Liputan6.com, Jakarta - Konsep sistem pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit (RS) atau istilahnya hospital based sedang digadang-gadang oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia. Pembentukan hospital based dapat memungkinkan adanya sistem pembayaran gaji atau insentif bagi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
Lantas, apakah konsep hospital based akan lebih baik untuk pemerataan dokter spesialis ke depannya? Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia Setyo Widi Nugroho menegaskan, sebenarnya pendidikan dokter spesialis saat ini sudah merujuk pada sistem berbasis rumah sakit.
Baca Juga
Sebab, penugasan dokter spesialis memang berada di rumah sakit. Penegasan ini juga menjawab soal pendidikan dokter spesialis yang disebut-sebut masih berbasis universitas atau istilahnya university based.
Advertisement
“Apakah hospital based akan lebih baik? Pada dasarnya, pendidikan dokter spesialis memang hospital based sekarang. Siapa yang mengatakan kalau itu bukan hospital based?” jelas Widi saat ‘Media Briefing: Pendidikan Kedokteran dan Distribusi serta Proses Pendidikan Kedokteran Spesialis’ di Kantor PB IDI Jakarta, Selasa (13/12/2022).
"Pendidikan dokter spesialis sekarang ada di RS Pendidikan semua. Mereka (PPDS) atau yang kita sebut juga dokter residen, semua bekerja di sana. Ada juga yang bekerja di RS Universitas dan rumah sakit umum milik Kemenkes.”
Sistem university based dan hospital based dalam dunia pendidikan kedokteran, menurut Widi tetap berjalan beriringan, yang disatukan oleh sebuah sistem bernama Academic Health System (AHS).
AHS merupakan konsep yang mengintegrasikan pendidikan dan pelayanan kesehatan melalui kerja sama peningkatan layanan kesehatan. Konsep ini didorong untuk mengembangkan upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif di layanan primer, sekunder, dan tersier.
“Nah, AHS itu menyatukan keduanya (university based dan hospital based). Kita akan memberdayakan lebih banyak RS Pendidikan milik Kemenkes. Dan mengangkat dokter klinik di sana untuk menjadi dosen,” lanjut Widi.
Wujudkan Dosen dan Dokter Residen Berkualitas
Implementasi Academic Health System (AHS) diakui Setyo Widi Nugroho membutuhkan proses panjang. Hal ini demi mewujudkan pemerataan produksi dokter spesialis, tetapi tetap berkualitas sesuai standar kompetensi yang ditetapkan.
“Prosesnya butuh waktu. Tentu ada standar yang dicapai. Tujuannya satu, yakni untuk menjaga kualitas, dosen yang baik. Kalau dosennya tidak baik, dokter residen yang dihasilkan nanti kualitasnya jelek,” terangnya.
“Kan nanti yang dirugikan masyarakat sendiri. Inilah yang kita harus berhati-hati. Kita tidak serta merta namanya cepat-cepat produksi dokter spesialis.”
Di sisi lain, ada kendala yang dihadapi lantaran undang-undang pendidikan kedokteran belum bisa cepat dalam memproses penerimaan calon dokter spesialis atau residen. Oleh karena itu, perlu ada kerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dan fakultas kedokteran.
“Undang-undang belum mengakomodir hal tersebut, buat langsung menerima residen sesuai sistem yang ada saat ini. Kita lihat ya Kemendikbud Ristek dan fakultas kedokteran dapat membantu proses (penerimaan) pendidikan residen,” beber Widi.
“Ini tidak bisa kita kerja sendirian. Kami lewat fakultas kedokteran menyelenggarakan standar pendidikan diampu profesi. Kolegium Kedokteran sebagai anggota institusi pendidikan dan organisasi profesi yang memahami persis ilmu kedokteran, bagaimana kebutuhan masyarakat dan pelaksanaan di lapangan.”
Advertisement
Produksi Dokter Spesialis sedang Dinaikan
Academic Health System (AHS) juga berupaya meningkatkan produksi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Produksi dokter spesialis atau residen ini sedang ditingkatkan mencapai 3,3 kali lipat.
“Kita lihat prosesnya, organisasi profesi dokter kan menentukan standar pendidikan dan standar kelulusan melalui uji kompetensi. Fakultas kedokteran melaksanakannya sistem itu di bawah naungan Kemendikbud Ristek,” kata Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia Setyo Widi Nugroho menerangkan.
“Jadi kolaborasi menjadi lebih baik sekali. Sekarang lagi diakselerasi. Produksi peserta didiknya sedang dinaikan dari 1 banding 3, menjadi 1 banding 5.. Dengan demikian, produksi (dokter spesialis) dipercepat kira-kira 3,3 kali lipat.”
Proses di atas akan diasesmen secara mandiri oleh Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan Indonesia (LAM-PTKes). Sistem ini pun sudah berjalan untuk menjaga kualitas dokter spesialis yang dihasilkan.
“Dengan itu, maka kita yakin bahwa seluruh proses ini berjalan baik karena diasesmen secara mandiri oleh badan namanya Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan Indonesia,” pungkas Widi.
“Itu sudah jalan sistemnya, rapi dan baik dan kita tetap fokus pada kualitas (dokter spesialis). Seluruhnya juga sesuai acuannya standar. Dengan mengubah undang-undang yang ada, misalnya, menurut kami effort-nya (upaya) terlalu besar. Kita mulai dari nol lagi, yang kami dukung ke depan ya AHS ini.”
Pemerataan SDM Kesehatan
Pemerataan sumber daya kesehatan (SDM) Kesehatan yang berkualitas diperlukan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Hal itu dapat dilakukan salah satunya dengan melakukan integrasi sistem Pendidikan dan Kesehatan melalui Academic Health System (AHS).
Sebagaimana informasi Kemenkes, AHS merupakan sebuah model kebijakan yang mengakomodir potensi masing-masing institusi ke dalam satu rangkaian visi yang berbasis pada kebutuhan masyarakat.
Konsep ini merupakan integrasi pendidikan kedokteran bergelar, dengan program pendidikan profesional kesehatan lainnya yang memiliki rumah sakit pendidikan atau berafiliasi dengan rumah sakit pendidikan, sistem kesehatan, dan organisasi pelayanan kesehatan.
Implementasi AHS di tahun 2022 diharapkan dapat membantu percepatan pemenuhan dan pemerataan dokter spesialis sebagaimana diamanatkan oleh program Transformasi Sistem Kesehatan yang dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan.
Hal ini merupakan tindak lanjut upaya Kementerian Kesehatan dalam melakukan akselerasi Program Studi Dokter Spesialis dan Sub Spesialis, beserta Kebijakan Kementerian Ristekdikti tentang Penugasan Pembukaan Program Studi Dokter Spesialis.
Melalui AHS diharapkan dapat menghitung jumlah dan jenis lulusan SDM Kesehatan dan memenuhi kebutuhan wilayah, mendefinisikan profil dan value SDM Kesehatan yang diperlukan di wilayah tersebut, serta menentukan pola distribusi SDM Kesehatan yang berkelanjutan (sustainable) mulai dari layanan primer hingga tersier.
Advertisement