Liputan6.com, Jakarta Demam Berdarah Dengue (DBD/Dengue) merupakan penyakit endemis yang ada sepanjang tahun di Indonesia. RI sebagai negara dengan iklim tropis menjadi salah satu yang paling terdampak.
Mengingat penyakit ini disebabkan virus, maka pencegahannya bisa dengan vaksinasi. Namun hingga kini, vaksinasi Dengue belum menjadi program nasional seperti COVID-19.
Baca Juga
Terkait hal ini, Ketua Komunitas Dengue Indonesia Prof Dr dr Sri Rezeki S Hadinegoro SpA(K) mengatakan bahwa menjadikan vaksin Dengue sebagai program nasional sudah pernah menjadi bahan kajian.
Advertisement
“Saya kebetulan kan Ketua Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), jadi di ITAGI sendiri kita sudah pernah mengkaji. Kita juga memikirkan antrean untuk masuk ke program nasional itu ada Denguenya,” kata Sri dalam wawancara eksklusif Takeda di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa, 13 Desember 2022.
Kajian ini dilakukan lantaran kasus Dengue dari tahun 2000 hingga kini tidak pernah menurun dengan stabil.
“Jadi harus ada pelor (peluru) lain atau harus ada intervensi lain dan kita memikirkan waktu itu dengan vaksin mungkin akan lebih baik. Memang kita juga mengendorse untuk vaksin ini kemungkinan bisa ikut menurunkan (kasus Dengue).”
Namun, penggunaan vaksin juga tetap harus terintegrasi dengan strategi pencegahan Dengue yang lain karena nyamuk tetap menjadi masalah.
“Dan, sekarang teorinya, memberantas nyamuk itu tidak hanya untuk demam berdarah tapi untuk malaria, filaria (kaki gajah), chikungunya, zika, jadi banyak juga infeksi lain yang ditularkan oleh nyamuk,” katanya.
Soal Vaksin Dengue
Sri juga membahas soal vaksin DBD baru yang diproduksi Takeda. Menurutnya, vaksin DBD yang belum diluncurkan ini bisa diberikan kepada kelompok usia 6 hingga 45 tahun.
Vaksin DBD dapat diberikan dua kali dengan interval 2 bulan. Seperti vaksin lainnya, vaksin ini juga hanya diberikan kepada orang dengan kondisi sehat.
“Yang namanya vaksin ya harus diberikan kepada orang sehat. Sehat itu tidak demam, tidak sesak napas, kalau punya asma terus sedang sesak napas ya jangan (divaksinasi) tunggu membaik dulu,” kata Sri.
Efektivitas vaksinnya pun cukup bagus sekitar 70 persen dan yang paling penting dapat mencegah kasus rawat inap sebanyak 80 persen dan kematian 90 persen.
“Kalaupun kena, gejalanya ringan. Jadi memang vaksin tidak bisa 100 persen. Tapi setelah 4,5 tahun pemberian masih bagus jadi kita tunggu saja.”
Meski begitu, penggunaan vaksin bukan segalanya. Tetap harus dibarengi dengan strategi pencegahan lainnya.
Advertisement
Boleh Diberikan kepada Penyintas?
Vaksin Dengue ini juga masih diperlukan oleh penyintas DBD. Pasalnya, ada empat serotipe yang berbeda.
Pada kasus pertama, seseorang bisa saja terkena penyakit dengan serotipe Dengue 1, sehingga vaksin DBD tetap diperlukan untuk perlindungan terhadap serotipe Dengue 2, 3, dan 4.
“Bisa saja sekarang kenanya Dengue 1, kapan-kapan bisa saja kena Dengue 2, 3, atau 4 berarti masih perlu (vaksin). Jadi walaupun dia penyintas, kita masih tetap bisa berikan. Tapi dikasih jarak, tunggu sembuh dulu, minimal sih satu bulan.”
Sri menggarisbawahi, antibodi dari vaksin untuk semua penyakit infeksi memang tidak langgeng.
“Dulu kita katakan kalau campak itu langgeng sampai tua (antibodinya), ternyata enggak juga. Ada juga orang tua yang kena campak padahal waktu kecilnya dapat vaksin, makanya kita perlu ulang waktu remaja,” katanya.
Kasus DBD di Indonesia
Kasus DBD sendiri pertama kali dilaporkan di Indonesia pada 1968, dengan kasus pertama ada di Surabaya. Sejak pertama kali ditemukan, kasus ini terus menunjukkan peningkatan setiap tahun.
Pada 17 Juni 2022, kasus DBD di Indonesia tembus 45 ribu dengan kematian 432 jiwa. Selang sekitar satu bulan, yakni pada 9 Juli 2022, kasusnya tembus 52 ribu dengan kematian sebanyak 448 orang.
“Apa artinya? Ini enggak boleh didiamkan, jadi ini benar-benar satu bukti bahwa dengue ini satu penyakit yang progresif, bisa naik turun naik turun," kata Sri.
Ia pun menyampaikan data DBD pada tahun sebelumnya. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada 2021 terdapat 73.518 kasus DBD dengan jumlah kematian sebanyak 705 kasus.
Pada tahun yang sama, Provinsi Kepulauan Riau memiliki Incidence Rate (IR/angka kesakitan) DBD tertinggi sebesar 80,9 per 100.000 penduduk. Diikuti oleh Kalimantan Timur dan Bali masing-masing sebesar 78,1 dan 59,8 per 100.000 penduduk.
Secara Nasional IR DBD 2021 sebesar 27 per 100.000 penduduk, angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan target nasional sebesar ≤ 49 per 100.000 penduduk.
Advertisement