Liputan6.com, Jakarta COVID-19 subvarian XBB muncul di Indonesia dan mengancam masyarakat terutama kelompok lanjut usia (lansia) dan orang dengan komorbid.
Menurut Ketua Satuan Tugas (Satgas) COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Erlina Burhan, kelompok lansia memang memiliki risiko tinggi terpapar COVID-19 termasuk subvarian XBB.
Baca Juga
“Orang-orang lansia, itu yang berisiko tinggi. Risiko mereka dirawat kalau terinfeksi itu besar bahkan ada risiko meninggal juga,” ujar Erlina dalam konferensi pers virtual Kamis (3/11/2022).
Advertisement
Selain lansia, orang-orang dengan komorbid atau penyakit penyerta juga tergolong rentan. Meski begitu, kelompok usia muda juga bisa terinfeksi dengan subvarian ini. Contohnya di Singapura yang melaporkan banyak infeksi XBB pada kelompok usia muda.
“Di Singapura, XBB banyak menyerang kelompok usia muda 20 hingga 39 tahun. Namun, yang dirawat adalah orang-orang dari kelompok usia di atas 70 tahun atau lanjut usia.
“Jadi yang muda-muda walaupun banyak terserang dengan XBB, tapi mereka lebih aman dan tidak perlu perawatan. Yang dirawat adalah yang di atas 70 tahun karena mungkin memang imunitasnya turun atau juga banyak komorbid.”
Secara umum kasusnya ringan, tapi jika menyerang lansia maka perawatan di rumah sakit akan diperlukan, tambahnya.
Erlina juga menjelaskan soal penanganan XBB gejala ringan. Menurutnya, jika gejala ringan ini ada pada orang yang staminanya bagus, maka konsumsi vitamin dan obat-obat pereda gejala disertai isolasi mandiri dinilai cukup.
“Itu bisa walaupun dari buku pedoman yang kami keluarkan kalau bergejala sebaiknya mendapatkan antivirus juga.”
Jika Gejala Ringan Timbul pada Lansia
Penanganan serupa tidak cukup jika gejala ringan tersebut timbul pada lanjut usia terutama yang memiliki komorbid dan belum divaksinasi.
“Orang tua, apalagi ada komorbid, apalagi belum divaksinasi, walaupun ringan sebaiknya dirawat kalau menurut saya. Jangan isolasi mandiri di rumah, tapi bawalah ke rumah sakit untuk dirawat. Kalaupun staminanya masih bagus, kalau bergejala sebaiknya minum obat antivirus.”
Erlina berpesan, masyarakat boleh beraktivitas dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Bila bergejala, periksakan diri agar status penyakit bisa diketahui sehingga bisa menentukan sikap untuk saling melindungi.
“Masyarakat dengan komorbid agar berhati hati, terutama bila berinteraksi dengan banyak orang di keramaian, segera menjalani vaksinasi booster, dan terapkan perilaku hidup bersih sehat (PHBS) dalam keseharian,” katanya.
Pesan atau rekomendasi juga diberikan kepada pemerintah dan tenaga kesehatan (nakes). Bagi pemerintah IDI merekomendasikan hal-hal berikut:
- Antisipasi tendensi kenaikan kasus, terutama menjelang libur Natal dan Tahun Baru (Nataru)
- Meningkatkan cakupan vaksinasi booster
- Memperbaiki distribusi atau logistik untuk obat dan vaksin
- Menggalakkan program PHBS.
Sedangkan untuk nakes, rekomendasinya adalah:
- Lakukan edukasi yang terus menerus tentang pencegahan COVID-19
- Menjaga Kesehatan pribadi agar tidak terinfeksi COVID-19 agar tetap bisa memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana biasanya.
Advertisement
Tentang XBB
XBB adalah rekombinan subturunan Omicron BA.2.10.1 dan BA.2.75, dengan mutasi di S1 dan 14 mutase tambahan di protein spike BA.2 seperti disampaikan Erlina.
Bukti laboratorium yang ada menunjukkan XBB adalah varian dengan kemampuan tertinggi untuk menghindari antibodi hingga saat ini.
Meskipun risiko gejala klinis yang ditimbulkan dapat lebih berat, belum ada bukti ilmiah mengenai perbedaan keparahan gejala.
Omicron subvarian XBB pertama kali ditemukan pada Agustus 2022 di India. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sejak 17 Oktober 2022, XBB sudah dilaporkan ada di 26 negara, seperti Australia, Bangladesh, Denmark, India, Jepang, dan US.
Menurut observasi dari negara yang sudah mendeteksi XBB, penularan XBB dianggap sama dengan varian lain yang ada. XBB merupakan subvarian yang predominan di Singapura, mencapai hingga 54 persen kasus pada minggu kedua Oktober 2022. Padahal, pada minggu sebelumnya hanya 22 persen.
Gejala XBB
Erlina menambahkan, gejala yang ditimbulkan oleh subvarian XBB cenderung mirip dengan gejala COVID-19 varian Omicron secara umum.
“Hingga saat ini, gejala XBB mirip dengan gejala COVID Omicron secara umum, jadi ada demam, batuk, lemas, sesak, nyeri kepala, nyeri tenggorok, pilek, mual, muntah, dan diare,” ujar Erlina.
Sejauh ini, lanjut Erlina, belum ada laporan resmi yang mengatakan bahwa XBB menyebabkan COVID-19 dengan gejala yang lebih berat.
“Belum ada laporan ilmiah resmi yang menyatakan XBB menyebabkan COVID-19 dengan gejala yang lebih berat. Hingga saat ini masih dikatakan mirip dengan Omicron yang lain.”
Meski munculnya XBB nyaris bersamaan dengan lonjakan kasus baru COVID-19 di Indonesia, tapi subvarian ini tidak bisa disebut sebagai penyebabnya.
“Kita tidak bisa mengatakan bahwa kenaikan kasus saat ini adalah karena XBB, jumlah XBB yang baru ditemukan dan dilaporkan masih sedikit, di bawah 20 kasus,” jelas Erlina.
“Tapi kita kan tidak tahu, banyak sekali orang yang batuk, pilek, demam enggak memeriksakan diri hanya isolasi mandiri saja. Kalau melakukan antigen pun tidak diteruskan dengan PCR sehingga kita tidak tahu apakah variannya XBB, BA.4, atau BA.5, kita enggak tahu,” tambahnya.
Namun, yang jelas data di Indonesia menunjukkan bahwa varian yang masih dominan di Indonesia adalah BA.5, katanya.
Advertisement