Liputan6.com, Jakarta - Gangguan Ginjal Akut Atipikal Progresif (GgGAPA), atau gagal ginjal akut begitu masyarakat menyebut, menjadi salah satu sorotan soal masalah kesehatan di tahun ini. Tercatat 324 anak yang mayoritas berusia di bawah lima tahun dari 28 provinsi terkena kondisi ini bahkan pernah dengan angka kematian di atas 50 persen sebelum obat fomepizole untuk mengatasi keracunan etilen glikol didatangkan.
Gagal ginjal akut pada anak sebenarnya bukan penyakit baru. Para dokter di Tanah Air menyebut memang ada kasus tersebut tapi sekitar 1-2 kasus per bulan. Namun, sejak Agustus 2022 para dokter anak keheranan dengan peningkatan kasus gagal ginjal. Di bulan itu, terdata 35 anak terkena gagal ginjal akut.us, Pada September naik menjadi 76 kasus. Sedangkan di bulan Oktober tren penemuan kasus turun menjadi 21 kasus hingga mencapai 324 kasus berdasarkan data terakhir di tahun ini.
Baca Juga
Para tenaga medis sempat kebingungan lantaran ada banyak anak yang datang dengan keluhan mendadak tidak bisa buang air kecil lalu setelah diperiksa mengalami gagal ginjal akut.
Advertisement
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dokter spesialis anak konsultan Piprim Basarah Yanuarso menceritakan saat awal-awal kasus itu melonjak. Saat itu, terjadi lonjakan tiba-tiba anak yang masuk rumah sakit akibat gagal ginjal di Agustus - September 2022.
Kebanyakan pasien saat itu mengeluh batuk pilek tapi tidak ada riwayat dehidrasi berat. Namun, disebutkan sempat mengonsumsi obat demam dan batuk pilek sebelum masuk rumah sakit.Saat datang ke fasilitas kesehatan, kebanyakan pasien anak datang dengan tidak mengeluarkan air kencing atau anuria.
"Pada saat itu, kami dokter anak cukup frustrasi menghadapi kasus ini karena aneh. Enggak seperti biasanya. Biasanya kalau gagal ginjal akut saja, dilakukan cuci darah anak selamat. Tapi ini, usai dilakukan cuci darah anak meninggal," kata Piprim dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR pada 2 November 2022.
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengungkap di awal-awal kasus ini mencuat ke publik, bahwa kala itu semua dugaan penyebab kondisi tersebut diperiksa. Apakah itu terkait COVID-19, vaksin atau ada patogen tertentu seperti vaksin atau bakteri. Ternyata, bukan itu penyebabnya. Namun, kasus di Gambia membukakan mata pemerintah Indonesia. Kala itu, pada awal Oktober 2022 tercatat sudah ada 70 anak di Gambia yang meninggal usai menenggak obat batuk.
"Yang membuat kita agak terbuka adalah kasus Gambia. Dan pada 5 Oktober lalu, WHO mengeluarkan rilis kasus Gambia yang disebabkan oleh senyawa kimia etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether pada obat yang dikonsumsi anak-anak di sana," jelas Budi di konferensi pers, Jumat 21 Oktober 2022.
Kala itu, dari hasil tes di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), kata Menkes, dari 11 kasus ada 7 anak positif memiliki senyawa berbahaya dalam tubuhnya.
"Yang namanya dietilen glikol ini merupakan cemaran dari pelarut tambahan di obat sirup. Supaya melarutnya bagus, dikasi pelarut Polyethylene glycol (PEG). Sebenarnya ini nggak beracun. Cuma ketika kualitasnya buruk, zat ini bisa menghasilkan cemaran berbahaya yaitu 3 zat EG, DEG dan etilon glikol," jelasnya.
Penyetopan Obat Sirup, Kasus Menukik Turun
Masih di pertengahan Oktober, Kementerian Kesehatan bergerak cepat dengan mengeluarkan aturan menyetop penjualan obat sirup untuk sementara. Langkah konservatif ini dilakukan demi mencegah semakin banyak anak alami gagal ginjal akut.
Imbauan itu tertuang dalam surat dari Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes bertanggal 18 Oktober 2022. Surat tersebut bernomor: SR.01.05/III/3461/2022 tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjak Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) pada Anak.
"Seluruh apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dan/atau bebas terbatas dalam bentuk sirup kepada masyarakat sampai dilakukan pengumuman resmi dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau bebas terbatas dalam bentuk sirup kepada masyarakat sampai dilakukan pengumuman resmi dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Langkah konservatif ini pun membuahkan hasil. Jumlah anak yang mengalami kasus gagal ginjal akut langsung menukik turun.
"Kalau ginjal akut, dari sisi Kementerian Kesehatan sebenarnya sudah selesai. Kenapa? Sejak kita berhentiin obat-obatan (obat sirup) tersebut itu, (kasusnya) turun drastis," terang Budi Gunadi saat ditemui Health Liputan6.com usai konferensi pers 'Indonesia Memanggil Dokter Spesialis WNI Lulusan Luar Negeri dalam Program Adaptasi Pertama Tahun 2022' di Gedung Kemenkes RI Jakarta, Jumat, 18 November 2022.
"Dan sudah tidak ada kasus baru lagi, sudah dua setengah minggu. Jadi kita sudah outroom -- selesai kasus gagal ginjal akut."
Ditegaskan Budi Gunadi, obat sirup yang terkandung cemaran EG dan DEG melebihi ambang batas aman menjadi penyebab kasus gagal ginjal akut. Pada pasien gagal ginjal anak yang dirawat pun terjadi gangguan dan kerusakan pada ginjal.
"Bahwa memang obat-obatan itu adalah penyebab terjadi ginjal akut. Begitu sudah kami setop, sudah enggak ada kasus baru (gagal ginjal akut). Ya (kasus baru) rumah sakit kita sudah turun terus yang dirawat ginjal akut," tegasnya.
Usai penyetopan obat sirup dilakukan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan serangkaian tes untuk mengetahui keamanan obat sirup yang ada di Tanah Air. Lalu, secara berkala mengumumkan ke publik obat sirup mana saja yang aman dari etilen glikol dan dietilen glikol.
Advertisement
Kehadiran Fomepizole
Melihat banyak kasus dan perburukan yang terjadi pada anak dengan kasus gagal ginjal akut, pemerintah memesan Fomepizole dari Singapura. Lalu, mendapatkan bantuan Fomepizole juga dari Jepang dan Australia.
Obat Fomepizole merupakan jenis antidotum atau antidot (antidote). Antidotum adalah jenis obat penawar racun untuk keracunan senyawa Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).
Kedua senyawa tersebut berkaitan dengan kejadian gagal ginjal akut. Penatalaksanaan terapi keracunan pada umumnya disebut terapi antidotum.Fomepizole pun diberikan secara gratis kepada seluruh pasien gangguan ginjal akut. Obat ini juga sudah diujicobakan sebelumnya kepada 10 pasien gagal ginjal akut yang dirawat di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Hasil uji coba menunjukkan perbaikan gejala dan kondisi pasen anak dengan gagal ginjal akut tidak memburuk. Ada juga pasien dalam kondisi stabil.
"Pertimbangan pemberian Fomepizol karena adanya perbaikan kondisi pasien setelah diberikan terapi pengobatan Fomepizole. Ini membuktikan pengobatannya efektif menyembuhkan dan mengurangi perburukan gejala," jelas Juru Bicara Kemenkes RI Mohammad Syahril menegaskan.
Berdasarkan data, jumlah kematian akibat gagal ginjal akut menjadi 200 pasien meninggal (data Kemenkes per 18 November 2022).
Budi menjelaskan alasan di balik angka kematian akibat gagal ginjal akut yang semakin bertambah. Hal itu dilatarbelakangi kondisi ginjal pada pasien yang dirawat sudah mengalami kerusakan dan fungsi ginjalnya tidak bisa diperbaiki.
"Kematian masih ada dua hari atau tiga hari yang lalu. Karena sudah terlampau rusak ginjalnya," jelas Budi.
Kemenkes Selidiki Laporan Gangguan Organ pada Pasien Sembuh Gagal Ginjal
Ada laporan anak yang sudah sembuh dari gagal ginjal akut atau Gangguan Ginjal Akut Atipikal Progresif (GgGAPA) berujung mengalami gangguan pada organ lain.
Budi sedang menyelidiki soal laporan adanya gangguan organ pada anak-anak yang telah dinyatakan sembuh dari gagal ginjal akut. Pelacakan kondisi dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
"Kami sekarang sedang melacak kondisi anak-anak yang sembuh dari gagal ginjal akut," terangnya usai 'Penandatanganan MoU Penanganan Stunting antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI' di Gedung PBNU Jakarta pada pertengahan Desember.
Lebih lanjut Budi Gunadi mengatakan, pihaknya mendengar bahwa anak-anak yang telah dinyatakan sembuh secara klinis itu mengalami gangguan pada organ lain.
"Secara klinis, mereka sudah sembuh ginjalnya, sekarang kita mendengar juga ada pengaruh (gangguan) ke organ lain."
Menkes menjelaskan mengenai kondisi anak penyintas gagal ginjal akut ini untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut, apakah gangguan organ lain disebabkan dampak lanjutan dari kondisi ginjal akut yang sebelumnya dialami atau penyakit lain. Hingga kini, penyelidikan masih berlangsung untuk memeroleh kelengkapan data.
"Sekarang kami lagi cek, apakah itu memang disebabkan oleh gagal ginjal akut atau terkena penyakit lainnya," jelas Budi Gunadi.
Laporan efek jangka panjang dari anak yang mengalami gagal ginjal mulai santer terdengar dari puluhan keluarga pasien. Meski ginjal anak kembali normal, kerusakan organ lain dilaporkan seperti salah satunya gangguan saraf.
Puluhan keluarga pasien gagal ginjal akut mengajukan gugatan perwakilan kelompok (class action) ke Pengadilan Jakarta Pusat. Tergugat di antaranya, termasuk Kementerian Kesehatan RI hingga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI).
"Hampir 50 korban yang menjalin komunikasi intens dengan kami. Dari mana saja? Terutama Jabodetabek, Jawa Barat, ada juga dari Jawa Timur bahkan dari Bali," kata Perwakilan Tim Advokasi untuk Kemanusiaan Awan Puryadi di Jakarta, Rabu (30/11/2022).
Awan Puryadi mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi anak-anak gagal ginjal akut yang dirawat. Ada salah satu pasien dengan kondisi berat, anak berusia 4 tahun 11 bulan yang dirawat selama 3 bulan lamanya. Kini, kondisinya kaku dan sulit bergerak, kecuali jari-jari dan matanya.
"Anaknya, kondisinya betul-betul kaku semua. Enggak bisa gerak, hanya jari dan matanya. Dan kita enggak tahu apa yang dirasakan anak ini secara pribadi," ucap Awan.
Advertisement
BPOM Selidiki Cemaran EG DEG Lebihi Ambang Batas
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia melakukan investigasi dan intensifikasi pengawasan melalui perluasan sampling, pengujian sampel produk sirup obat dan bahan tambahan yang digunakan, serta pemeriksaan lebih lanjut terhadap sarana produksi.
Dari investigasi serta penelusuran yang dilakukan BPOM sampai 12 Desember 2022, ada enam industri farmasi yang memproduksi sirup obat dengan kadar cemaran EG-DEG yang melebihi ambang batas aman.
Keenam IF tersebut adalah PT Yarindo Farmatama (PT YF), PT Universal Pharmaceutical Industries (PT UPI), PT Afi Farma (PT AF), PT Ciubros Farma (PT CF), PT Samco Farma (PT SF), dan PT Rama Emerald Multi Sukses (PT REMS).
BPOM telah menetapkan sanksi administratif dengan mencabut sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) cairan oral non-betalaktam, serta diikuti dengan pencabutan seluruh izin edar produk sirup obat IF tersebut. BPOM juga telah memerintahkan kepada keenam IF tersebut untuk:
- Menghentikan kegiatan produksi dan distribusi seluruh sirup obat
- Mengembalikan surat persetujuan izin edar semua sirup obat
- Menarik dan memastikan semua sirup obat telah dilakukan penarikan dari peredaran, yang meliputi pedagang besar farmasi, apotek, toko obat, dan fasilitas pelayanan kefarmasian lainnya
- Memusnahkan semua persediaan (stock) sirup obat dengan disaksikan oleh petugas Unit Pelaksana Teknis (UPT) BPOM dengan membuat Berita Acara Pemusnahan; danmelaporkan pelaksanaan perintah penghentian produksi, penarikan, dan pemusnahan sirup obat kepada BPOM.
Kadar EG DEG Ratusan Kali Lebih Tinggi dari Ambang Batas Aman
Dari produk-produk obat sirup yang disebutkan di atas beberapa diantaranya memiliki kadar cemaran yang amat tinggi. Kepala BPOM Penny Lukito menyebut bahwa hal tersebut bukan lagi cemaran tapi keracunan.
"Melihat dari kadar konsentrasi EG dan DEG-nya sangat tinggi. Bukan hanya cemaran lagi, dari sumber bahan bakunya sudah mengandung bahan EG dan DEG sangat tinggi. Bukan cemaran lagi, tapi memang sudah keracunan," kata Penny dalam konferensi pers Hasil Penindakan IF yang Memproduksi Sirup Obat Tidak Memenuhi Standar ditulis Selasa, 1 November 2022.
Adanya kadar EG dan DEG dalam produk obat sirup sebenarnya diperbolehkan. Akan tetapi, ada ambang batas yang telah diatur sebelumnya yakni tidak lebih dari 0,1 mg/ml.
Salah satu contoh produk obat sirup yang memiliki kadar EG dan DEG lebihi ambang batas aman adalah Unibebi. Sehingga wajib untuk dimusnahkan dan dihentikan edarannya.
"Dari hasil sampling dan pengujian berbasis risiko, ditemukan sirup obat PT UPI mengandung cemaran EG/DEG melebihi ambang batas aman (600-997 kali di atas ambang batas aman)," kata Penny.
Pada Unibebi Cough Sirup ditemukan kadar EG dan DEG sebanyak 111,0125 mg/mL atau sekitar 890 kali di atas ambang batas aman asupan harian (Tolerable Daily Intake/TDI).
Selanjutnya, pada Unibebi Demam Sirup mengandung EG dan DEG sebanyak 124,6875 mg/mL atau sekitar 997,5 kali di atas TDI. Begitupun dengan Unibebi Demam Drop dengan kadar EG dan DEG sebanyak 610,0936 mg/mL atau 600 kali lipat di atas TDI.
Advertisement
GPFI: Jangan Sampai Terulang Lagi
Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia berharap semua industri farmasi mematuhi aturan yang ada. Lalu, jangan sampai terjadi kembali penarikan izin edar seperti yang terjadi pada enam industri farmas gegara cemaran EG DEG yang melebihi ambang batas aman.
"Sanksinya ini sudah diberikan, dikeluarkan regulasi BPOM kepada enam industri itu. Kembali lagi, ini adalah pelajaran mahal dan berharga. Jangan sampai terjadi lagi di kemudian hari," Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) Elfiano Rizaldi.
Elfiano mengungkapkan kejadian penarikan izin edar enam industri farmasi oleh BPOM disebabkan adanya kelalaian dari industri farmasi yang bersangkutan.
Hal ini lantaran tidak melakukan pengecekan kembali bahan pelarut obat sirup dari supplier yang berujung temuan produk jadi obat mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).
"Seperti yang saya sampaikan terhadap industri farmasi yang sudah dilakukan pengecekan produk oleh BPOM dan memang konsekuensi menurut saya bahwa enam industri ini lalai dan kurang disiplin," katanya.
"Dan kurang konsisten terhadap implementasi pelaksanaan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan Farmakope. Ini suatu pelajaran berharga dan mahal, terlebih masyarakat jadi korban."