Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa cukai hasil tembakau (CHT) naik rata-rata 10 persen.
“Rata-rata 10 persen, nanti akan ditunjukkan dengan sigaret kretek mesin (SKM) I dan II yang nanti rata-rata meningkat antara 11,5 hingga 11,75 (persen), sigaret putih mesin (SPM) I dan SPM II naik di 11 hingga 12 persen, sedangkan sigaret kretek tangan SKT I, II, dan III naik 5 persen,” ujar Sri Mulyani pada Kamis (3/11/2022) mengutip Bisnis Liputan6.com.
Baca Juga
Mengenai kenaikan ini, Ketua Komnas Pengendalian Tembakau Prof Hasbullah Thabrany ikut angkat bicara. Menurutnya, kenaikan CHT 10 persen belum tepat 100 persen.
Advertisement
“Tepat 100 persen belum, kalau Komnas Tembakau sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengusulkan naiknya 20 persen,” ujar Hasbullah saat dihubungi Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Jumat (4/11/2022).
Kenaikan cukai rokok 20 persen disebut tepat lantaran ada kaitannya dengan kenaikan upah yang diharapkan oleh para buruh.
“Kan ini akan ada kenaikan upah, buruh pada minta kenaikan upah. Keseimbangannya, supaya orang tidak menghabiskan duit tambahannya buat rokok ya harusnya harga rokok dinaikkan lebih tinggi lagi. Harusnya bisa sampai 20 persen naik cukai rokok.”
Meski begitu, jika kenyataanya pemerintah memutuskan kenaikan cukai rokok 10 persen, maka ini sudah lebih baik ketimbang tidak sama sekali, tambahnya.
Bisa Turunkan Angka Perokok?
Hasbullah menambahkan, kenaikan cukai rokok 10 persen tidak akan mampu menurunkan jumlah perokok.
“Tidak akan, 10 persen tidak akan menurunkan jumlah perokok. Hanya mungkin buat perokok anak-anak yang baru coba-coba merokok bisa jadi ya agak mikir juga kalau dikasih uang belanjanya kurang. Yang kita tuju sekarang ini jangan sampai anak-anak sekolah ini semakin mudah ngeluarin duitnya buat beli rokok.”
Menurunkan angka perokok anak memang menjadi tantangan, lanjutnya, saat ini 20 persen anak-anak yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah merokok. Cukai rokok yang lebih tinggi diharapkan bisa mencegah peningkatan jumlah perokok anak.
“Anak kalau badannya enggak sehat gimana bisa sekolah, jadi pintar, dan produktif?”.
Advertisement
Untuk Rokok Elektrik
Selain rokok konvensional, kenaikan cukai juga diterapkan pada rokok elektrik sebanyak 15 persen. Menurut Hasbullah, ini lebih sedikit atau kurang ketimbang kenaikan 10 persen pada cukai rokok konvensional.
“Itu lebih kurang lagi karena yang mengonsumsi rokok elektrik adalah kelas menengah atas. Harga rokok elektrik kan cukup tinggi ya.”
“Tapi kembali lagi, kebijakan pemerintah kan ada tarik kiri, kanan, sana, sini, memang belum cukup untuk mengendalikan tapi kita sudah Alhamdulillah sudah dinaikkan 15 persen untuk rokok elektrik,” katanya.
Rokok elektrik telah menjadi tren baru di kalangan anak-anak muda yang kebanyakan kelas menengah ke atas. Seperti rokok konvensional, rokok elektrik juga harus ditekan jumlah penggunanya.
“Sebab rokok elektrik itu mengandung nikotin. Memang kadarnya tidak terlalu banyak, tapi lama-lama tidak terasa jadi berisiko lebih besar.”
Cara Lebih Efektif?
Cukai rokok dan rokok elektrik sulit dinaikkan begitu saja. Lantas, apa ada cara yang lebih efektif untuk menekan jumlah perokok?
“Kalau yang lebih efektif, enggak ada, tapi yang bisa membantu bersama-sama menambah efektivitas cukai rokok itu banyak. Sosialisasi, penyadaran, iklan-iklan hidup sehat.”
“Harusnya pemerintah juga menggunakan pendapatan dari cukai rokok yang naik 10 persen ini dipakai untuk menyehatkan dan menyadarkan masyarakat bahwa rokok berbahaya.”
Ada beberapa negara yang bisa dicontoh atau dijadikan suri tauladan dalam hal pengendalian rokok, kata Hasbullah. Beberapa di antaranya adalah Singapura dan Australia.
“Negara dekat kita, Singapura mahal sekali harga rokoknya sehingga anak-anak sekolah enggak sanggup beli rokok. Tetangga kita di selatan, Australia, enggak boleh pajang rokok di toko jadi anak-anak enggak ada yang lihat dan tergoda pengen beli rokok. Harga rokok pun mahal sekali, di Australia Rp250 ribu satu bungkus.”
Ini merupakan langkah yang baik untuk membuat anak-anak sehat, katanya. Sayangnya, di Indonesia hal ini belum diterapkan. Padahal, kebijakan serupa akan tepat pula diterapkan di Indonesia karena bahaya rokok di negara manapun sama saja.
“Indonesia ini kan pemerintahnya masih belum kuat, masih terlalu banyak dikendalikan sama pengusaha-pengusaha yang melihatnya duit aja, soal rakyat sakit-sakitan di masa depan jadi urusan nanti. Banyak yang masih berpikir seperti itu, itu tantangan kita,” katanya.
Advertisement