Liputan6.com, Jakarta Maraknya kasus gagal ginjal akut, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia mengimbau para tenaga kesehatan (nakes) aktif melaporkan efek samping obat. Upaya ini demi respons cepat BPOM dalam pengawasan obat.
Kepala BPOM RI Penny K. Lukito menyampaikan, pelaporan efek samping obat dapat dilakukan melalui aplikasi e-Meso BPOM. Monitoring Efek Samping Obat (MESO), yaitu kegiatan pemantauan dan pelaporan efek samping obat yang dilakukan oleh tenaga kesehatan secara sukarela (voluntary reporting).
Baca Juga
e-Meso ini sudah dikembangkan BPOM, yang merupakan bagian dari pengawasan post-market dengan penerapan sistem Farmakovigilans (pharmacovigilance). Post-market merupakan pengawasan yang dilakukan BPOM setelah berbagai produk obat dan makanan beredar di pasaran.
Advertisement
Adapun Farmakovigilans adalah suatu keilmuan dan aktivitas tentang deteksi, penilaian (assessment), pemahaman dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat.
"Kami melakukan pengawasan post-market pada jalur distribusi untuk produk-produk yang didistribusikan. Kami juga mempunyai status sistem yang disebut dengan Farmakovigilans, yaitu satu sistem pelaporan efek samping obat seperti Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) dari gagal ginjal akut," papar Penny saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi IX DPR di Gedung DPR RI, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta pada Rabu, 2 November 2022.
"Tentunya ini (pelaporan efek samping obat) melibatkan tenaga kesehatan dan di dalam sistem tersebut. Harapannya adalah apabila terjadi kejadian yang tidak diinginkan, tenaga kesehatan bisa melaporkan ke dalam sistem e-Meso tersebut. Sehingga langsung bisa dilaporkan ke Badan POM."
Telusuri Obat dari Laporan yang Masuk
Dalam proses pelaporan efek samping obat ke aplikasi e-Meso, BPOM akan menindaklanjuti segera. Seperti halnya pada kasus gagal ginjal atau Gangguan Ginjal Akut Atipikal Progresif (GgGAPA), BPOM akan mengambil sampel obat sirup yang diduga mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).
"Badan POM bisa langsung mendatangi, mengambil sampel, dan melakukan penelusuran tentang kaitannya dengan obat yang masuk ke e-Meso, sistem pelaporan monitoring efek samping obat," Penny K. Lukito menjelaskan.
"Tahapan-tahapan untuk melihat bahwa sistem itu sudah ada. Bahwa Badan POM tentunya juga melakukan tugasnya dikaitkan dengan pre-market, memberikan cara produksi obat yang baik, memberikan izin edar untuk produk sebelum diedarkan."
Pre-market merupakan evaluasi produk sebelum memperoleh nomor izin edar dan akhirnya dapat diproduksi dan diedarkan kepada konsumen.
Di sisi lain, pengawasan BPOM melalui aplikasi e-Meso, diharapkan nakes dapat mengetahui tugas dan kewajiban masing-masing.
"Semua ini dengan berbagai upaya pengawasan yang sudah dilakukan. Jadi, sistem (e-Meso) itu sudah terbangun dan tentunya dengan tugas dan kewajiban (nakes) masing-masing (untuk mengisi pelaporan efek samping obat)," sambung Kepala BPOM.
Advertisement
Aturan Penerapan Farmakovigilans
Terkait pengembangan e-Meso termaktub dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 15 Tahun 2022 tentang Penerapan Farmakovigilans. Peraturan ini diterbitkan tertanggal 7 Juli 2022, yang diteken Kepala BPOM RI Penny K. Lukito.
Dalam hal pelaporan Kejadian Tak Diinginkan tertuang pada Pasal 6:
(1) Pelaporan spontan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a dapat berupa KTD serius dan/atau non serius pada penggunaan obat
(2) Kriteria KTD serius sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua kejadian medis yang menyebabkan:
- kematian
- keadaan yang mengancam jiwa
- pasien memerlukan perawatan rumah sakit
- perpanjangan waktu perawatan rumah sakit
- cacat tetap
- kelainan kongenital
- kejadian medis penting lainnya
Pelaporan Farmakovigilans oleh Tenaga Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tercantum pada Pasal 15:
(1) Tenaga kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan menyampaikan pelaporan Farmakovigilans sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(2) Pelaporan Farmakovigilans sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pelaporan spontan yang dilaksanakan secara mandiri atau kolaboratif dengan tim/komite
(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan secara non elektronik atau elektronik kepada Pusat Farmakovigilans/MESO Nasional dan/atau melalui Industri Farmasi
Pengawasan Farmakovigilans
Selanjutnya, berkaitan dengan pengawasan BPOM terhadap penerapan Farmakovigilans tercantum pada Pasal 20:
(1) BPOM melakukan evaluasi terhadap:
- dokumen Perencanaan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
- pelaporan Farmakovigilans sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (1)
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikutsertakan pakar di bidang kesehatan dan bidang terkait lainnya yang ditetapkan oleh Kepala Badan
(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh BPOM kepada Industri Farmasi untuk ditindaklanjuti
Kemudian pada Pasal 21, BPOM dan Industri Farmasi dapat melakukan komunikasi keamanan sebagai tindak lanjut evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
Ditegaskan pada Pasal 22:
(1) BPOM melakukan Inspeksi Farmakovigilans terhadap penerapan Farmakovigilans oleh Industri Farmasi dan/atau Pelaksana Farmakovigilans
(2) Inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
- dokumen
- fasilitas
- rekaman/catatan
- sumber daya lain yang diperlukan
Advertisement