Liputan6.com, Jakarta Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) segera disahkan akhir tahun ini. Namun, dalam draft RKUHP tersebut ada dua pasal kesehatan yang dinilai bermasalah seperti diungkap oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).
Kedua pasal tersebut yakni pasal 410 dan 412 mengenai akses alat pencegah kehamilan.
Baca Juga
RKUHP telah disepakati pada Rapat Pembicaraan Tingkat 1 DPR RI pada 24 November 2022 lalu. Komisi Hukum dan Pemerintahan DPR RI telah membahas 23 poin dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) fraksi kepada pemerintah. Usai disepakati pada pembicaraan tingkat 1, RKUHP akan dibahas pada Rapat Tingkat 2 untuk kemudian disahkan dalam sidang paripurna.
Advertisement
“Masyarakat sipil melihat rancangan KUHP versi 9 November oleh Kementerian Hukum dan HAM masih belum secara utuh mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil, terutama terkait kesehatan, gender, dan kelompok rentan,” ujar CEO dan Pendiri CISDI Diah Saminarsih dalam keterangan pers yang diterima Health Liputan6.com belum lama ini.
Ia menambahkan, perubahan mendesak pada pasal 410 dan 412 mengenai alat pencegah kehamilan perlu segera dilakukan mengingat urgensi dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.
Terkait itu, Diah mencatat tiga hal krusial yakni:
Pertama, pasal 410 melarang menunjukkan alat pencegah kehamilan pada anak yang merupakan salah satu bentuk promosi kesehatan seksual dan reproduksi. Ini berpotensi turunkan capaian kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia yang saat ini cukup rendah. Pasal ini juga menetapkan sanksi pidana bagi siapa saja yang mempertunjukkan alat pencegah kehamilan pada anak-remaja.
Dikhawatirkan Hambat Promosi Kesehatan
Survei Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2017 menunjukkan rendahnya angka anak-remaja laki-laki (11 persen) dan perempuan (12 persen) yang telah menerima promosi kesehatan mengenai Keluarga Berencana (KB) dan Pengendalian Kehamilan pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP).
Angka yang rendah ini dikhawatirkan akan lebih rendah lagi jika ditambah adanya pembatasan tersebut yang disertai pula dampak pidana, kata Diah.
Temuan UNICEF tahun 2020 juga mencatat tingginya angka remaja perempuan di Indonesia (32 persen) yang belum mampu mengakses alat kontrasepsi modern. Situasi ini turut berkontribusi pada tingginya angka kehamilan remaja (kehamilan terlalu muda) di Indonesia.
Studi Bank Dunia (2017) menemukan 47,3 dari setiap 1.000 remaja perempuan di Indonesia pernah melahirkan. Temuan ini lebih tinggi dari rata-rata dunia, yakni 44 dari setiap 1.000 remaja perempuan.
Advertisement
Edukasi Seksual Sentralistik
Hal krusial kedua yang menjadi catatan CISDI adalah pasal 410 dan 412 menyatakan hanya petugas berwenang dan relawan ditunjuk pemerintah yang boleh memberi edukasi alat pencegah kehamilan pada anak.
Ini berpotensi membuat pendekatan layanan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi sentralistik, menghambat kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat sipil. Dan membatasi pendekatan informal untuk edukasi kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif.
Sebagai catatan, data Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) 2019 menunjukkan dari 9.805 puskesmas di Indonesia, hanya 2.035 (20,8 persen) puskesmas yang memiliki dan dapat menunjukkan Pedoman Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Remaja.
“Sedangkan, 1.390 (14,2 persen) puskesmas mengaku memiliki, tapi tidak dapat menunjukkan pedoman tersebut. Mayoritas sisanya, sekitar 6.380 (65,1 persen) puskesmas, bahkan tidak memiliki Pedoman Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Remaja,” ujar Diah.
Di luar keterbatasan kapasitas layanan, Survei Adolescent Reproductive Health yang dilakukan oleh BPS menunjukkan tingginya preferensi anak-remaja (usia 15-24 tahun) yang belum menikah melakukan diskusi mengenai kesehatan reproduksi bersama temannya dibandingkan layanan formal. Survei ini dilakukan bersama United States Agency for International Development (USAID), Kementerian Kesehatan, dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Membatasi Informasi Komprehensif
Ketiga, pasal 412 yang membuat layanan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi sentralistik berisiko membatasi informasi anak dan remaja dengan HIV terhadap edukasi seksual dan reproduksi yang komprehensif.
Riset Jacobi (2020) menjelaskan tingginya stigma dan diskriminasi menyulitkan orang dengan HIV (ODHIV) mengakses layanan kesehatan.
Sementara itu, pendekatan informal terbukti lebih efektif meningkatkan pemahaman dan pengetahuan anak dan remaja mengenai kesehatan reproduksi dan HIV. Riset Kebijakan AIDS Indonesia (2016) menekankan pentingnya peran kelompok dukungan sebaya dalam meningkatkan pemahaman anak-remaja dengan HIV.
Kelompok dukungan sebaya dapat memberi dukungan mengenai kepercayaan diri, pengetahuan, pengetahuan kesehatan seksual dan reproduksi, akses layanan, perilaku pencegahan, dan kegiatan positif lainnya.
Di tengah proses pengesahan tingkat kedua RKUHP yang akan berlangsung dalam waktu dekat, realitanya pasal terkait kesehatan masyarakat dan kelompok rentan belum terakomodasi sepenuhnya.
“Kami mendesak DPR RI mempertimbangkan dan mengatasi ketiga isu krusial tersebut karena berpotensi memberikan dampak buruk pada kesehatan masyarakat,” tutup Diah.
Advertisement