Liputan6.com, Jakarta Dua pekan sebelum tahun berganti, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan sinyal kemungkinan menghentikan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di akhir tahun 2022 seiring kasus COVID-19 melandai.
"Dan, mungkin nanti akhir tahun, kita akan menyatakan berhenti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PPKM kita," katanya dalam acara 'Outlook Perekonomian Indonesia 2023' di Hotel Ritz-Charlton Jakarta pada Rabu, 21 Desember 2022.
Baca Juga
Seperti diketahui, penanganan COVID-19 di Indonesia mengalami berbagai penyesuaian. Pemerintah pernah memakai istilah PSBB, PPKM, penebalan PPKM, PPKM Darurat, hingga PPKM Level 1 - 4.
Advertisement
Upaya di atas demi menyesuaikan terhadap gempuran dari berbagai virus Corona yang masuk dengan adanya penularan yang cepat. Seperti kita ingat di 2021, ketika varian Delta masuk, peningkatan kasus naik tajam setiap harinya disertai angka kematian yang melesat.
Tak hanya itu saja, situasi penanganan kesehatan yang mencakup kekurangan dokter dan tenaga kesehatan, serta suplai oksigen hingga penuhnya rumah sakit juga harus Indonesia hadapi. Pembatasan mobilitas dan pergerakan juga diperketat.
Meski begitu, Pemerintah tidak menerapkan lockdown sebagaimana di negara lain. Penyesuaian kebijakan PSBB sampai PPKM menjadi pilihan.
"Perjalanan seperti itu harus kita ingat betapa sangat sulit ya. Perlu saya ingatkan mengenai gempuran adanya pandemi. Saat Delta masuk, kasus harian kita mencapai 56.000 kasus," lanjut Jokowi.
"Saat itu, saya ingat hampir 80 persen Menteri menyarankan saya untuk lockdown, termasuk masyarakat juga menyampaikan hal yang sama. Kalau itu (lockdown) kita lakukan saat itu, mungkin ceritanya kan lain saat ini."
Ketika penanganan COVID-19 akibat Delta mulai terkendali, muncul lagi varian Omicon. Kasus COVID-19 kembali naik tajam.
"Muncul lagi Omicron, puncaknya mencapai 64.000 kasus harian. Sehingga kita ingat, saat itu Alat Pelindung Diri (APD) kurang, oksigen enggak ada, pasien numpuk di rumah sakit," Jokowi menerangkan.
"Untung saat itu kita masih tenang, tidak gugup, tidak gelagapan sehingga situasi yang sangat sulit itu bisa kita kelola dengan baik."
Jokowi Tunggu Kajian Kemenkes dan Kemenko Perekonomian
Jokowi tak mau asal-asalan dalam membuat keputusan penghentian PPKM. Ia sedang menunggu kajian dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia (Kemenko Perekonomian).
Kajian yang dimaksud mencakup perkembangan terkini COVID-19 Tanah Air. Saat ini, meski terdapat varian baru seperti XBB, XBB.1, dan BN.1 yang menyebar, rata-rata kasus COVID-19 nasional semakin menurun.
"Jadi kembali ke soal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PPKM itu saya masih menunggu seluruh kajian dan kalkulasi dari Kemenko Perekonomian dan Kementeran Kesehatan," terang Jokowi saat konferensi pers di Istana Merdeka Jakarta pada Rabu, 21 Desember 2022.
Berkaitan dengan penghentian PPKM, Jokowi menambahkan, dirinya sudah meminta agar laporan kajian dari Kemenkes dan Kemenko Perekonomian masuk paling lambat pekan ini.
"Saya kemarin berikan target, minggu ini harusnya kajian dan kalkulasi itu sampai ke meja saya, sehingga bisa saya siapkan nanti Keputusan Presiden (Keppres) mengenai penghentikan PSBB, PPKM," tambahnya.
"Kita harapkan segera ya sudah saya dapatkan (laporan kajian) dalam minggu ini."
Di kesempatan terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi membeberkan beberapa topik laporan kajian untuk dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan penghentian PPKM. Secara garis besar, laporan yang dimaksud adalah data surveilans perkembangan COVID-19 Tanah Air.
Lalu, data perkembangan COVID-19 secara global dan negara-negara lain juga akan dilaporkan ke Jokowi. Hal ini sekaligus melihat situasi COVID-19 global, yang mana masih terjadi peningkatan kasus COVID-19 di negara lain seperti China.
"(Data kajiannya) melihat tren peningkatan kasus, pola varian (virus Corona) baru, benchmark negara lain (sebagai pembanding), dan sero survei (antibodi)," ungkap Nadia saat dikonfirmasi Health Liputan6.com melalui pesan singkat pada Kamis, 22 Desember 2022.
Advertisement
Menko Airlangga Klaim RI Sudah Masuk Endemi
Tak lama usai pernyataan Jokowi tentang kemungkinan pencabutan PPKM, di hari yang sama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim bahwa Indonesia sudah masuk endemi COVID-19. Airlangga mengatakan klaim ini merujuk pada indikator endemi yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.
Koordinator PPKM Luar Jawa-Bali ini menyebut, dalam setahun terakhir transmisi COVID-19 di Indonesia melandai. Kondisi ini seharusnya bisa mengubah status pandemi menjadi endemi COVID-19.
"Kami sudah laporkan ke Bapak Presiden mengenai kesiapan terutama tentu sudah hampir setahun Indonesia landai. Artinya berdasarkan kriteria dari WHO di level 1 dan itu sudah 12 bulan artinya secara negara sebetulnya kita sudah masuk pandeminya sudah berubah menjadi endemi," ujar Airlangga di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 21 Desember 2022.
Sinyal pemerintah bakal deklarasikan pandemi COVID-19 diperkuat lewat pernyataan Wakil Menteri Kesehatan RI, Dante Saksono Harbuwono. Senapas dengan pernyataan Airlangga, Dante mengatakan bahwa Presiden Jokowi bakal mengumumkan status endemi COVID-19.
“Nanti akan ditambahkan oleh Bapak Presiden mengenai dengan (indikator status endemi Covid-19). Kita (Kementerian Kesehatan) akan memberikan masukan evaluasi dari kasus yang ada,” kata Dante saat ditemui di Kawasan Monas, Jakarta Pusat, Kamis (22/12/2022).
Dante juga mengatakan, kasus Covid-19 sudah cenderung menurun di Indonesia. Meskipun ada varian baru masuk tapi tidak terjadi lonjakan kasus.
“Kasus sudah menurun walaupun ada varian baru tapi kasus sudah menurun. Pengumuman secepatnya akan dilakukan oleh Pak Presiden,” tambah Dante.
Memang, bagaimana kondisi COVID-19 di Tanah Air akhir-akhir ini?
Menurut Laporan Harian COVID-19 Kemenkes per 20 Desember 2022 terjadi penurunan di sejumlah indikator penanganan COVID-19. Tren kasus konfirmasi harian COVID-19 dalam dua pekan terakhir menurun, dari 3.849 menjadi 1.367.
Kasus aktif juga menurun di angka 30.636, sebelumnya 53.406 kasus. Rata-rata pasien meninggal akibat COVID-19 dalam dua pekan terakhir turun sedikit, dari 2,396 persen menjadi 2,391 persen.
Data Kemenkes juga mencatat, jumlah pasien COVID-19 yang dirawat menurun di angka 3.679, sebelumnya 5.977 pasien dirawat. Sejalan dengan itu, keterisian tempat tidur COVID-19 (Bed Occupancy Ratio/BOR) di rumah sakit menurun, dari 10,32 persen menjadi 6,52 persen.
Pencabutan PKKM Atas Dalih Ekonomi?
Usai rencana pencabutan PPKM menyeruak beberapa pihak ikut memberi argumen. Epidemiolog Universitas Gadjah Mada, Bayu Satria Wiratama, sepakat atas rencana presiden Jokowi. Ia menyebut kebijakan PPKM saat ini sudah tidak memiliki urgensi untuk dilanjutkan.
"Dicabut tidak apa-apa karena sebenarnya sudah tidak ada urgensinya," kata Bayu
"Dulu belum ada intervensi yang bagus bagaimana caranya agar kasus COVID-19 ini tidak terus-menerus menimbulkan kematian. Kemudian muncullah PPKM,” kata Bayu mengutip Antara.
Selain itu, Bayu mengatakan bahwa saat ini imunitas masyarakat terhadap COVID-19 sudah cukup tinggi. Lalu jika ada yang terkena, gejala yang muncul mayoritas ringan.
"Cenderung lebih banyak yang ringan daripada yang berat. Kalau pun ada lonjakan tidak signifikan dan yang penting tidak diikuti kematian tanpa dirawat di rumah sakit," tuturnya.
Meski begitu, Bayu meminta pemerintah tetap menggenjot cakupan vaksinasi booster atau penguat meski PPKM dihentikan. Terutama menggenjot vaksinasi kelompok masyarakat berisiko tinggi.
"Misalnya yang baru vaksin dosis satu agar segera mendapat dosis kedua sampai booster. Kalau booster semakin tinggi semakin bagus terutama kelompok-kelompok berisiko tinggi," ucapnya.
Sementara itu, beberapa pihak menyebut pencabutan PPKM perlu dikaji lagi. Jangan sampai ketika PPKM dicabut malah menyebabkan keparahan kondisi COVID-19 di Tanah Air.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah meminta pemerintah untuk mengkaji kembali rencana penghapusan PPKM. Menurutnya, kasus COVID-19 saat ini masih terbilang tinggi lantaran adanya varian baru yang terus bermunculan.
"Belum pas kalau saat ini, karena COVID-19 masih tinggi, cuman laporan-laporan daerah sekarang udah nggak mau transparan lah, nggak mau ribet lagi. Itu masalahnya," kata dia kepada Liputan6.com,Kamis (22/12/2022).
Ia menambahkan, Gugus Tugas Covid-19 di daerah bekerja tidak optimal. Hal ini terbentur persoalan anggaran yang dinilainya cukup besar.
"Yang terjadi saya lihat angka prevelensi jadi rendah, karena juga gugus tugas COVID-19 tidak bertugas maksimal lagi, karena pengaruh anggaran, semua sumber masalahnya anggaran. Jadi masalah cuan. jadi karena melihat anggaran yang digelontorkan terlalu banyak," ujar dia.
"Sehingga akhirnya anggapnya sudah endemi, jadi sebenarnya dasarnya cuman asumsi, kalau realitasnya belum, masih tinggi. Varian yang baru," Trubus menambahkan.
"Kalau saya lihat (ada) tekanan pelaku ekonomi, kedua ada tekanan pertumbuhan ekonomi, karena ini untuk menjaga inflasi. Sebenarnya tujuannya menjaga inflasi di tengah ketidakpastian perekonomian domestik, regional maupun global. Ini memang upaya-upaya yang dikorbankan. Menjaga inflasi, pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, itu PPKM harus dihapus. Itu dasarnya," terangnya.
Trubus pun menilai mustahil kajian rencana penghapusan PPKM akan selesai hanya dalam waktu seminggu. Karenanya, ia khawatir hal ini akan memberikan dampak lebih buruh lagi bagi masyarakat.
"Instruksi (seminggu) mission impossible, di mana dalam waktu seminggu semuanya akan berakhir, saya khawatir ada efek domino nantinya ketika kemudian elite di daerah dan masyarakatnya lengah terhadap varian-varian COVID-19 karena bermutasi terus. Nanti saya khawatir akan berdampak jatuhnya korban," ujar dia.
Senada dengan Trubus, Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengatakan, bila benar hal itu dilakukan, maka kebijakan yang mendasarinya harus berdasarkan kajian dan analisis matang dari para ahli.
"Pemerintah diminta untuk menerapkan kebijakan secara arif sesuai dengan kondisi yang ada. Perubahan status PPKM, misalnya, haruslah dilandasi oleh analisis dan kajian yang matang. Sebab, kasus COVID-19 belum dipastikan ujungnya seperti apa," jelas Saleh melalui pesan singkat diterima, Kamis (22/12/2022).
Saleh mencatat, hingga saat ini Badan Kesehatan Dunia (WHO) belum melepas status pandemi secara umum. Meski memang faktanya, kondisi dan kebijakan untuk pencegahan COVID-19 sudah beragam.
Indonesia sendiri, lanjut Saleh, saat ini dilaporkan melandai. Namun, perlu diingat kasus COVID-19 masih terus ditemukan dan masih ada yang terpapar.
"Jadi, kalau ada kebijakan pencabutan PPKM, harus dibarengi dengan arahan dan himbauan kepada masyarakat. Misalnya, masyarakat diminta tetap menjaga Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). PHBS ini diperlukan tidak hanya saat pandemi COVID, tapi di setiap saat," jelas Ketua Fraksi PAN di DPR ini.
Advertisement
Tunggu Nataru Usai
Epidemiolog dan pakar global health security, Dicky Budiman, memiliki pendapat serupa dengan Trubus dan Saleh. Menurut Dicky, PPKM saat ini masih diperlukan. Pasalnya, sebentar lagi menghadapi perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2023.
PPKM masih dibutuhkan untuk pencegahan penularan COVID-19 di momen yang akan memicu peningkatan mobilisasi masyarakat tersebut.
“Jadi pencabutannya menurut saya jangan sekarang, tapi nanti setelah Nataru karena di Nataru ini 16 persen penduduk Indonesia bermobilitas,” ujar Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara, Kamis (22/12/2022).
Dicky tak memungkiri bahwa kasus COVID-19 di Indonesia memang sudah membaik. Namun, pandemi belum mencapai garis finish.
“Situasi Indonesia sudah baik, ya kita syukuri itu, tapi belum sampai finish. Ibarat lari maraton ini sudah dekat, sedikit lagi, jadi sabar. Toh PPKM-nya tidak harus level 3 atau 4. Level 1 saja enggak terlalu terlihat mencolok.”
PPKM, kata Dicky, masih dibutuhkan untuk memberi dampak psikologis kepada masyarakat dan pemangku kepentingan agar tetap waspada. Penerapan di lapangan pun sebetulnya tidak mengganggu aktivitas masyarakat sehari-hari.
“Yang saya khawatirkan adalah ketika PPKM dicabut akhirnya banyak yang lebih abai lagi.”
Pondasi Kehidupan Pasca Pandemi
Trubus mengingatkan penting bagi pemerintah untuk menyiapkan infrastruktur di masyarakat agar pencegahan pandemi menjadi lebih kuat seperti disampaikan Trubus.
"Pemerintah menunda dulu, sambil melakukan tracing dan menyiapkan infrastruktur untuk vaksin. Sekarang gini aja, masyarakat didorong aja untuk vaksin semua lagi, booster yang ketiga-keempat. Sekarang kan vaksin diproduksi dalam negeri, tidak mengandalkan Sinovac dan lainnya," jelas Trubus.
Lalu, perlu juga menyiapkan masyarakat yang selalu waspada dan paham melakukan sesuatu ketika sakit. Hal ini seperti disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Mohammad Adib Khumaidi.
Kewaspadaan masyarakat harus dibangun seperti jika sakit atau bergejala COVID-19 sebaiknya segera memeriksakan diri. Gaya hidup sehat dengan konsumsi makanan bergizi dan olahraga yang teratur perlu ditingkatkan.
"Yang penting itu adalah kewaspadaan kita. Kewaspadaan tetap harus ada. Kewaspadaan itu bagaimana? Ya, kalau kemudian sekarang katakanlah ada pembatasan aktivitas, lebih ke arah kewaspadaan kita untuk menjaga kesehatan kita sebenarnya," tegas Adib saat berbincang dengan Health Liputan6.com dalam kunjungannya ke Kantor KapanLagiYouniverse (KLY) Jakarta pada Rabu, 21 Desember 2022.
"Menjaga kesehatan bagaimana? Kalau ada keluhan-keluhan sakit, dia istirahat ya. Lalu menjaga kondisi dengan makan makanan yang bergizi, istirahat juga olahraga yang cukup."
Advertisement
Cuma WHO yang Bisa Klaim Pandemi Usai
Soal pernyataan endemi dari Airlangga, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama menegaskan, pernyataan bebas pandemi COVID-19 harus semua negara. Bukan satu negara saja. Sebab, definisi pandemi sendiri merupakan suatu situasi epidemi yang terjadi di semua negara.
"Soal pandemi - endemi, pandemi itu kejadian berbagai epidemi di banyak negara. Karena terjadi di banyak negara, semua negara (status pandemi) harus dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)," terang Tjandra saat dihubungi Health Liputan6.com melalui sambungan telepon pada Kamis, 22 Desember 2022.
"Dan kenyataan pandemi berhenti harus dinyatakan oleh WHO juga. Tidak bisa dinyatakan oleh masing-masing negara."
Berdasarkan informasi Center of Disease Control (CDC) Amerika Serikat (AS), pandemi adalah wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografis yang luas (lingkup seluruh negara atau benua), biasanya mengenai banyak orang.
Sementara itu, epidemi adalah penyakit menular yang berjangkit dengan cepat di daerah yang luas dan menimbulkan banyak korban. Peningkatan angka penyakit di atas normal yang biasanya terjadi secara tiba-tiba pada populasi suatu di area geografis tertentu.
Sementara itu, endemi adalah penyakit yang berjangkit di suatu daerah atau pada suatu golongan masyarakat. Endemi merupakan keadaan di mana kemunculan suatu penyakit yang konstan atau penyakit tersebut biasa ada pada suatu populasi dalam suatu area geografis tertentu.
Pernyataan status pandemi hanya bisa diputuskan WHO, namun setiap negara sah-sah saja jika menyatakan 'status pandemi COVID-19 terkendali.' Apalagi secara global, rata-rata kasus COVID-19 dunia melandai meski di beberapa negara kasus kembali melonjak.
"Kalau negara masing-masing sih bisa saja mengatakan, situasi (COViD-19) sudah terkendali atau tidak terkendali, itu terserah masing-masing negara. Dan kita lihat angka di dunia saat ini turun, ya memang saat ini sudah turun ya," lanjut Tjandra Yoga Aditama.
"Tapi ya enggak bisa dinyatakan bebas pandemi, karena pernyataan bebas pandemi itu kan harus semua negara. Jadi, salah satu negara tidak bisa menyatakan dirinya tidak pandemi. Pandemi kan artinya terjadi epidemi di semua negara."
WHO melalui Emergency Commite akan membuat kriteria kapan pandemi COVID-19 bisa dicabut. Hal ini berkaitan dengan Status Kegawatdaruratan Kesehatan Masyarakat atau Public Health Emergency International Concern (PHEIC).
"Kemarin, pada 21 Desember 2022, WHO kembali menegaskan bahwa nampaknya situasi kegawatdaruratan kesehatan masyarakat, COVID-19 ini bisa diselesaikan tahun depan dan sudah membuat semacam target begitu,"
"Bahwa pada Januari 2023, Emergency Committee-nya WHO akan membuat kriteria, kapan pandemi itu bisa dicabut," tutup Tjandra.