Liputan6.com, Jakarta Telemedisin yang menyediakan layanan konsultasi kesehatan sudah semakin lumrah di masyarakat. Namun, konsultasi di telemedisin belum cukup akurat dan membutuhkan pemeriksaan tambahan untuk menentukan kondisi kesehatan seseorang.
Berkaitan dengan hal ini, Ketua Bidang Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr dr Beni Satria mengungkapkan bahwa jikalau dokter sudah pernah bertemu dengan pasien dan konsultasi dilanjutkan lewat telemedisin, maka dokter bisa meyakini kondisi pasien dengan lebih akurat.
Baca Juga
Namun, jika dokter belum pernah bertemu sama sekali dengan pasien, keakuratan tentang kondisi pasien tentu jadi menurun. Apalagi jika hanya konsultasi hanya dilakukan lewat percakapan singkat.
Advertisement
"Kita semua punya sense of crisis (kepekaan), kita tahu orang ini baik atau tidak, berniat jahat atau tidak. Kita ada insting, dokter juga diberkahi dengan hal itu," ujar Beni dalam media briefing bersama IDI ditulis Kamis, (29/12/2022).
"Pada saat kondisi pasien itu datang, kita sudah tahu ini pasiennya benar-benar sakit atau pura-pura sakit. Makanya harus bertemu secara fisik. Kelemahan telemedisin ini adalah kalau kita tidak ketemu secara fisik, secara langsung, kita enggak tahu kondisi pasien benar sakit atau pura-pura."
Beni menjelaskan, menggunakan telemedisin tentunya ada plus minus. Nilai plusnya pasien dan dokter tidak perlu menempuh jarak tertentu untuk bisa bertemu. Tetapi, minusnya dokter tidak bisa tahu secara pasti kebenaran kondisi pasien.
Ada Potensi Pemalsuan Identitas Pasien
Belum lagi, Beni mengungkapkan soal kemungkinan adanya pemalsuan identitas palsu. Dalam hal ini, pasien mungkin saja mengaku-ngaku sebagai orang lain atau memberikan keterangan palsu soal kondisi yang dialaminya.
"Dia katakan namanya A, tanggal lahir, dan sebagainya. Ternyata bukan A yang sebenarnya. Tentu kan sulit kita. Apalagi dengan banyaknya aplikasi filter. Mungkin dengan filter-filter tertentu orang tersebut bukan dia, tapi dengan filter jadi menyerupai," kata Beni.
"Jadi sulit sebenarnya. Kelemahan banyak di layanan telemedisin. Bisa saja pasien itu berbohong, identitasnya palsu. Bisa saja keluhannya dibuat-buat," tambahnya.
Sedangkan jika konsultasi kesehatan dilakukan secara langsung, dokter dapat benar-benar tahu kebenaran yang dikeluhkan oleh pasien. Seperti saat pasien mengeluh batuk, misalnya.
"Kalau misal dia bilang, 'Batuk saya dok, parah batuknya'. Kemudian dokter meletakkan stetoskop dan pasien itu diminta bernapas beberapa kali, dokter akan tahu ini pasien pura-pura batuk, tidak benar-benar batuk," ujar Beni.
Advertisement
Berlaku untuk Surat Sakit yang Diberikan Dokter
Begitupun dalam hal pemberian surat sakit. Beni mengungkapkan bahwa surat sakit sebetulnya tidak bisa jika didapatkan hanya dari konsultasi dengan dokter di layanan telemedisin.
Beni menjelaskan, regulasi telemedisin yang ada saat ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pelayanan Telemedisin. Dalam aturan itu, jelas tertulis bahwa layanan hanya boleh dilakukan antar fasilitas kesehatan.
"Jadi untuk memberikan surat keterangan (termasuk surat keterangan sakit), boleh saja dengan telemedisin kalau memang pasien itu sudah pernah berobat dan rumah sakit sudah pernah memeriksa pasien datang. Datanya sudah ada di rumah sakit, ada rekam medisnya, dan kemudian dia berkonsultasi ulang," ujar Beni.
"Tapi untuk konsultasi pasien pertama, misalnya saya kemudian mengklik salah satu layanan telemedisin dengan dokter padahal saya belum pernah bertemu, itu bisa masuk dalam potensi pelanggaran etik, disiplin, bahkan hukum," tegasnya.
Ancaman Pidana karena Pemalsuan Surat Sakit
Hal tersebut lantaran ada rangkaian proses sendiri yang perlu dilakukan oleh dokter secara langsung sebelum bisa mengeluarkan surat sakit. Sehingga, Beni mengimbau masyarakat maupun dokter untuk berhati-hati.
"Hati-hati. Menentukan cacat, lemah, sakit atau tidak (milik) seseorang, itu tidak bisa hanya dari telemedisin atau telekonsultasi. Telemedisin yang dilakukan hanyalah telekonsultasi," kata Beni.
"Jadi harus hati-hati di situ karena ketika dokter mengeluarkan ada atau tidak adanya penyakit pasien, ada tidak adanya kelemahan atau cacat, itu akan ada potensi di Pasal 267 UU Hukum Pidana. Pasiennya bisa diancam dengan ancaman pidana paling tinggi empat tahun penjara, termasuk dokternya juga."
Advertisement