Sukses

Banyak Pasien Diabetes Tak Berobat, Kemenkes: Alasannya Sudah Merasa Sehat

Sudah merasa sehat menjadi alasan utama pasien diabetes tak jalani pengobatan.

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia mencatat, masih banyak pasien diabetes yang tidak menjalani pengobatan. Padahal, orang yang bersangkutan sudah tahu bila dirinya mengidap diabetes dan perlu penanganan segera untuk mengontrol gula darah.

Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi, ada beberapa alasan pasien diabetes enggan berobat. Salah satu alasannya adalah sudah merasa sehat dan tidak mengalami gejala apapun.

"Pengobatan rata-rata yang kita lihat pada pasien diabetes melitus itu 1 dari 4 atau 5 orang. Kalau kita punya 1 pengidap diabetes, sebenarnya ada 500 orang yang sudah mengetahui dirinya diabetes," paparnya saat acara 'Media Briefing: Hari Diabetes Sedunia 2022' di Aston Kemayoran City Hotel, Jakarta, ditulis Minggu (4/12/2022).

"Dari yang sudah mengetahui dirinya diabetes ternyata masih ada juga yang tidak diobati, ada 9 persen. Lalu, yang menggunakan obat anti diabetes dari tenaga medis ada 5 persen. Yang tidak diobati itu merasa sudah sehat kemudian berpikir tidak perlu berobat."

Pengobatan yang tidak dilakukan pada banyak pasien diabetes terutama tidak rutin minum obat. Sementara penanganan diabetes dibutuhkan kepatuhan pasien untuk minum obat.

"Ada beberapa alasan tidak minum obat diabetes secara rutin. Mereka merasa sehat dan tidak rutin ke fasilitas kesehatan (faskes) -- untuk cek kesehatan. Tapi umumnya merasa sudah lebih sehat dan tidak sakit adalah alasan utama. Padahal, kepatuhan pengobatan diabetes menjadi penting," imbuh Nadia.

2 dari 4 halaman

70 Persen Pasien Tak Capai Target Pengobatan

Berdasarkan data Kemenkes, sebanyak 70 persen pasien diabetes tidak mencapat target pengobatan. Apalagi prevalensi Diabetes Tipe 2 meningkat.

Tak hanya diabetes, Penyakit Tidak Menular (PTM) lain seperti kardiovaskular (penyakit jantung), hipertensi, dan kanker juga makin bertambah.

"Semuanya ini merupakan penyakit yang sebenarnya banyak dipengaruhi gaya hidup. Tingginya konsumsi gula - garam -  lemak, merokok, kurang aktivitas fisik, sehingga fokus pengendalian butuh upaya keras untuk menurunkan prevalensi PTM," terang Siti Nadia Tarmizi.

"Dan 70 persen pasien diabetes tidak mencapai target pengobatan. Diharapkan dengan adanya kolaborasi pemanfaatan teknologi, dukungan komunitas akan sangat membantu."

Hampir di semua belahan dunia, penyakit diabetes juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Di Asia Tenggara, prevalensi diabetes pada usia 20 sampai 79 tahun, Indonesia tertinggi ke-5 di antara negara-negara di Asia Tenggara atau diperkirakan sekitar 90,2 juta.

"Prevalensi diabetes Indonesia tahun 2045, diperkirakan bertambah 19,5 juta pasien sehingga jumlahnya menjadi 28,6 juta pasien," jelas Nadia.

3 dari 4 halaman

Permasalahan Komplikasi Diabetes

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menekankan, diabetes yang tidak tidak terkontrol dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan masalah kesehatan serius seperti komplikasi jantung, stroke dan gagal ginjal yang mengharuskan pasien melakukan cuci darah sepanjang hidupnya.

“Penyakit gula itu jelek sekali. Kenapa? Karena dia ibu dari segala penyakit. Kalau kadar gula tidak terkontrol selama 3-5 tahun itu pasti harus cuci darah, atau kena stroke atau kena jantung,” ujarnya saat mengunjungi sejumlah Posyandu Prima di Kecamatan Jereweh, Kabupaten Sumbawa Barat pada 14 Oktober 2022.

Sebagai gambaran, seorang penderita diabetes yang telah mengalami komplikasi gagal ginjal harus melakukan cuci darah sekitar 3 sampai 4 hari per minggu. Dalam sekali cuci darah, membutuhkan waktu 3 sampai 4 jam. Hal ini memengaruhi kualitas hidup, produktivitas serta ekonomi penderita.

“Artinya, ini tidak ada kehidupan lagi. Kalau bisa jangan sampai cuci darah, supaya jangan cuci darah jangan diabetes, supaya jangan diabetes gula darahnya harus dikontrol,” harap Budi Gunadi.

4 dari 4 halaman

Prevalensi Diabetes Naik

Terkait Gula Garam Lemak (GGL), data Kemenkes menunjukkan, 28,7 persen masyarakat Indonesia mengonsumsi melebih batas yang dianjurkan. Batasan konsumsi GGL sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 yang diperbarui dengan Permenkes Nomor 63 Tahun 2015.

Selanjutnya, sebanyak 61,27 persen penduduk usia 3 tahun ke atas di Indonesia mengonsumsi minuman manis lebih dari 1 kali per hari, dan 30,22 persen orang mengonsumsi minuman manis sebanyak 1 - 6 kali per minggu.

Sementara hanya 8,51 persen orang mengonsumsi minuman manis kurang dari 3 kali per bulan (data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018).

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, konsumsi gula berlebih, baik dari makanan atau minuman berisiko tinggi menyebabkan masalah kesehatan misal, gula darah tinggi, obesitas, dan diabetes melitus.

Dalam kurun waktu lima tahun saja, terjadi peningkatan prevalensi penyakit tidak menular di indonesia. Berdasarkan data tahun 2013, prevalensi diabetes sebesar 1,5 permil meningkat pada tahun 2018 menjadi 2 permil.

Penyakit gagal ginjal kronis dari 2 permil menjadi 3,8 permil, sedangkan stroke meningkat dari 7 permil menjadi 10,9 permil.

“Tentunya ini akan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan di Indonesia. Terlebih lima penyebab kematian terbanyak di Indonesia didominasi oleh penyakit tidak menular,” jelas Maxi dalam pernyataan resmi pada 27 September 2022.