Sukses

Cerita Dirut PT Biotis Blusukan ke Pulau, Cari Relawan Uji Klinik Vaksin InaVac

Pencarian relawan uji klinik vaksin InaVac tidak mudah, bahkan sampai 'blusukan' ke pulau.

Liputan6.com, Jakarta Vaksin COVID-19 InaVac yang dikembangkan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dan PT Biotis Pharmaceutical Indonesia kini sudah mengantongi izin darurat penggunaan (Emergency Use Authorization/EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia.

Di balik keberhasilan tersebut, Direktur Utama PT Biotis Pharmaceutical Indonesia FX Sudirman menceritakan perjuangan pengembangan vaksin InaVac, yang sebelumnya bernama Vaksin Merah Putih. Tantangan terbesar adalah mencari relawan uji klinik sejumlah 4.005 orang.

Pencarian relawan bukanlah hal mudah. Sudirman turut terjun ke lapangan mencari relawan, bahkan pencarian dilakukan sampai 'blusukan' ke pulau-pulau. Upaya mencari relawan uji klinik dibantu TNI.

"Pada Desember tahun 2021, kami mendapatkan clinical production approval dari Badan POM. Kemudian kami mempersiapkan uji klinik. Dalam pelaksanaan uji klinik, sekali lagi tantangan besar ya buat rekrut 4.005 subjek," tutur Sudirman saat 'Konferensi Pers Penerbitan EUA Vaksin InaVac' di Kantor BPOM RI Jakarta pada Jumat, 4 November 2022.

"Itu enggak gampang ya. Saya sampai ke pulau, harus naik helikopter, dibantu oleh Panglima TNI. Jadi sangat-sangat terasa tantangannya."

Walau begitu, momen penerbitan izin darurat vaksin InaVac yang dikeluarkan BPOM membuat Sudirman lega. Ia mengucapkan terima kasih atas seluruh pihak dan stakeholder, kementerian/lembaga serta masyarakat (para relawan uji klinik) yang ikut memperlancar proses pengembangan InaVac.

"Tapi hari ini semua, yang namanya tantangan, beban, hambatan, tangis air mata, mimpi buruk, semua bisa hilang pada saat ini. Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya, terutama di bawah pimpinan ibu Kepala Badan POM, TNI," ucap Sudirman sembari tersenyum.

"Keberhasilan sampai hari ini memang enggak gampang dan saya baru tahu, kenapa kok di Indonesia bikin pabrik vaksin itu enggak gampang. Ya banyak tantangannya."

2 dari 4 halaman

Kembangkan Vaksin dari Titik Awal

Momen penerbitan izin darurat vaksin InaVac, lanjut FX Sudirman juga membanggakan dan sangat penting bagi peneliti Universitas Airlangga dan kolaborasi besar dari seluruh stakeholder yang terlibat dalam pengembangan vaksin.

"Selama hampir dua tahun ini, kita kerja keras dalam Konsorsium Vaksin Merah Putih. Ini sangat penting dan membanggakan bagi bangsa Indonesia, karena momentum ini membuktikan dan menunjukkan kepada kita, kepada dunia, bahwa anak bangsa kita mampu membuat vaksin yang dikembangkan mulai dari titik awal," katanya.

"Mulai dari virus COVID-19 yang diisolasi dari pasien di RS dr. Soetomo Surabaya. Kemudian diisolasi oleh tim peneliti, dilanjut proses yang panjang sehingga kita bisa mendefinisikan atau menjadikan isolat yang ditemukan sebagai masterpiece."

Tahapan selanjutnya, tim mendapatkan virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 yang sangat potensial untuk dijadikan masterpiece.

"Saya rasa ini berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan juga momentum ini menjadi awal tantangan Bapak Presiden Joko Widodo (Jokowi), ada dua. Yang pertama, Instruksi Presiden yang mendorong kita untuk kemandirian di bidang farmasi kesehatan," imbuh Dirut PT Biotis.

"Lalu, Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembuatan Vaksin Merah Putih dan ini vaksin ini yang kita kembangkan antara PT Biotis dengan Unair yang dikerjakan bersama-sama."

3 dari 4 halaman

Keberhasilan Industri Pembuat Vaksin

FX Sudirman mengutarakan, banyak sekali tantangan, hambatan dan godaan dalam pengembangan vaksin COVID-19 dalam negeri. Diakuinya, bagi dunia usaha atau industri, godaannya seputar tak perlu 'capek-capek' membuat vaksin dari awal.

"Godaannya itu ngapain, misalnya, 'capek-capek meneliti dari awal ya kan, buat apa juga investor atau pemilik capek. Lebih baik kita impor saja, fill and finish, terus dijual, selesai.' Godaan itu banyak ya tapi komitmen dan tekad yang besar bagi pemegang saham maupun kami bisa terus melanjutkan ini," lanjutnya tertawa.

"Walaupun mungkin tadi sedikit tertatih-tatih dalam dua tahun ini. Kemudian saya sering mimpi dikejar-kejar soal bikin vaksinnya."

Di sisi lain, menurut Sudirman, kehadiran vaksin COVID-19 InaVac termasuk keberhasilan dari industri farmasi dalam kemandirian vaksin. Selain masyarakat Indonesia mengenal industri pembuat vaksin Bio Farma, muncul baru PT Biotis Pharmaceutical Indonesia.

"Saya rasa ini adalah momentum yang sangat baik, peran Badan POM berupa pendampingan pengawasan. Ini sangat penting dan berperan di dalam keberhasilan kami, ya bukan hanya keberhasilan pengembangan Vaksin Merah Putih, tapi keberhasilan menelurkan satu industri vaksin baru ya yang bernama PT Biotis," ujarnya.

4 dari 4 halaman

Inspirasi Dunia Penelitian

Kilas balik mulainya PT Biotis Pharmaceutical Indonesia membuat vaksin InaVac, pertama kali Kepala BPOM RI Penny K. Lukito datang pada 20 November 2020 untuk mengecek pabrik. Kemudian Desember 2020, Penny memastikan PT Biotis mengembangkan vaksin.

"Semangat dari Bu Penny, kami berani. Saya bilang, kami berani dan kita satu lagi bikin pabrik vaksin yang bisa berkontribusi untuk memenuhi kebutuhan vaksin masyarakat Indonesia dan itu bisa berjalan," FX Sudirman menuturkan.

"Pada 13 Agustus tahun 2021, Bu Penny datang lagi untuk memastikan dalam rangka Cara Pembuatan Obat dengan Baik (CPOB), tanggal 18 Agustus 2021, kami mendapatkan CPOB untuk fill and finish."

Keberhasilan vaksin InaVac sekarang, terang Sudirman bisa memberikan inspirasi bagi peneliti, dunia penelitian, kementerian/lembaga, dan cara pandang masyarakat.

"Ternyata kita dan industri farmasi kita mampu membuat vaksin yang memenuhi syarat ya. Ini (InaVac) adalah produk kami yang pertama, vaksin kami yang pertama," ucapnya.

"Kepada masyarakat Indonesia, vaksin kami sudah selesai, maka tugas berikutnya bagi PT Biotis adalah memproduksi secara massal vaksin InaVac sehingga masyarakat Indonesia bisa memanfaatkan vaksin ini untuk menghadapi pandemi COVID-19 atau kemungkinan nanti berlanjut menjadi endemi."