Sukses

Banyak Pasangan Pilih Tidak Punya Anak, Korsel Dalam Bayang-Bayang Krisis Demografis

Saat ini, banyak anak muda di Korea Selatan yang memilih untuk tidak menikah atau tidak memiliki anak.

Liputan6.com, Jakarta Saat ini, tak sedikit warga Korea Selatan yang memilih untuk tidak menikah atau tidak memiliki anak (childfree). Penyebabnya tak lain adalah perubahan pandangan pada kehidupan pernikahan, berkeluarga, hingga ketidakpastian pada masa depan.

Salah satunya terjadi pada Yoo, seorang karyawan perusahaan keuangan di Seoul berusia 30 tahun. Yoo mengungkapkan bahwa neneknya dahulu melahirkan enam anak, ibunya melahirkan dua anak, dan dirinya sendiri tidak mau.

"Suami saya dan saya sangat menyukai bayi. Tetapi ada hal-hal yang harus kami korbankan jika kami ingin membesarkan anak. Jadi ini masalah pilihan dan kami sepakat untuk fokus pada diri kami masing-masing," ujar Yoo mengutip US News, Senin (28/11/2022).

Tren untuk tidak menikah atau tidak memiliki anak meningkat di negara maju lainnya. Namun khusus di Korea Selatan, krisis demografis akibat tren tersebut diketahui terjadi dengan lebih buruk.

Menurut data Badan Statistik Korea Selatan per September 2022, jumlah rata-rata bayi yang lahir hanya 0,81 pada tahun 2021. Angka tersebut menjadi yang terendah di dunia selama tiga tahun berturut-turut.

Populasi menyusut untuk pertama kalinya di Korea Selatan pada 2021. Akibatnya, kekhawatiran timbul karena populasi yang menurun dianggap bisa merusak ekonomi karena kurangnya tenaga kerja.

Serta, pengeluaran yang juga meningkat karena jumlah orang tua mengalami kenaikan sedangkan jumlah pembayar pajak menyusut. Padahal, Korea Selatan tercatat telah mengeluarkan 280 triliun won untuk mengembalikan keadaan itu selama 16 tahun terakhir.

2 dari 4 halaman

Perubahan Pola Pikir terkait Menikah dan Anak

Di era saat ini, banyak anak muda di Korea Selatan yang mengatakan bahwa zaman telah berbeda, tidak seperti saat era orangtua dan kakek-nenek mereka. Mereka merasa tidak memiliki kewajiban untuk punya keluarga.

Ketidakpastian pada masa depan mencakup pasar kerja yang suram, perumahan yang mahal, ketidaksetaraan gender dan sosial, tingkat mobilitas yang rendah, dan biaya yang besar untuk membesarkan anak-anak dalam masyarakat yang sangat kompetitif.

Tak berhenti di sana, banyak perempuan di Korea Selatan yang mengeluhkan budaya patriarki yang gigih dan memaksa mereka untuk berfokus pada pengasuhan anak sambil menanggung diskriminasi di tempat kerja.

"Singkatnya, orang berpikir negara kita bukan tempat yang mudah untuk ditinggali. Mereka percaya anak-anak mereka tidak dapat memiliki kehidupan yang lebih baik dari mereka, dan akhirnya mempertanyakan kenapa mereka harus repot-repot punya bayi," ujar pakar kebijakan kependudukan di Institut Kesehatan dan Sosial Korea, Lee So-Young.

3 dari 4 halaman

Terhantam Realita: Sulit di Dunia Pendidikan dan Pekerjaan

Ahli di Korea Institute of Child Care and Education, Choi Yoon Kyung mengungkapkan bahwa banyak orang yang tidak dapat masuk ke sekolah yang bagus dan mendapatkan pekerjaan yang layak.

Kebanyakan dari mereka akhirnya merasa tidak bahagia jika mereka harus menikah dan memiliki anak. Menurut Choi, Korea Selatan pun telah gagal membangun program kesejahteraan seperti itu sejak 1960 hingga 1980.

Yoo pun menjelaskan awal mula perubahan pikirannya terkait memiliki anak. Kala itu, dirinya melihat rekan kerja wanitanya harus menelpon anaknya di toilet perusahaan. Serta, harus meninggalkan pekerjaan saat anak-anak mereka sakit. Sedangkan para pekerja pria tidak harus melakukan itu.

"Setelah melihat itu, saya menyadari konsentrasi saya di tempat kerja akan sangat berkurang jika saya punya anak," kata Yoo.

Sedangkan suami Yoo, Jo Jun Hwi (34) mengatakan bahwa dirinya tidak berpikir bahwa memiliki anak itu perlu. Dirinya lebih ingin menikmati hidup setelah bertahun-tahun mencari pekerjaan yang melelahkan.

4 dari 4 halaman

Bukan Tempat yang Bijak untuk Membesarkan Anak

Pendapat serupa datang dari Kang Han Byeol, seorang desain grafis 33 tahun yang memutuskan untuk tetap melajang. Menurutnya, Korea Selatan bukanlah tempat yang tepat untuk membesarkan anak.

Kang Han merujuk pada kefrustrasian dengan ketidaksetaraan gender, kejahatan seks secara digital, dan budaya yang mengabaikan mereka untuk mendorong keadilan sosial.

"Saya dapat mempertimbangkan pernikahan saat masyarakat kita sudah menjadi lebih sehat dan punya status yang lebih setara bagi perempuan dan laki-laki," ujar Kang Han.

Teman sekamar Kang Han yang berusia 26 tahun, Ha Hyunji juga memutuskan untuk tetap melajang setelah teman-teman wanitanya yang sudah menikah menasehatinya untuk tidak menikah. Hal tersebut lantaran sebagian besar pekerjaan rumah dan perawatan anak akan jatuh pada tangan mereka.

Belum lagi kekhawatiran Ha Hyunji pada sejumlah besar uang yang harus dikeluarkan untuk les privat anak-anak di masa depan demi mencegah mereka tertinggal di negara yang terobsesi pada pendidikan tersebut.

"Saya bisa menjalani kehidupan yang menyenangkan tanpa pernikahan dan menikmati hidup saya bersama teman-teman," kata Ha Hyunji.