Liputan6.com, Jakarta Kasus gagal ginjal akut memang mengalami penurunan. Terutama sejak larangan untuk minum obat sirup keluar dan datangnya obat antidotum fomepizole ke Indonesia.
Berdasarkan catatan terbaru Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI per 6 November 2022, total kasus gagal ginjal akut yang tersebar pada 28 provinsi di Indonesia mencapai 324 anak.
Baca Juga
Jarang Minum Air Putih, Kebiasaan Warga Taipei yang Memicu Tingginya Angka Pasien Cuci Darah
5 Cara Mengonsumsi Alpukat untuk Menurunkan Kolesterol dan Mendapatkan 3 Manfaat untuk Jantung Anda
Timnas Indonesia Kalah di Stadion Manahan, Vietnam Justru Cetak Banyak Gol dalam Laga Terakhir Grup B Piala AFF 2024
Namun, tak bisa menutup mata bahwa sebelumnya ada 195 anak yang meninggal akibat gagal ginjal akut. Kebanyakan anak datang pada stadium berat dan tidak dapat terselamatkan.
Advertisement
Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global, Dicky Budiman mengungkapkan bahwa sebenarnya ada banyak pelajaran penting yang bisa dipetik dari kasus gagal ginjal akut yang terjadi belakangan.
Menurutnya, hal ini erat kaitannya dengan tata laksana pemerintahan atau pentingnya good governance, yang mana menjadi tugas besar dalam dunia kesehatan Indonesia.
"Good governance ini bicara akuntabilitas kinerja, transparansi, manajemen data. Banyak sekali di situ yang masih menjadi PR kita, dan PR yang lama menumpuk belum terurai dan terselesaikan. Bahkan di masa pandemi yang mendekati akhir masa krisisnya," ujar Dicky melalui keterangan pada Health Liputan6.com, Kamis (10/11/2022).
"Artinya kita ini tidak mengambil pelajaran yang signifikan dari situasi. Juga, faktor leadership, jadi sangat khas secara riset, saya yang meriset salah satunya bahwa situasi krisis ini menimbulkan tiga PR besar."
Ketiganya adalah leadership, risk management, dan komunikasi risiko yang seharusnya menurut Dicky, mewarnai good governance itu sendiri.
Tak Ditetapkan Jadi KLB, meski Indikasi Terpenuhi
Lebih lanjut Dicky mengungkapkan bahwa salah satu contohnya adalah masalah gagal ginjal akut yang tidak ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Padahal standarnya sudah terpenuhi pada banyak aspek.
"Tanpa penguatan itu (leadership, risk management, dan komunikasi risiko), sebagus apapun aturan regulasi, tidak diterapkan. Contohnya KLB," kata Dicky.
"Kalau leadership-nya lemah, komitmennya lemah, tidak menjadi fokus. Tidak menjadi perhatian utama adanya suatu KLB, meskipun indikasinya sudah memenuhi."
Terlebih, menurut Dicky, hal lain yang lebih memprihatinkan dalam konteks gagal ginjal akut adalah mayoritas obat yang tercemar merupakan obat murah.
Obat tersebut kemudian banyak dikonsumsi oleh kalangan menengah kebawah dan punya keterbatasan akses pada layanan kesehatan dari sisi finansial dan demografis.
"Ini yang membuat potensi mereka terdeteksi kasusnya juga menjadi minim, karena sistem deteksinya lemah. Komitmennya juga lemah, penjangkauan yang lemah. Akhirnya korban yang ada tidak (semuanya) terdeteksi," ujar Dicky.
"Yang terkuak adalah kasus-kasus yang sifatnya di permukaan atau hanya di sentra-sentra yang dekat dengan pusat kekuasaan atau pusat pemerintahan."
Advertisement
Belum Berhasil Penuhi Hak Kesehatan Masyarakat
Sehingga menurut Dicky, pemerintah masih belum berhasil dalam memenuhi hak kesehatan masyarakat. Mengingat mungkin saja ada masyarakat yang terpinggirkan dan terabaikan terkait gagal ginjal akut.
"Artinya pemerintah gagal memenuhi hak kesehatan masyarakat. Padahal konsumsi obat ini, bahkan kemungkinan besar korban dari adanya keteledoran dan kelalaian ini adalah masyarakat menengah ke bawah," kata Dicky.
"Mereka sudah terbatas, juga ditambah literasi kesehatan dan health seeking behavior-nya yang memang minim untuk datang ke pelayanan kesehatan. Sehingga tidak terdeteksi."
Menurut Dicky, hal itulah yang perlu menjadi perhatian para pengambil kebijakan kedepan agar lebih memahami situasi kesehatan masyarakat Indonesia.
"Tidak hanya di permukaan. Tidak hanya di kota-kota. Atau melihat pada indikator yang tidak mewakili pada kejadian yang sesungguhnya di masyarakat," ujar Dicky.
Larangan Obat Sirup Belum Jadi Solusi
Dalam kesempatan yang sama, Dicky mengungkapkan bahwa larangan konsumsi obat sirup sendiri belum dapat dijadikan solusi. Melainkan merupakan respons yang sementara.
"Dia (pelarangan obat sirup) efektif, tapi sesaat efektifnya. Karena dalam manajemen risiko itu harus memiliki opsi solusi yang sifatnya dalam jangka pendek dan menengah," kata Dicky.
Hal tersebut lantaran masalah kesehatan di Indonesia banyak. Dicky menjelaskan, belum lagi program yang selama ini muncul dan tenggelam. Akhirnya penyelesaian krisis kerap kali menggantung, yang mana bisa memunculkan krisis lanjutan.
Sehingga menurutnya, penyelesaian masalah kesehatan termasuk soal gagal ginjal akut sebaiknya dilakukan dengan tuntas dan menyeluruh. Termasuk pada banyak institusi yang mungkin terlibat.
"Di situlah yang harus diurai. Tidak bisa menunggu hanya satu dua pihak, karena ini pemerintah kerja kolektif dan perlu ada koordinasi di situ. Walaupun ada yang bebannya paling besar, dalam hal ini Badan POM dan Kemenkes," ujar Dicky.
Advertisement