Sukses

WHO Lagi-Lagi Minta China Bagikan Data COVID-19 yang Akurat

WHO kembali meminta China untuk membagikan data COVID-19 yang akurat.

Liputan6.com, Jakarta China tengah mengalami lonjakan kasus COVID-19, bahkan prediksinya mencapai 4,2 juta per hari pada Maret 2023. Bersamaan dengan itu, pihak Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menilai China tidak menampilkan data COVID-19 yang akurat.

Direktur Jenderal WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus lagi-lagi meminta China untuk menyampaikan data yang cepat dan akurat tentang situasi COVID-19 di sana. Termasuk soal angka rawat inap, kematian, dan sekuensing yang lebih komprehensif dan real-time.

"Kami terus meminta pada China untuk data yang lebih cepat, sesuai, dan dapat dipercaya soal rawat inap dan kematian. Serta, pencatatan kasus yang real-time dan lebih komprehensif," ujar Tedros mengutip laman United Nations, Kamis (5/1/2023).

Tedros menambahkan, pihak WHO sebenarnya mengerti bahwa beberapa negara memang punya kebijakan dan langkah tersendiri yang bisa melindungi warganya. Namun, data yang komprehensif juga dibutuhkan.

Begitupun menurut Direktur Kedaruratan WHO, Dr Mike Ryan. Dalam keterangan terbaru, Ryan menekankan pentingnya lebih banyak informasi dari otoritas kesehatan China.

Ryan mengakui adanya kesulitan pada semua negara soal pencatatan terkait COVID-19. Termasuk soal data yang ada di rumah sakit dan pasien di ICU. Namun, ia menilai bahwa data yang diberikan China tidak cukup mewakili.

"Kami percaya bahwa angka yang saat ini diterbitkan dari China kurang bisa mewakili dampak sebenarnya dari penyakit tersebut dalam hal penerimaan rumah sakit, ICU, dan khususnya dalam hal kematian," ujar Ryan.

2 dari 4 halaman

Definisi Kematian Pemerintah China Terlalu Sempit

Lebih lanjut Mike mengungkapkan bahwa definisi kematian yang diterapkan oleh pemerintah China saat ini masih terlalu sempit. Sehingga pihak WHO masih belum memiliki data yang lengkap soal situasi di China.

"Kami masih belum memiliki data yang lengkap," kata Ryan mengutip ABC News.

Pada akhir bulan lalu, negara dengan penduduk 1,4 miliar tersebut mempersempit definisi untuk mengklasifikasikan kematian terkait COVID-19. Mereka hanya menghitung kematian yang melibatkan pneumonia akibat COVID-19, yang cukup membuat para pakar di dunia kesehatan terheran-heran.

WHO mengatakan bahwa kematian seharusnya dikaitkan dengan COVID-19 pada pasien yang kemungkinan terinfeksi atau dinyatakan positif. Serta, tidak ada penyebab kematian lainnya yang terkait seperti pneumonia yang terlibat.

3 dari 4 halaman

Keprihatinan WHO pada China

Dalam kesempatan yang sama, Tedros pun kembali mengungkapkan keprihatinan terkait kondisi COVID-19 di China. Tak lupa Tedros juga mengangkat kembali pentingnya vaksinasi terutama untuk dosis booster bagi kelompok rentan.

WHO sendiri telah mengadakan pertemuan tingkat tinggi dengan otoritas China dalam seminggu terakhir untuk membahas peningkatan kasus dan rawat inap di sana.

Pihak Technical Advisory Group on Virus Evolution (TAG-VE) yang bertemu dengan pakar kesehatan di China diketahui sudah membahas situasi di sana.

Hasil menunjukkan bahwa sebagian besar virus yang ada di China adalah BA.5.2 dan BF.7. Kedua varian Omicron tersebut menyumbang 97,5 persen dari kasus keseluruhan.

"Varian ini telah diketahui dan telah menyebar di negara lain, dan saat ini belum ada varian baru yang dilaporkan oleh CDC China," ujar TAG-VE dalam pernyataannya.

4 dari 4 halaman

Kasus yang Dilaporkan Kebanyakan Infeksi Lokal

Sejauh ini, terdapat setidaknya 773 sekuensing dari China yang telah diserahkan ke GISAID. Kebanyakan kasus yang terjadi di sana disumbang oleh infeksi lokal yakni sebesar 95 persen dan berasal dari garis keturunan Omicron BA.5.2 dan BF.7.

"Ini sejalan dengan hasil genom pelancong dari China yang dimasukkan ke database GISAID EpiCoV oleh negara lain. Tidak ada varian baru atau mutasi signifikansi yang diketahui dicatat dalam data sekuens yang tersedia,” kata pernyataan itu.