Sukses

Menkes Budi Nilai Standar BPJS Kesehatan Sangat Tinggi, Keuangan Bisa Negatif

Standar pelayanan BPJS Kesehatan dinilai sangat tinggi yang berpotensi keuangan bisa negatif.

Liputan6.com, Jakarta Standar pelayanan BPJS Kesehatan, menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin, masih sangat tinggi. Ada kekhawatiran bila sewaktu-waktu ke depannya berpotensi mengakibatkan kondisi keuangan negatif.

Pernyataan Budi Gunadi di atas merujuk pada penggolongan kelas kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan, yakni Kelas 1, 2, dan 3.

Kategori kelas dalam kepesertaan BPJS Kesehatan adalah istilah yang merujuk pada tingkatan yang bisa dipilih oleh setiap peserta sesuai kemampuan finansialnya. Penggolongan Kelas 1, 2, dan 3 memiliki jumlah biaya iuran yang berbeda-beda untuk dibayarkan setiap bulan.

Meski iuran tiap peserta JKN masing-masing berbeda, hal ini tidak memengaruhi tindakan pelayanan medis yang didapat peserta dan dipastikan sama rata, terkecuali untuk beberapa fasilitas tertentu.

"Kalau dia (BPJS Kesehatan) didesainnya terlampau luas dan sekarang saya bilang, kenapa luas? Terlampau banyak kelasnya, ada Kelas 1, Kelas 2, Kelas 3, itu nantinya dia akan tidak sustainable (berkelanjutan)," terang Budi Gunadi di sela-sela acara 'Indonesian Society of Interventional Cardiology Annual Meeting 2022' di Hotel Shangri-La Jakarta pada Jumat, 25 November 2022.

"Kenapa? Karena kewajibannya -- pembiayaan JKN yang ditanggung -- akan tinggi sekali. Konsep asuransi sosial yang baik itu meng-cover (menanggung) seluruh masyarakat Indonesia, mau kaya, miskin, tua, muda, di mana pun, di Sabang sampai Merauke. Tapi dengan standar tertentu, bukan standar yang sangat tinggi seperti sekarang."

2 dari 4 halaman

Tak Bisa Tanggung Pembiayaan Setinggi-tingginya

Cakupan kepesertaan Program JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan yang disebut Universal Health Coverage (UHC) atau Cakupan Kesehatan Semesta untuk memastikan minimal 95 persen dari total jumlah penduduk telah mendapatkan akses finansial terhadap pelayanan kesehatan dengan mendaftarkan dirinya atau didaftarkan menjadi peserta JKN.

Walau begitu, pengelolaan pelayanan dan pembiayaan yang ditanggung harus didesain dengan baik. Standar pelayanan diatur agar tidak terlampau besar menanggung biaya.

"Didesain dengan standar tertentu yang memang bisa dicover (ditanggung) oleh keuangan negara pada kondisinya. Nah, untuk tambahannya, jadi standar layanan tertentu, ini enggak boleh terlampau besar. Karena kalau enggak, dia akan negatif terus (keuangannya)," jelas Budi Gunadi Sadikin.

Kembali ditegaskan Menkes Budi Gunadi, BPJS Kesehatan dapat menanggung kepesertaan JKN, namun bukan berarti harus menanggung pembiayaan setinggi-tingginya.

"Asuransi sosial seluruh rakyat Indonesia ya buat kaya atau miskin, dari Sabang - Merauke, tua - muda, tetapi dia tidak bisa cover (menanggung) setinggi-tingginya (pembiayaan). Karena tidak adil, negara juga tidak akan kuat," tegasnya.

"Ini nanti akan menyebabkan masalah jumlah yang dicover. Ya akan dicover dasarnya saja, namanya KDK, Kelas Dasar Kesehatan yang harus dicover. Terus di atasnya ada enggak layanan-layanan yang membutuhkan?"

3 dari 4 halaman

Perbaiki Standar Layanan

Menilik kekhawatiran potensi keuangan negatif, Menkes Budi Gunadi Sadikin menyoroti soal perbaikan standar layanan dalam BPJS Kesehatan, khususnya layanan tambahan.

Untuk orang miskin termasuk Peserta Bantuan Iuran (PBI) adalah mereka yang ditanggung layanan tambahannya. Sementara itu, bagi orang kaya, layanan tambahan harus ditanggung sendiri melalui asuransi kesehatan swasta yang dimiliki.

Sistem inilah yang harus ditautkan atau dikoneksikan oleh BPJS Kesehatan.

"Untuk standar layanan tambahan, yang miskin itu dicover (ditanggung) oleh Pemerintah, layanan tambahannya itu dibayarin oleh Pemerintah," beber Budi Gunadi.

"Tapi yang kaya, dia harus beli sendiri dengan perusahaan swasta -- asuransi kesehatan swasta. Kalau tidak, nanti yang kaya ini bisa akses, yang miskin enggak bisa akses, justru ketidakadilan itu terjadi."

4 dari 4 halaman

Prinsip Kegotongroyongan

Merujuk UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU JKN), BPJS Kesehatan menganut sistem Universal Health Coverage, di mana setiap penduduk yang menjadi peserta bisa mengakses layanan kesehatan.

BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota keluarganya, bunyi Pasal 3 UU JKN.

Sementara di Pasal 4 dijelaskan, dalam penyelenggaraannya, BPJS Kesehatan menganut prinsip gotong-royong, tidak mengejar keuntungan, keterbukaan, dan akuntabilitas.

Yang dimaksud dengan “prinsip kegotongroyongan” adalah prinsip kebersamaan antar Peserta dalam menanggung beban biaya Jaminan Sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap Peserta membayar Iuran sesuai dengan tingkat Gaji, Upah, atau penghasilannya.

Kemudian, dengan adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, bangsa Indonesia telah memiliki sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional perlu dibentukbadan penyelenggara yang berbentuk badan hukum publik berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan Peserta.