Sukses

Kolegium Kedokteran: Dokter Spesialis Kebanyakan Numpuk di Jakarta

Persebaran dokter spesialis terbanyak berada di DKI Jakarta.

Liputan6.com, Jakarta Indonesia tengah bergelut dengan kekurangan dokter spesialis. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), rasio kebutuhan dokter untuk Warga Negara Indonesia (WNI) adalah 1 banding 1.000, sedangkan rasio untuk negara maju di angka 3 banding 1.000 dokter, bahkan beberapa negara berupaya mencapai rasio sebanyak 5 banding 1.000 dokter.

Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia Setyo Widi Nugroho mengakui distribusi dokter spesialis menjadi problem yang harus dipecahkan bersama. Terlebih, persebaran dokter spesialis di Indonesia ternyata terbanyak berada di DKI Jakarta.

“Paling banyak itu persebarannya di Jakarta lebih banyak dokter spesialis. Ya tentu itu ada ketidakadilan, bisa dibagi ke beberapa provinsi lain. Karena ada daerah yang punya dokter spesialis, ada juga yang enggak,” bebernya ‘Media Briefing: Pendidikan Kedokteran dan Distribusi serta Proses Pendidikan Kedokteran Spesialis’ di Kantor PB IDI Jakarta, Selasa (13/12/2022).

“Sebenarnya masalahnya utama adalah distribusi, iya kan. Itu 1 banding 500.000. Makanya, produksi dokter spesialis itu minim sekali. Jadi kalau kita lihat bersama itu harus ada akselerasi. Rasionya berlebihan di Jakarta dan sebagian besar berkumpul, numpuk di Jakarta dan sekitarnya.”

Dengan demikian, menurut Widi, perlu ada regulasi yang harus mengatur dengan baik soal distribusi. 

“Peraturan sistem pendidikan dokter spesialis kan sudah ada. Nah, nanti bagaimana kita bisa menjelaskan ke daerah untuk distribusinya,” sambungnya.

Mengenai upaya menambah produksi dokter spesialis, menurut Widi perlu diselesaikan bersama yakni seluruh stakeholder kesehatan. 

2 dari 4 halaman

Kualitas Dokter Spesialis Itu Penting

Setyo Widi Nugroho menuturkan upaya terbaik yang dilakukan saat ini dalam percepatan produksi dan pemerataan produksi dokter spesialis, yakni akselerasi dokter spesialis dengan tetap mempertahankan kualitas. Dalam hal ini tidak menurunkan kuantitas dokter.

“Cara yang paling sekarang adalah bagaimana kita mengakselerasi untuk memproduksi dokter spesialis, tanpa menurunkan kualitas. Jangan sampai ternyata salah gitu kita memproduksi dokter spesialis, mengerikan sekali nanti,” tuturnya.

“Kualitas itu penting sekali. Kita kan sudah ada ilmu pendidikan kedokteran, bagaimana kita menciptakan dokter spesialis tapi kualitas tetap terjaga.”

Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia dan organisasi profesi bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia berupaya untuk mengakselerasi jumlah dokter spesialis. Pembahasan ini masih terus dibahas.

“Saat ini akan mengakselerasi jumlah dokter spesialis. Kami terus membahas dan diharapkan ada saran yang baik, artinya setiap produksi dokter spesialis, mari kita kuatkan distribusinya juga,” ujar Widi.

“Jadi ini kebutuhan juga yang dapat dibantu dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Mari berdayakan bersama.”

Sebagaimana data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) per 6 Desember 2022, ada sekitar 54,1 ribu dokter spesialis di Indonesia. Ada 10 provinsi yang memiliki dokter spesialis paling banyak mencakup DKI Jakarta (8.863), Jawa Timur (6.677), Jawa Barat (6.459), Jawa Tengah (4.714), dan Sumatera Utara (2.980).

Kemudian Banten (2.172), Sulawesi Selatan (2.208), Yogyakarta (1.831), Bali (1.950), dan Sumatera Selatan (1.246).

3 dari 4 halaman

Kebutuhan Dokter Harus dari Daerah 

Untuk mendata jumlah dokter spesialis di daerah, menurut Setyo Widi Nugroho, harus ada laporan dari daerah juga. Sebab, kebutuhan jumlah dokter di tiap wilayah berbeda-beda.

“Saya cerita, dulu di Papua, menurut data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di tahun 2015 - 2016 itu kekurangan dokter di puskesmas sebanyak 12 persen. Ternyata tahun 2019,naik jadi 40 persen, itu semakin berkurang jumlah dokter di puskesmas,” katanya.

“Walau begitu, enggak ada laporan dari bupatinya kalau daerahnya itu kekurangan dokter. Bupati misalnya, enggak ada laporan, butuhnya dokter spesialis berapa, atau soal kekurangan pelayanan kesehatan. Itu enggak ada laporan.”

Dalam upaya membahas jumlah dokter spesialis, setiap pihak terkait harus duduk bersama. Bersama-sama pula bagaimana mendata kebutuhan dokter spesialis di daerah. 

“Kami ingin melihat berita, pemimpin daerah merasa kekurangan dokter di rumah sakit. Ini supaya menyadari dan kami siap membantu soal distribusi dokter  di Indonesia. Tapi kan kebutuhan harus dari bawah ke atas,” imbuh Widi.

“Kalau kita ngomong kekurangan dokter, padahal daerah yang bersangkutan itu tidak menyatakan kurang, ya bagaimana bisa itu. Mari kita bekerja sama, organisasi profesi bisa membantu.”

4 dari 4 halaman

Pemenuhan Dokter Spesialis

Dikatakan Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin, upaya pemenuhan dokter spesialis dan fasilitas penunjang dilakukan dalam rangka transformasi sistem kesehatan Indonesia. Hal itu sesuai mandat dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Menkes Budi Gunadi untuk melakukan transformasi kesehatan besar-besaran.

Dokter spesialis yang menjadi prioritas pemenuhan di RSUD adalah spesialis penyakit yang menjadi penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Dokter spesialis tersebut, antara lain spesialis onkologi untuk penyakit kanker, spesialis jantung dan pembuluh darah, spesialis neurologi untuk penyakit stroke, serta spesialis nefrologi untuk penyakit ginjal.

Menkes Budi Gunadi menginisiasi adanya transformasi di bidang kesehatan. Ada 6 jenis transformasi yang akan dilakukan, yakni transformasi Layanan Primer, Layanan Rujukan, Sistem Ketahanan Kesehatan, Sistem Pembiayaan Kesehatan, SDM Kesehatan, dan Teknologi Kesehatan.

Pemenuhan dokter spesialis di RSUD merupakan bagian dari transformasi layanan rujukan. Transformasi ini akan dimulai dengan tiga penyakit penyebab kematian paling tinggi di Indonesia yaitu penyakit jantung, stroke, dan kanker.

Sebagai contoh untuk penyakit jantung, masalahnya tidak semua provinsi memiliki rumah sakit dengan fasilitas untuk pasang ring di jantung.

Data yang dihimpun Kemenkes saat ini, dari 34 provinsi yang bisa melakukan operasi pasang ring hanya 28 provinsi. Kalau pasien tidak bisa dipasang ring, maka tindakan berikutnya adalah bedah jantung terbuka. Tindakan bedah jantung terbuka jumlahnya turun lagi, dari 28 provinsi hanya 22 provinsi yang bisa.