Sukses

Kepala BNPB Sebut Belum Ada Pengetatan Tes PCR bagi Pelancong China

Sampai saat ini belum ada pengetatan tes PCR bagi pelancong China yang masuk Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Sejak 5 Januari 2023, banyak negara mulai menerapkan wajib tes PCR negatif terhadap pelancong dari China lantaran kekhawatiran terhadap lonjakan kasus dan pengujian COVID-19 di sana yang tidak transparan. Sebut saja, Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis, Italia, Spanyol, dan Australia.

Di Indonesia sendiri, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto menerangkan, belum ada pengetatan tes PCR secara khusus bagi pelancong China yang masuk. Sampai saat ini, tidak ada perubahan syarat perjalanan untuk Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN).

Selepas pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada 30 Desember 2022, Pemerintah masih terus memantau perkembangan kasus COVID-19. Pemantauan juga termasuk pelaku perjalanan, baik dalam maupun luar negeri. 

"Mari kita laksanakan dahulu kebijakan ini, sambil selalu memantau perkembangan kasus pasca pencabutan PPKM," terang Suharyanto saat dihubungi Health Liputan6.com melalui pesan singkat baru-baru ini.

"Bila keadaan tetap dan makin terkendali, tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukan relaksasi kebijakan lainnya, termasuk persyaratan protokol kesehatan untuk pelaku perjalanan. Artinya, sampai saat ini belum ada pengetatan (untuk pelaku perjalanan dari China)."

Di China, masyarakat sebagian besar mulai kembali bepergian keluar negeri meski infeksi COVID-19 terus meningkat. Yang cukup menjadi sorotan adalah pelaporan data (kasus harian dan kematian) dan pengurutan kasus COVID-19 di sana dinilai tidak akurat.

Kondisi di China itulah yang membuat beberapa negara lain melakukan pembatasan dan pengetatan terhadap pelaku perjalanan, salah satunya dengan mewajibkan melampirkan hasil tes PCR negatif.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Dorong Vaksinasi Lengkap dan Booster

Mobilitas masyarakat yang semakin tinggi termasuk pergerakan pelaku perjalanan yang masuk ke Indonesia setelah dicabutnya PPKM, perlu diimbangi kesadaran masyarakat untuk tetap menerapkan protokol kesehatan.

Perlindungan terhadap infeksi COVID-19 melalui vaksinasi lengkap (dosis 1 dan 2) dan booster dapat diupayakan. Bagi masyarakat yang belum melengkapi vaksinasi diharapkan dapat segera ke fasilitas kesehatan atau sentra vaksinasi terdekat.

"Dengan dicabutnya kebijakan PPKM, Presiden (Joko Widodo/Jokowi) tetap meminta kepada seluruh masyarakat dan komponen bangsa untuk tetap hati-hati dan waspada," ucap Suharyanto yang juga Ketua Satgas Penanganan COVID-19.

"Kebijakan menggunakan masker di keramaian dan tempat tertutup serta mendorong vaksinasi lengkap dan booster tetap diperlukan."

Pada konferensi pers pencabutan PPKM, Jokowi meminta masyarakat tetap berhati-hati dan waspada lantaran risiko penularan COVID-19 masih mengancam.

"Pertama, masyarakat harus meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan dalam menghadapi risiko COVID-19, pemakaian masker di keramaian dan ruang tertutup harus tetap dilanjutkan," terang Jokowi di Istana Negara Jakarta pada Jumat, 30 Desember 2022.

"Kesadaran vaksinasi harus terus digalakkan, karena ini akan membantu meningkatkan imunitas dan masyarakat harus semakin mandiri dalam mencegah penularan, mendeteksi gejala dan mencari pengobatan."

3 dari 4 halaman

Pemerintah China Tak Terima Warganya Harus Tes PCR

Republik Rakyat Tiongkok (RRT) rupanya tidak terima karena pendatang dari negaranya diwajibkan tes COVID-19 ketika masuk negara lain. Apalagi kebijakan wajib PCR turut diambil di Korea Selatan dan Jepang. 

Aturan wajib tes COVID-19 bagi pendatang dari China diambil karena lonjakan kasus yang signifikan di China. Namun, Pemerintah China melonggarkan aturan COVID-19 mereka. 

Dikutip Global Times, Rabu (4/1/2023), sejumlah pejabat di sektor pemerintahan dan kesehatan China menolak kebijakan wajib PCR dan menilai aturan tes COVID-19 itu sebagai 'sementara, tak perlu, dan kurang dasar ilmiah.'

Media Pemerintah China juga menyebut kebijakan wajib tes ini sebagai 'buang-buang waktu dan sumber daya' saja.  Hal ini melihat negara-negara tetangga China seperti Jepang, Korea Selatan, dan India kompak mengambil kebijakan wajib PCR.

Amerika Serikat (AS) turut menerapkan yang sama. Uni Eropa belum menerapkan kebijakan ini, tetapi beberapa anggotanya sudah mewajibkan tes COVID-19, yakni Prancis, Italia, dan Spanyol. 

Kementerian Luar Negeri China Mao Ning ikut mengkritik kebijakan wajib tes COVID-19. 

"Sejumlah kebijakan-kebijakan tidak proporsional dan tak bisa disetujui. Kami secara tegas menolak tindakan-tindakan COVID untuk tujuan politik dan akan mengambil tindakan-tindakan untuk merespons bermacam situasi berdasarkan prinsip timbal balik," ujar Mao Ning.

4 dari 4 halaman

Wajib Tes PCR Masuk Negara Lain Dianggap Diskriminasi

Mao Ning lantas meminta agar kebijakan COVID-19 tidak berdasarkan politik serta tidak berdampak ke masyarakat umum. 

"Hal tersebut (tes COVID-19) seharusnya tak digunakan untuk manipulasi politik, seharusnya tak ada kebijakan-kebijakan diskriminasi terhadap negara-negara tertentu," ujar Juru Bicara Kemenlu China itu.

Amerika Serikat mengatakan, bahwa persyaratan tes COVID-19 untuk pelancong dari China didasarkan pada sains dan karena kurangnya transparansi Beijing pada kasus yang melonjak kasus COVID-19.

Dilansir Channel News Asia, Rabu (4/1/2023), China sebelumnya mengecam tindakan yang diambil oleh sejumlah negara pada para pelancongnya dan menyebut bahwa aturan tersebut 'tidak dapat diterima.'

Pernyataan tersebut keluar terjadi dua hari, sebelum penumpang udara berusia dua tahun ke atas akan diminta untuk menunjukkan tes COVID-19 negatif untuk memasuki Amerika Serikat. 

"Ini adalah pendekatan yang semata-mata dan secara eksklusif didasarkan pada sains," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price kepada wartawan ketika ditanya tentang pernyataan rekannya dari China.

Di sisi lain, Price menegaskan kembali, bahwa Amerika Serikat siap untuk membagikan vaksin COVID-19-nya dengan China, yang telah gencar mempromosikan vaksinnya sendiri di luar negeri, yang menurut pakar kesehatan internasional kurang efektif.

China telah mengalami lonjakan jumlah penyakit COVID-19 sejak tiba-tiba mengakhiri pembatasan secara drastis.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.