Liputan6.com, Jakarta Saat ini, China tengah kembali mengalami kenaikan kasus COVID-19. Data himpunan Komisi Kesehatan Nasional per 29 November, kasus baru yang dilaporkan hari itu mencapai 37.828.
Pada Rabu, 30 November 2022, dari mereka yang terinfeksi COVID-19 ada 4.288 orang diantaranya yang dinyatakan positif kemarin mengalami gejala, sementara sisanya 33.540 tidak bergejala.
Baca Juga
Kasus COVID-19 harian tersebut pun sebenarnya telah menurun bila dibandingkan dengan sehari sebelumnya yang mencapai 38.645 kasus.Â
Advertisement
Sedangkan merujuk pada data yang dipublikasikan oleh BBC, saat ini China tengah menyentuh puncak kasus COVID-19 tertingginya, melebihi kasus yang terjadi pada bulan April 2022 lalu.
Dalam seminggu, jumlah kasus COVID-19 di China telah mencapai hampir 200 ribu. Infeksi baru terjadi pada seluruh kota. Termasuk Guangzhou, Beijing, Shanghai, dan Chongqing.
Meski sedang terjadi lonjakan kasus, tak menghalang warga China untuk melakukan protes menolak aturan lockdown yang berlaku. Demo besar-besaran berlangsung di sana, banyak warga yang bentrok dengan para polisi di Guangzhou pada Selasa, 29 November 2022.
Seperti diketahui, China memiliki salah satu rezim anti COVID-19 terberat di dunia. Pihak otoritas setempat memberlakukan lockdown meskipun hanya ada segelintir kasus.
Sejauh ini, saat ada kasus baru, tes COVID-19 massal diadakan pada tempat-tempat dimana kasus telah dilaporkan. Warganya yang positif COVID-19 diperbolehkan untuk isolasi di rumah maupun di fasilitas pemerintah.
Aturan Lockdown di China
Di sisi lain, saat lockdown berlaku, bisnis, pusat pertokoan, dan sekolah ditutup. Kecuali toko yang menjual makanan. Lockdown tersebut akan berlangsung hingga tidak adanya lagi infeksi baru yang dilaporkan.
Alhasil, puluhan juta orang harus berdiam diri di rumah selama lockdown berlangsung. Beberapa otoritas lokal bahkan mengambil tindakan ekstrem dengan memaksa para pekerjanya untuk tidur di dalam pabrik. Gunanya agar para karyawan dapat bekerja selama lockdown berlangsung.
Aturan nol kasus COVID-19 di China menuai protes. Namun, pemerintah China menganggap bahwa hal itu menyelamatkan nyawa karena wabah yang tidak terkendali akan membahayakan banyak orang rentan, termasuk para orang tua.
Akibat lockdown tersebut, ekonomi China pun hanya tumbuh 3,9 persen selama setahun terakhir. Persentase tersebut menurun dibandingkan dengan targetnya sebesar 5,5 persen di tahun 2022.
Angka pengangguran pun meningkat di kalangan anak muda China. Pasar properti melemah hingga ikut memengaruhi bisnis dan konsumen di seluruh dunia.Â
Advertisement
Jumlah Tempat Tidur di RS China Tidak Memadai
Mengutip laman NPR, ada banyak rumah sakit yang kekurangan tempat tidur. Sehingga aturan lockdown tersebutlah yang dianggap efektif mencegah kenaikan kasus.
Salah satu pakar di China memperkirakan jika Beijing mencabut aturan lockdown, maka jumlah rawat inap akan sangat banyak dan merusak sistem medis di sana.
Sementara tingkat vaksinasi secara keseluruhan pun di sana cukup tinggi. Meskipun capaiannya untuk kategori orang tua masih rendah. China pun diketahui tidak mau menerima vaksin dari negara lain.
Padahal, para peneliti di China mengatakan vaksin buatan China masih kurang efektif bila dibandingkan dengan vaksin mRNA di negara lain.
Capaian Vaksinasi COVID-19 yang Rendah di China
Hingga kini, hanya sekitar 59 persen orang yang berusia 80 tahun ke atas di China yang telah menerima vaksinasi dosis pertama. Sedangkan, hanya ada 51 persen orang berusia 60-69 tahun yang telah menerima vaksinasi dosis penuh.
Padahal, orang tua menjadi salah satu kelompok berisiko. China pun mengaku telah mendesak para orang tua untuk melakukan vaksinasi. Namun, China sendiri menolak untuk menggunakan vaksin yang lebih efektif.
Selama ini, China diketahui hanya menggunakan dua jenis vaksin yakni Sinovac dan Sinopharm. Saat negara-negara Barat menawarkan jenis vaksin lain, China menolak untuk memberikannya secara luas pada warganya.
Pemerintah pun belum memberikan penjelasan secara resmi. Namun, peneliti senior di China, Dr Yu Jie menganggap hal itu berkaitan dengan keinginan idealis Presiden China Xi Jinping untuk menggunakan vaksin buatannya sendiri.
"Saya pikir Xi Jinping benar-benar memikirkan soal kemandirian ekonomi, yang perlu membuat CHina memproduksi dan menggunakan vaksinnya sendiri daripada mengimpornya dari suatu tempat," kata Yu Jie.
Advertisement