Liputan6.com, Jakarta - Hari Kesehatan Nasional (HKN)Â diperingati pada 12 November setiap tahunnya sejak 1964. Kala itu, Indonesia berjuang melawan Malaria yang mewabah di Indonesia.
Mengutip laman BPMP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Malaria menjangkit hampir semua masyarakat di Indonesia. Ada ratusan ribu orang yang tewas akibat wabah Malaria yang terjadi.
Baca Juga
Kini, setelah 58 tahun dirayakan, Indonesia masih berjuang untuk menghadapi berbagai masalah kesehatan. Tiga yang paling lekat belakangan adalah pandemi COVID-19, hepatitis akut misterius, hingga gagal ginjal akut.
Advertisement
Belum lagi masalah kesehatan lainnya yang belum kunjung usai. Mulai dari tingginya prevalensi kanker, stroke, atau permasalahan jantung di Indonesia. Masalah kesehatan silih berganti, kerap muncul dan tenggelam dengan berbagai temuan lama maupun baru.
Lalu, kenapa masalah kesehatan nampak tak pernah ada habisnya?
Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global, Dicky Budiman mengungkapkan bahwa kesehatan memang merupakan masalah jangka panjang dan sebuah bentuk investasi di masa depan.
"Saya pribadi mengucapkan Selamat Hari Kesehatan Nasional. Ini adalah momentum harusnya menyadarkan kita semua, begitu penting di era pandemi ini, kita memperingati HKN bahwa kesehatan itu bukan hanya masalah masa kini. Tapi masalah masa depan," ujar Dicky pada Health Liputan6.com, Sabtu (12/11/2022).
"Kesehatan itu adalah investasi masa depan. Kesehatan itu harus mewarnai setiap kebijakan yang ada di pemerintahan. Kesehatan itu sangat krusial untuk bisa membuat jalannya aktivitas secara optimal dengan tujuan pembangunan nasional."
Jadi Aspek Penentu Keberhasilan
Lebih lanjut menurut Dicky, kesehatan sendiri akan mempengaruhi keberhasilan berbagai pihak di sektor lain. Sehingga penting untuk Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai sektor yang memimpin untuk melakukan introspeksi.
"Kementerian Kesehatan sebagai sektor atau leading sector dalam hal pemenuhan kesehatan di Indonesia harus menjadikan momentum HKN ini sebagai introspeksi atas perannya, atas capaian pembangunan kesehatannya, dan apa yang akan dilakukan untuk perbaikan untuk kesehatan atau sektor kesehatan," kata Dicky.
Selain itu, tak dapat menutup mata pula bahwa Indonesia masih memiliki capaian positif yang sudah diraih dalam hal kesehatan. Dicky menjelaskan, salah satunya Indonesia sudah berhasil melaksanakan Health Working Group (HWG) dalam KTT G20. Padahal situasi sedang tidak mudah.
"Setidaknya kita berhasil mencapai komitmen ini. Selain itu, keberhasilan lain, kita bisa membuat adanya respons yang relatif, bagus sih tidak, tapi memadai untuk kita mengarah pada satu situasi pengendalian pandemi seperti saat ini. Dengan plus minusnya dan jatuh bangunnya," ujar Dicky.
Advertisement
Catatan Penting untuk Sektor Kesehatan
Dalam kesempatan yang sama, Dicky mengungkapkan bahwa tugas yang masih harus diselesaikan oleh sektor kesehatan pun masih panjang. Terutama pada aspek keamanan kesehatan atau health security.
"Catatan perbaikan yang harus dilakukannya juga cukup panjang. Dari mulai health security. Aspek pencegahan masih belum memadai, aspek respons, kemudian aspek deteksi dini. Tiga hal yang masih harus kita kejar," kata Dicky.
"Pandemi ini menunjukkan tiga aspek itu kita masih minim. Pengulangan juga kasus krisis-krisis seperti hepatitis dan gagal ginjal akut, itu menggambarkan bahwa tiga aspek itu betul-betul menjadi PR yang enggak boleh ditunda lagi. Ini sudah PR menggunung yang harus segera dilakukan."
Dicky menambahkan, PR besar lainnya berkaitan dengan indikator pembangunan kesehatan secara global. Seperti angka kematian ibu dan anak yang masih tinggi, hingga masalah stunting yang belum kunjung usai.
"Ditambah dengan kasus gagal ginjal akut. Menunjukkan kita ini masih negara yang masuk kategori belum maju atau belum berkembang. Belum bisa memperbaiki itu secara signifikan. Ditambah lagi stunting, gizi buruk yang akhirnya membuat kita masih dalam kelompok negara yang belum maju," ujar Dicky.
Belum Sepenuhnya Berhasil Penuhi Hak Kesehatan Masyarakat
Pada kesempatan berbeda, Dicky mengungkapkan bahwa bila berkaca pada masalah gagal ginjal akut yang sedang hangat, pemerintah sebenarnya masih belum berhasil dalam memenuhi hak kesehatan masyarakat.
Menurutnya, salah satu hal yang memprihatinkan dalam konteks gagal ginjal akut adalah mayoritas obat yang tercemar merupakan obat murah. Obat tersebut kemudian banyak dikonsumsi oleh kalangan menengah kebawah dan punya keterbatasan akses pada layanan kesehatan dari sisi finansial dan demografis.
"Ini yang membuat potensi mereka terdeteksi kasusnya juga menjadi minim, karena sistem deteksinya lemah. Komitmennya juga lemah, penjangkauan yang lemah. Akhirnya korban yang ada tidak (semuanya) terdeteksi," ujar Dicky.
"Yang terkuak adalah kasus-kasus yang sifatnya di permukaan atau hanya di sentra-sentra yang dekat dengan pusat kekuasaan atau pusat pemerintahan.
Sehingga menurut Dicky, pemerintah masih belum berhasil dalam memenuhi hak kesehatan masyarakat. Mengingat mungkin saja ada masyarakat yang terpinggirkan dan terabaikan terkait gagal ginjal akut.
"Artinya pemerintah gagal memenuhi hak kesehatan masyarakat. Padahal konsumsi obat ini, bahkan kemungkinan besar korban dari adanya keteledoran dan kelalaian ini adalah masyarakat menengah kebawah," kata Dicky.
Advertisement