Sukses

Terkesan Terburu-Buru, CISDI Sayangkan Pengesahan RKUHP

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) melalui sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada 6 Desember 2022.

Liputan6.com, Jakarta Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah disahkan menjadi Undang-Undang melalui sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada 6 Desember 2022.

Pengesahan ini disayangkan oleh berbagai pihak termasuk Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI). Organisasi ini melihat bahwa pengesahan RKUHP terburu-buru padahal masih ada pasal yang bermasalah.

Ada empat hal yang disayangkan oleh CISDI yakni:

1. Menyayangkan pengesahan RKUHP melalui mekanisme dan prosedur yang sangat terburu-buru dan minim pelibatan masyarakat sipil, khususnya dalam bidang kesehatan, gender, dan Hak Asasi Manusia (HAM)

2. Mengecam DPR RI dan Kemenkumham RI yang terburu-buru mengesahkan RKUHP dengan pasal-pasal bermasalah yang berpotensi mencederai nilai-nilai demokrasi 

3. Mengecam DPR RI yang meloloskan pasal-pasal yang berpotensi menurunkan capaian kesehatan masyarakat

4. Mendorong seluruh elemen masyarakat mengawal proses KUHP pasca pengesahan yang implementasinya akan dilakukan dalam 3 tahun ke depan.

“Masyarakat sipil melihat Rancangan KUHP versi 30 November oleh Kementerian Hukum dan HAM masih belum secara utuh mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil, terutama terkait kesehatan, gender, dan kelompok rentan,” kata Chief of Research and Policy CISDI, Olivia Herlinda dalam keterangan pers yang diterima Health Liputan6.com ditulis Rabu (7/12/2022).

2 dari 4 halaman

Dampak bagi Bidang Kesehatan Tidak Diperhitungkan

Olivia menambahkan, dalam proses pembahasannya RKUHP sejauh ini luput dari pertimbangan perspektif kesehatan masyarakat. Sehingga dampaknya terhadap bidang kesehatan, gender, kerentanan, dan hak asasi manusia tidak diperhitungkan.

“Khususnya pada pasal terkait kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian CISDI, adanya muatan sanksi pidana pada pasal 408 dan 410 mengenai alat pencegah kehamilan akan berdampak pada terbatasnya akses anak-remaja terhadap promosi kesehatan seksual dan reproduksi.”

Hal ini juga berpotensi menurunkan capaian kesehatan seksual dan reproduksi, khususnya pada anak-remaja dalam jangka panjang.

“Pengesahan RKUHP menyulitkan upaya mencapai target kesehatan seksual dan reproduksi yang sebenarnya telah direncanakan pemerintah sendiri.”

“Dengan adanya sanksi pidana, pasal ini rentan mengkriminalisasi elemen masyarakat yang selama ini menjadi relawan atau tergabung dalam komunitas edukasi kesehatan seksual dan reproduksi,” kata Olivia.

3 dari 4 halaman

Gegara Sanksi Pidana

Sanksi pidana ini juga dinilai akan berpotensi membuat kelompok relawan enggan melakukan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi pada komunitasnya masing-masing. Padahal, tenaga puskesmas dan edukator selama ini sangat terbatas.

Sebelumnya, CISDI menemukan dalam draft RKUHP tersebut ada dua pasal kesehatan yang dinilai bermasalah.

Kedua pasal tersebut yakni pasal 410 dan 412 mengenai akses alat pencegah kehamilan.

“Masyarakat sipil melihat rancangan KUHP versi 9 November oleh Kementerian Hukum dan HAM masih belum secara utuh mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil, terutama terkait kesehatan, gender, dan kelompok rentan,” ujar CEO dan Pendiri CISDI Diah Saminarsih dalam keterangan pers.

Sebelum disahkan, Diah mendesak DPR RI untuk mengubah pasal 410 dan 412 mengenai alat pencegah kehamilan mengingat urgensi dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.

4 dari 4 halaman

Tiga Hal Krusial

Diah juga mencatat ada tiga hal krusial soal RKUHP. Pertama, pasal 410 melarang menunjukkan alat pencegah kehamilan pada anak yang merupakan salah satu bentuk promosi kesehatan seksual dan reproduksi.

Ini berpotensi menurunkan capaian kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia yang saat ini cukup rendah. Pasal ini juga menetapkan sanksi pidana bagi siapa saja yang mempertunjukkan alat pencegah kehamilan pada anak-remaja.

Hal krusial kedua yang menjadi catatan CISDI adalah pasal 410 dan 412 menyatakan hanya petugas berwenang dan relawan ditunjuk pemerintah yang boleh memberi edukasi alat pencegah kehamilan pada anak.

Ini berpotensi membuat pendekatan layanan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi sentralistik, menghambat kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat sipil. Dan membatasi pendekatan informal untuk edukasi kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif.

Ketiga, pasal 412 yang membuat layanan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi sentralistik berisiko membatasi informasi anak dan remaja dengan HIV terhadap edukasi seksual dan reproduksi yang komprehensif.

Riset Jacobi (2020) menjelaskan tingginya stigma dan diskriminasi menyulitkan orang dengan HIV (ODHIV) mengakses layanan kesehatan.

Sementara itu, pendekatan informal terbukti lebih efektif meningkatkan pemahaman dan pengetahuan anak dan remaja mengenai kesehatan reproduksi dan HIV. Riset Kebijakan AIDS Indonesia (2016) menekankan pentingnya peran kelompok dukungan sebaya dalam meningkatkan pemahaman anak-remaja dengan HIV.

Kelompok dukungan sebaya dapat memberi dukungan mengenai kepercayaan diri, pengetahuan, pengetahuan kesehatan seksual dan reproduksi, akses layanan, perilaku pencegahan, dan kegiatan positif lainnya.