kedua apotek, ketiga rumah sakit yang biasanya juga memberikan obat kepada pasiennya sehingga sistem pengawasannya berjenjang.”
Pengawasan berjenjang yang dimaksud Pandu mengarah pada kemudahan deteksi masalah jika terjadi hal yang tidak diinginkan.
“Kalau ada kejadian yang tidak diinginkan bisa cepat dilaporkan, sehingga cepat dicegah. Dan semuanya harus terlibat, semuanya harus bertanggung jawab, tentunya regulasinya bisa sampai ke sana.”
Sementara, regulasi yang berlaku saat ini belum meng-cover pada masalah-masalah seperti yang kini tengah terjadi.
Orangtua Pasien yang Meninggal Bisa Tuntut Keadilan Hukum
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan orang tua dari anak yang meninggal bisa menuntut hukum bila ada kesalahan prosedur penanganan pengobatan kepada pasien.
"Orang tua atau siapa pun yang bertanggung jawab atas kehidupan seorang anak yang meninggal karena gagal ginjal, bisa menuntut secara hukum pada RS ataupun dokternya, jika ditemukan ada kesalahan prosedur dalam proses pengobatannya, sehingga mengakibatkan kematian," kata Abdul.
Abdul menjelaskan, tuntutan yang bisa dilayangkan bisa dua hal. Pertama adalah tuntutan umum untuk perbaikan sistem pengobatan.
"Tuntutan umum yaitu perbaikan sistem pengobatan yang bisa diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengobatan itu," ucapnya mengutip Merdeka.
Kedua, adalah tuntutan materiil. Artinya, tuntutan ganti kerugian yang dari awal dapat dinilai dengan uang.
"Tuntutan atas kerugian materiil yang timbul dari kegagalan yang disebabkan ketidakhati-hatian dari tindakan," jelasnya.
Di sisi lain, Abdul memandang, kematian akibat gagal ginjal adalah takdir bila prosedur penanganan maupun pengobatan sudah dijalankan dengan benar.
"Kematian karena gagal ginjal adalah takdir, jika prosedur pengobatan sudah dijalankan dengan benar," tutupnya.
Advertisement
Bareskrim Buka Peluang Tersangka Perorangan Kasus Gagal Ginjal Akut
Saat ini, Bareskrim Polri masih mengumpulkan bukti-bukti pihak-pihak yang bertanggung jawab atas merebaknya kasus Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) pada Anak-anak.
Menurut Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Pipit Rismanto, pertanggungjawaban pidana bisa dibebankan kepada perseorangan atau korporasi. "Ini pertanggungjawaban pidana itu akan ada di korporasi atau perorangan. Nanti kita masih lakukan pendalaman," kata dia kepada wartawan, Kamis (3/11/2022).
Pipit menerangkan, pihaknya harus hati-hati dalam menentukkan sosok tersangka dalam kasus ini. Adapun mekanismenya nanti melalui gelar perkara.
"Hasil penyidikannya akan kita lakukan gelar perkara," ujar dia. Sejauh ini, Bareskrim Polri masih mendalami keterangan dari pihak PT. Afi Farma Kediri guna pembuktian materil.
PT. Afi Farma Kediri diduga melanggar aturan berdasar gelar perkara yang dilakukan Bareskrim Polri bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Selasa (1/11/2022).
"Masih proses lidik," ujar dia.
Komisi IX DPR Bentuk Panitia Kerja Usut Gagal Ginjal Akut
Komisi IX DPR RI menyepakati untuk membentuk panitia kerja (Panja) guna mengusut kasus gagal ginjal akut pada anak.
"Komisi IX DPR RI akan membentuk Panja atau panitia kerja terhadap sistem jaminan keamanan dan mutu obat untuk menginvestigasi lebih dalam, termasuk mengelaborasi tata kelola kefarmasian dari hulu ke hilir demi mencegah kejadian yang tidak diinginkan, seperti kejadian GGAPA," kata Wakil Ketua Komisi IX Felly Estelita Runtuwene saat membacakan kesimpulan rapat pada Rabu, 2 November 2022.
Pembentukan Panja bermula dari usulan sejumlah fraksi di Komisi IX DPR, mulai dari PDIP, Golkar, PAN, PKS, NasDem. Usulan mereka kemudian diperkuat oleh dua Wakil Ketua Komisi IX, yakni Charles Honoris dari Fraksi PDIP dan Nihayatul Wafirah dari Fraksi PKB.
Anggota Komisi IX Fraksi Golkar Darul Siska memandang kasus gagal ginjal akut sudah merupakan kondisi luar biasa atau KLB sehingga wajar apabila diusut melalui Panja.
"Saya enggak tahu KLB gagal ginjal akut pada anak-anak ini apa ya dampaknya. Paling tidak Panja-nya harus dibentuk," kata Darul. Saleh Daulay dari Fraksi PAN juga setuju pembentukan Panja. Dia menilai Panja bisa dibentuk untuk menelusuri lebih dalam terkait gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak.
"Karena bukan hanya kasus ini. Karena kasus-kasus seperti ini ada peluang dan potensi untuk terulang lagi. Jadi karena itu kita buat Panja untuk mengantisipasi. Pertama untuk menelusuri yang sedang terjadi sekarang, kemudian untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang," ujar Saleh.
Advertisement