Sukses

Polio Tak Bikin Semangat Cecilia Kendur Jadi Dokter Rematik

Semangat Cecilia Renny Padang jadi dokter rematik meski mengidap penyakit Polio.

Liputan6.com, Jakarta Ah, saya tidak merasa seperti orang cacat (karena mengidap Polio) dan tetap semangat, enggak minder di depan orang lain, demikian kalimat penyemangat yang berulang kali diucapkan Cecilia Renny Padang. Cecilia merupakan dokter spesialis rematik dan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Jakarta Barat, yang sekaligus penyandang Polio.

Semangat dokter Cecil – begitu para jurnalis kesehatan menyapa namanya – terpancar dari raut wajahnya yang tak berhenti tersenyum. Di balik kerutan wajah, dokter kelahiran Manado, 17 Juni 1955 ini seakan memberi suntikan semangat kepada penyandang Polio di luar sana agar bangkit dan terus produktif.

“Yang membuat saya termotivasi dan tetap semangat itu dari keluarga. Pertama itu dari keluarga dulu ya, baru kemudian teman-teman dan masyarakat. Keluarga saya, Papi, Mami, adik saya, kakak saya yang seorang dokter, tidak pernah membeda-bedakan saya,” tutur Cecil saat berbincang dengan Health Liputan6.com usai acara Peluncuran Buku ‘Hidup Bersama Polio: Sumbangsihku bagi Bangsa dan Negara’ di Hotel JS Luwansa Jakarta, ditulis Senin (12/12/2022).

“Jadi, kalau disuruh pergi belanja gitu, ya zaman dulu kan semua masih kecil, saya ikutan diajak walaupun harus digendong sama mereka. Kalau mereka main, misalnya, main kasti, main bulutangkis, saya ingat ikutan juga walaupun saya harus lari dengan susah payah.”

Kenangan masa kecil di atas dan perjuangan Cecil dengan penyakit Polio yang diidapnya sejak usia 1 tahun 9 bulan tertulis apik dalam buku biografi berjudul, Hidup Bersama Polio: Sumbangsihku bagi Bangsa dan Negara. Buku ini berisikan penuturan dokter Cecil langsung soal bagaimana ia bangkit, yang kemudian menjadikan Polio sebagai ‘sahabat’ di sepanjang sisa hidupnya.

“Saat saya baru berumur 1 tahun 9 bulan, menurut cerita Mami saya, tiba-tiba saja saya kena Polio. Karena waktu itu ada saudara sepupu yang tinggal serumah, lalu kena Polio sehingga saya akhirnya tertular,” kata Cecil.

2 dari 5 halaman

Lebih Banyak Merasa ‘Tidak Cacat’

Virus Polio yang tertular dari saudara sepupunya membuat Cecilia Renny Padang mengalami gejala berupa demam tinggi hampir menyentuh 40 derajat Celsius disertai kejang. Polio pun menyerang kaki kiri Cecil, yang semakin lama mengecil ketimbang kaki kanannya. 

Polio juga menyebabkan Cecil kecil tidak bisa berjalan, bahkan untuk berpindah ia harus ngesot. Walau begitu, penanganan Polio yang diterimanya termasuk cepat, sedangkan saudara sepupu Cecilia meninggal dunia. Cecilia dibawa berobat, yang terlebih dahulu berkonsultasi kepada ahli untuk rutin fisioterapi.

Sekitar tahun 1963 - 1964, Cecil terbang, dari Manado ke Surabaya, Jawa Timur untuk bersiap operasi rekonstruksi kaki kiri yang terserang Polio. Pada akhirnya, operasi rekonstruksi dilakukan di rumah sakit di Solo, Jawa Tengah.

Selepas operasi, Cecil berlatih memakai kruk, lama kelamaan ia bisa berjalan sendiri walau sedikit terpincang-pincang sampai sekarang. Walau begitu, kondisinya justru tidak membuat teman-teman di sekitarnya mem-bully

Cecil banyak mendapat bantuan dari teman-teman sejak sekolah sampai menempuh pendidikan dokter di luar negeri untuk meraih gelar sub spesialis rematik. Mobilitas sehari-hari tidak begitu dirasakan sulit.

“Kondisi saya tidak terlalu parah seperti anak-anak Polio lain yang sama sekali tidak bisa berjalan lagi. Saya kira pas dulu kena (Polio), penanganannya cepat, rajin dilatih, fisioterapi. Latihan ini supaya (kaki) bisa kuat,” cerita Cecil yang meraih gelar PhD reumatologi di University of Melbourne, Australia pada 1998.

Terkenang kembali semasa kecil, Cecil mengakui dirinya juga banyak dibantu teman-teman dokter lain. Setiap kegiatan di sekolah dan perkuliahan, teman-temannya kerap mengajaknya menonton dan bermain bersama.

Begitu pula di rumah, sang ibu selalu membawa Cecilia ke mana-mana.

 

“Saya belajar naik sepeda jatuh bangun. Mami saya enggak pernah mengucilkan saya. Mulai beranjak dewasa, SMP, SMA, ternyata penerimaan teman-teman saya di sekitar saya bisa menerima (kondisi) saya,” sambung Cecil.

“Kami main bersama, nonton bareng-bareng. Semuanya tidak ada yang membeda-bedakan. Itu mungkin yang membuat saya bisa percaya diri dan bangkit ya. Kadang saya lebih banyak merasakan bahwa saya tidak cacat. Teman-teman saya, teman-teman dokter banyak membantu juga.”

 

3 dari 5 halaman

Temukan ‘Biang Kerok’ Asam Urat

Sudah sejak kecil Cecilia Renny Padang rupanya bercita-cita jadi dokter. Alasannya sederhana, ia ingin membantu lebih banyak orang. Meski ‘ditemani’ Polio, Renny sapaan teman-temannya kepadanya, memang berotak encer.

Dari SD sampai SMA, ia selalu meraih peringkat teratas dan termasuk siswa yang cerdas. Ia memulai menjadi dokter umum selepas lulus sarjana dari Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya Jakarta (1982), yang berlanjut menempuh pendidikan reumatologi di University of Melbourne, Australia (1990 dan 1998).

“Saya melanjutkan pendidikan S2, pernah mendaftar ke beberapa perguruan tinggi negeri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), tapi kemudian ada tawaran untuk berangkat ke Australia dengan beasiswa dari Pemerintah Australia,” terang Cecil.

“Saya lihat di sana (Australia) ada jurusan rheumatologist gitu kan. Ya saya coba melamar dan diterima.”

Di sisi lain, ada cerita menarik kenapa Cecilia memilih spesialis rematik. Padahal pada waktu itu di Indonesia, dokter rematik terbilang masih langka. 

Awal mulanya, Cecil menerima banyak sekali pasien asam urat (gout) sewaktu ditempatkan di Puskesmas Wawonasa, Manado, Sulawesi Utara, selepas wisuda sarjana. Ia penasaran, kenapa di kota kelahirannya, begitu banyak warga mengidap asam urat. 

 

“Saya membuat disertasi untuk S3 (soal rematik), kebetulan dulu pernah Inpres di Kota Manado. Di sana, banyak sekali pasien dengan artritis gout. Penanganannya masih belum sempurna,” ungkap Cecil.

“Ada juga yang terjadi kecacatan akibat penyakit ini. Beberapa pasien ditemukan tofi – benjolan sebesar bola tenis – di lutut, kaki. Itu semacam kristal asam urat yang menumpuk.”

 

Dari temuan tofi tersebut, Cecilia meneliti dari sampel darah pasien asam urat di Sulawesi Utara yang dikumpulkan. Hasilnya, ia menemukan ‘biang kerok’ asam urat yang tak hanya dari faktor gen saja. Faktor pemicu lainnya, antara lain alkohol, pola makan, dan komorbid (gangguan ginjal), diabetes melitus, dan hipertensi. 

Dalam penelusuran Cecilia, ada kebiasaan orang Manado minum alkohol sepulang dari sawah. Merek alkohol lokal bernama ‘Cap Tikus’ digandrungi masyarakat setempat, yang mana kadar alkoholnya mencapai 70 persen. Minuman ini terbuat dari sadapan air nira yang disuling hingga menghasilkan cairan mengandung alkohol.

4 dari 5 halaman

Bangun Yayasan Peduli Penyandang Polio

Selesai meraih gelar PhD di Australia, perjalanan Cecilia Renny Padang kian bersinar sebagai salah satu pakar rematik di Indonesia. Beberapa dokter kenalan di luar negeri bahkan merekomendasikan pasien asam urat ke dokter Cecilia. Utamanya, bagi pasien asam urat asal Indonesia yang sebelumnya berobat di luar negeri.

Meski begitu, Cecilia tetap berjuang membantu para penyandang Polio, terlebih lagi anak-anak. Dalam waktu dekat ini, ia menelurkan ide membangun Yayasan Peduli Penyandang Polio.

Ide ini tebersit di benak Cecilia saat penulisan buku biografi miliknya berjudul, Hidup Bersama Polio: Sumbangsihku bagi Bangsa dan Negara. 

 

“Ya, Yayasan Peduli Penyandang Polio sudah didaftarkan. Ide ini muncul ketika saya mulai menulis buku. Saya utarakan keinginan ini (kepada keluarga). Harapannya, yayasan ini akan menaungi anak-anak penyandang Polio agar bisa semangat meraih cita-cita untuk menjadi orang-orang yang mandiri dan manfaat bagi nusa dan bangsa,” ucapnya sembari tersenyum.

“Setidaknya mereka mempunyai satu wadah gimana mereka bisa membuat berbagai kerajinan tangan yang luar biasa dan yakin bahwa keterbatasan bukan penghalang kita untuk bisa berkarya.”

 

5 dari 5 halaman

Aktif Berorganisasi

Perjuangan Cecilia ternyata tak berhenti seputar rematik, asam urat, dan Polio saja. Ia turut dipercaya rekan-rekan sejawat dokter terjun dalam organisasi. Mulai dari aktif organisasi di IDI, Perhimpunan Reumatologi Indonesia, dan pernah membantu di Divisi Reumatologi RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

“Saya dulu tidak mengerti banyak soal berorganisasi. Ya pada waktu saya masih SMP sudah menjadi Ketua Ikatan Siswa Katolik, tapi kan ya namanya anak-anak cuma begitu-begitu aja, ngurusin soal pertandingan, di SMA juga gitu,” terangnya.

“Setelah saya kembali dari Australia, saya bergabung di Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Waktu itu pakar-pakar rematik tidak banyak, masih sekitar 20 dokter rematik di seluruh Indonesia dan saya membantu di Divisi Reumatologi RSCM juga.”

Selanjutnya, Cecilia berkecimpung di IDI sejak 1998, dilanjutkan sebagai Ketua IDI Cabang Jakarta Barat periode 2019 - 2025. Undangan masuk kepengurusan pun diterimanya, namun awalnya ia sempat berpikir, apakah pilihannya tepat atau tidak.

 

“Sempat takut jadi Ketua, waktu itu masih menolak karena tidak mungkin, apakah kita harus menjadi seorang organisator atau seorang klinisi, clinician atau researcher, peneliti. Ya kita harus punya pegangan bahwa kalau saya mau jadi organisator, jadilah organisator yang baik,” ungkapnya.

“Kalau saya mau jadi seorang researcher, jadilah peneliti yang baik. Kalau saya mau menjadi clinician yang hanya menangani pasien saja, harus menjadi clinician yang baik. Tapi karena dorongan teman-teman, yang katanya, saya tuh tepat, sebagai clinician juga organisatoris. Sekarang saya mulai berkurang soal penelitian, researcher itu perlu waktu aktif.”

 

Setelah itu, Cecilia diminta menjadi Ketua IDI Cabang Jakarta Barat pada 2019, bertepatan dengan pandemi COVID-19 melanda. Lagi-lagi, sebuah pekerjaan menantang harus dihadapinya, yakni ikut terjun menangani pandemi. 

“Saya sudah tidak bisa menghindar. Waduh, begitu saya jadi Ketua, langsung kita ketemu dengan pandemi. Banyak teman dokter belum divaksinasi, dokter-dokter juga berguguran. Saya bilang, ini enggak mungkin hanya harus cuci tangan, pakai masker, dan social distancing (jaga jarak),” imbuh Cecilia sesaat menutup perbincangan.

“Pada akhirnya, kita kan mulai ya vaksinasi COVID-19. Saya fokus pantau vaksinasi kepada seluruh anggota saya harus dapat, karena awal-awal kan sulit juga mencari vaksin. Berkat kerja sama yang baik dengan Suku Dinas Kesehatan setempat dan kerja sama dengan IDI Pusat, seluruh dokter di tempat saya sudah dapat vaksin.”