Sukses

Kepala BPOM Jelaskan Alur Produksi Obat yang Berlaku Sebelum Muncul Kasus Gagal Ginjal Akut

Kepala BPOM RI, Penny K Lukito menjelaskan bagaimana alur porduksi obat yang berlaku selama ini dan di mana celah yang ada sehingga bisa menimbulkan kelalaian.

Liputan6.com, Jakarta - Pencarian fakta terkait gagal ginjal akut masih terus dilakukan. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Penny K Lukito menjelaskan secara rinci bagaimana alur produksi obat di Indonesia sebelum munculnya kasus gagal ginjal akut.

Penny mengungkapkan bahwa bahan baku pelarut yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) merupakan barang impor. Kedua bahan baku ini umumnya digunakan untuk produk lainnya di luar industri farmasi dengan standar industrial grade.

Saat hendak diproduksi menjadi bahan baku obat, standar produknya kemudian harus berubah menjadi pharmaceutical grade melalui proses pemurnian. 

"Pada saat akan digunakan untuk industri farmasi, dia harus dalam pharmaceutical grade. Jadi murni, ada tahapan pemurnian. Sehingga harganya memang mahal, mungkin bedanya 10 kali lipat dibandingkan dengan industrial grade," ujar Penny saat berbincang dalam Corbuzier Podcast, Kamis (24/11/2022).

Pihak industri farmasi yang hendak memproduksi obat dengan bahan pelarut impor tersebut harus mendapatkan surat keterangan dari BPOM. Kemudian saat masuk ke Indonesia, BPOM hanya bertugas untuk mencatat itu dan melakukan post-market inspeksi nantinya secara acak.

Penny mengungkapkan bahwa sebelumnya sampel produk tidak diperiksa satu per satu oleh BPOM. Setiap tahunnya, BPOM hanya melakukan inspeksi acak pada produk industri farmasi. Hal ini merujuk pada standar internasional pemberian izin yang memang berlaku seperti itu.

"Tidak selalu seperti itu (diperiksa satu per satu bahan bakunya). Nanti banyak sekali dan mengganggu percepatan ke akses produksi obat. Tapi itu sesuai dengan standar internasional memang," kata Penny.

Meski demikian, BPOM tetap berupaya menjalankan peran pengawasan dengan melakukan inspeksi ke industri farmasi.

"Tapi setiap tahun kita melakukan inspeksi ke industri farmasi dan bagaimana mereka melakukan tahap produksinya sesuai dengan cara produksi obat yang baik," tambahnya.

2 dari 4 halaman

Kenapa Tidak Diperiksa BPOM?

Lebih lanjut Penny mengungkapkan bahwa bahan pelarut tersebut tidak diperiksa satu per satu oleh BPOM lantaran ada industri lain di luar farmasi yang menggunakannya. Sehingga tanggung jawab pemeriksaan bahan pelarut itu ada di Bea Cukai dan Kementerian Perdagangan.

Selama ini, BPOM hanya mengawasi bahan baku impor yang hendak diproduksi untuk obat (pharmaceutical grade). Bukan bahan pelarut yang masih berstatus industrial grade.

"Bahan baku (obat) kalau impor harus lewat BPOM. Tapi kalau pelarut ini tidak. Jadi kita memang terlewat. Ini bukan BPOM yang menentukan, tentunya ada institusi lain. Ada Bea Cukai dan Kementerian Perdagangan yang meneliti mana yang masuk," ujar Penny.

Sehingga setelah kejadian gagal ginjal akut, aturan untuk bahan baku obat termasuk bahan pelarut akhirnya diubah dan barulah ikut diawasi oleh BPOM.

"Setelah kejadian ini dan kami mengidentifikasi, saya sudah lapor ke Kementerian Keuangan, ke Bapak Presiden. Akhirnya diubah sudah (alur pengawasannya)," kata Penny.

3 dari 4 halaman

Celah dan Kelalaian dalam Kasus Gagal Ginjal Akut

Dalam kesempatan yang sama, Penny mengungkapkan bahwa memang ada celah dalam sistem jaminan mutu dan keamanan obat selama ini. Celah tersebutlah yang akhirnya dimanfaatkan oleh industri farmasi.

"Ada gap kalau kita lihat dalam sistem jaminan mutu dan keamanan obat, di mana di dalamnya bukan hanya BPOM karena ada pemasok bahan baku, yang saat ini belum dalam pengawasan BPOM. Gap inilah yang dimanfaatkan," ujar Penny.

Sehingga menurut Penny, temuan adanya EG dan DEG yang sangat tinggi ini merupakan kelalaian industri farmasi. Belum lagi, BPOM sendiri sebenarnya sudah memberikan standar ketentuan tersendiri dalam memproduksi obat.

"Di situ ada ketentuan dalam menerima pasokan bahan baku, mereka harus memastikan bahkan mengaudit produk produsennya. Mereka harus memastikan mereka mendapatkan (bahan baku) dari fasilitas produksi importir tadi itu yang memenuhi standar pharmaceutical dan mereka harus melakukan pengujian," kata Penny.

"Saringan terakhir untuk masuk ke produksi itu industri farmasi, karena dia harus menanggung quality control-nya. Jadi mereka harus punya sistem mutu yang kuat. Tidak bisa diawasi BPOM setiap hari, karena aturan yang berlaku seperti itu. Kita hanya melakukan inspeksi setiap tahun," tambahnya.

4 dari 4 halaman

5 Industri Farmasi yang Melanggar

Sejauh ini, sudah ditemukan ada lima industri farmasi yang terbukti melanggar aturan dan produknya mengandung EG dan DEG tinggi. Kelimanya adalah PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, PT Afi Pharma, PT Samco Farma, dan PT Ciubros Farma.

"Rapor merahnya dari industri yang lima ini memang catatannya ada. Itu dia kenapa mereka bisa kena sampling kita juga. Terkejar dalam jalur pada saat kita mencari," ujar Penny.

"Susah banget kan industri farmasi itu ada 200. Alhamdulillah BPOM bisa menemukan dengan cepat, karena kami punya catatan. Makanya yang kita telusuri kan industri farmasi yang banyak sekali rapor merahnya."

Penny menjelaskan, setelah temuan itu, akses untuk memproduksi obat pada kelima industri farmasi tersebut pun telah dicabut. Produk-produknya telah ditarik dari peredaran beserta dengan Sertifikat CPOB (Cara Produksi Obat yang Baik)-nya sehingga tidak bisa lagi memproduksi obat.